Sewargading : Kami Jual Tanah Milik Bukan Tanah Ulayat, Bukan Jual Gunung

Foto: Sewargading SJ Putera Anggota DPRD Kab. Manggarai Barat sekaligus Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Manggarai Barat,NTT

LABUAN BAJO |Okebajo.com|

Sewargading SJ. Putera adalah putra asli  kampung Kenari, Desa Warloka. Sewargading saat ini jadi anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat sekaligus Ketua DPC PKB Manggarai Barat.

Sebagai putra asli kampung Kenari, Sewargading memiliki hak yang sama  atas kepemilikan tanah sama seperi warga lainnya di kampung  Kenari.

Hari ini Sewargading terkejut  ketika ia dan jabatannya sebagai Ketua DPC PKB Manggarai Barat diduga menjual gunung Warloka sebagaimana diberitakan oleh sejumlah Media Online, termasuk Okebajo.com.

Konfirmasi Media ini sebelumnya belum berhasil mendapatkan keterangan dan atau penjelasan dari Sewargading.

Bersyukur, konfirmasi berikutnya, Rabu, 15 Maret 2023,  langsung direspon oleh Sewargading.

Anggota DPRD Manggarai Barat itu pun menjelaskan panjang lebar tentang dirinya diduga menjual gunung Warloka.

Ada beberapa hal  penting yang diklarifikasinya

Pertama, bahwa ia tidak menjual tanah Ulayat. Ia tidak menjual gunung Warloka.

Ia bersama belasan temannya warga kampung Kenari menjual tanah milik mereka di atas puncak gunung Kenari yang luas arealnya sekitar 20 persen dari total luas lahan yang ada di gunung Warloka. Areal seluas itu mereka peroleh secara adat yang sah dan mendapat legitimasi adat dari fungsionaris adat setempat, diketahui oleh semua Tu’a Batu, diketahui oleh Tu’a Golo, diketahui oleh Ulayat, dan diketahui oleh pemerintah Desa Warloka.

“Tapi yang paling penting yang pertama begini. Saya berpikir bahwa apapun jabatannya seseorang itu bukan berarti dia tidak punya hak secara adat. Jadi saya sama seperti warga-warga yang lainya juga yang berjumlah 18 orang atau berapalah. Bahwa itu tanah bukan hanya saya punya tetapi ada belasan orang di dalamnya. Saya hanya satu dari belasan orang yang mendapatkan bagian di atas itu di puncaknya, mungkin 20 persen dari total luas lahan yang ada di gunung Warloka, itu yang diserahkan ke kami dan itu yang paling terakhir sudah”, jelas Gading.

Lebih jauh, Gading menjelaskan bahwa gunung Warloka yang diberitakan itu merupakan suatu gunung besar yang total arealnya itu hampir belasan hektar dari kaki bukit sampai di puncak gunung itu.

Gading menegaskan, jauh sebelum dirinya dan teman-temannya mendapat hak kepemilikan tanah di atas puncak gunung itu,  sebagaian besar lahan gunung Warloka sudah dimiliki oleh banyak orang dari warga Dusun Kenari dan warga Dusun Warloka.

Kata Gading, lahan tanah milik warga tersebut sudah mengantongi sertifikat dan memiliki alas hak dasar seperti surat perolehan dari Ulayat dan surat kepemilikan dari pemerintah Desa setempat.

“Satu hal yang perlu diketahui bersama, bahwa mendahului kepemilikan kami atas sebagian lahan yang berada di puncak Gunung Warloka, itu sesungguhnya bertahun-tahun sebelum itu sudah ada puluhan bidang tanah yang sudah bersertifikat di puluhan lereng gunung yang dimiliki oleh begitu banyak orang Warloka yang terdiri dari warga Dusun Kenari dan Warga Dusun Warloka”, jelasnya.

Bahkan para pemilik tanah di sana sudah mengantongi sertifikat. Dan ada yang mengantongi alas hak dasar seperti surat perolehan dari Ulayat dan surat kepemilikan dari pemerintah Desa setempat.

“Dan tanah di sekitarnya yang lain sudah dimiliki warga semua dan sudah mengantongi sertifikat dari tahun dua ribu berapa itu. Kebetulan pada saat ada program Prona itu”, lanjut Gading.

Dari sekian hektar tanah di gunung Warloka itu sudah dibagikan dan menjadi hak milik, tersisahlah kurang lebih sekitar ada 6 atau 7 hektar nominalnya tapi itu ada di puncaknya. Dan masih berstatus tanah adat.

Ia mengisahkan, melalui mekanisme adat “kapu  manuk”, ia dan satu kelompok masyarakat yang terdiri atas belasan orang menghadap Tu’a ulayat meminta tanah yang sisa tersebut.

“Diserahkanlah ke kami tanah tersebut melalui mekanisme adat  seperti yang berlaku kepada warga yang lainnya. Namun karena jumlag kami terlalu banyak orang maka tanah yang sedikit itu melalui kesepakatan antara anggota kelompok, karena pertimbangan garap juga tidak bisa.  Dan yang paling penting itu tidak ada akses jalan masuk ke puncak gunung itu karena di seluruh lereng gunung Warloka itu sudah dikuasai oleh semua warga. Akhirnya pada waktu itu, belasan anggota kelompok meminta kepada saya bagaimana caranya  mencari pihak yang berminat, dan puji Tuhan, ada pihak yang berminat beli tanah, dalam hal ini, bukan investor dari Bali  tapi masih warga lokal. Dia yang berminat dan ditawarin melalui kesepakatan bersama. Disepakati harganya dan berproses, dan itupun belum ada pelunasan sampai dengan sekarang”, jelasnya.

“Ya kalau dibilang harganya fantastis, ya itu memang relatif. Mungkin ada yang bilang itu uang 100 juta itu sangat fantastis, 200 juta fantastis, 300 juta juga fantastis, itu saya hargai kalau dibilang begitu.

“Jadi soal harganya, saya berpikir karena dalam angka harga ini tidak hanya haknya saya tetapi juga haknya belasan orang. Saya juga menjaga hak privasi mereka untuk membuka atau tidaknya ke publik. Yang jelas kita orang Manggarai ini baik itu tanah dalam kawasan ataupun di luar kawasan hutan pasti kepemilikanya itu yang belum terbagi ialah masih dalam hak ulayat.

Kedua, tanah yang dijual itu berdasarkan kesepakatan bersama-sama dengan harganya disepakati bersama.

Ketiga, proses penjualanya itu dengan mempertimbangkan karena sudah tidak ada akses masuk dari jalan besar menuju bidang tanah di puncak itu karena di sekeliling lereng gunung Warloka itu sudah bertahun-tahun sebelumnya bahkan belasan tahun sebelumnya sudah ada warga yang mengantongi legalitas kepemilikan berupa sertifikat hak milik dan juga alas hak dasar seperti perolehan dari tua adat dan surat kepemilikan dari Desa.

Keempat, Surat kepemilikan kami itu setelah melalui proses atau mekanisme permintaan secara adat kepada Ulayat setempat dan diketahui oleh semua tua batu diketahui oleh tua Golo, diketahui oleh Ulayat, dan diketahui oleh pemerintah desa.

“Kenapa waktu itu mayoritas anggota kelompok menyepakati untuk melepaskan tanah itu ke pihak ketiga karena memang tidak ada akses masuknya  ke atas puncak gunung. Kenapa itu ada keluarga dari Warloka yang beli ? karena dia yang mempunyai lahan untuk menghubungkan jalan yang ada di bawah dengan tanah yang sisa di puncak gunung itu”, jelas Gading.

Bukan  jual tanah ulayat

“Yang kami jual inikan bukan tanah Ulayat loh. Tetapi tanah yang diserahkan oleh fungsionaris adat, dalam hal ini Ulayat kepada kami. Setelah kami mengantongi secara resmi baik itu proses adat maupun proses admistrasi di Desa secara musyawarah setelah itu baru kami lepaskan. Lalu yang dilepaskan itu bukan tanah Ulayat, bukan tanah adat, kan di situ ada perbedaanya. Ada tanah yang statusnya tanah Ulayat yang sewenang-wenang menjual itu lain cerita”, tegasnya.

Menurut Gading, proses untuk bisa memperoleh tanah di bumi Manggarai raya ini melalui proses adat dengan mekanisme adat.

“Misalnya kapu tuak, kapu manuk, lele tuak kampung,tua golo, tua ulayatnya, pa’u reweng ya kalau diterima kita akan dapat bagian sesuai dengan ketentuanya mereka kalau tidak juga ya tidak apa-apa. Dan puji Tuhan kemarin itu kan karena Ulayat melihatnya memang bahwa ini tanah tidak ada ruang akses lagi karena kami yang beberapa orang belum dapat bagian di sekitaran situ, makanya kami dapat bagian dan itupun kalau dibagi ke perorang itu mungkin hanya dapatnya belasan kalo puluhan meter, lanjut Gading.

Gading tegaskan lagi tentang hak kepemilikan tanahnya itu sudah diketahui oleh  fungsionaris adat setempat.  Soal tanah itu dijual atau tidak, itu bukan lagi kewenangan fungsionaris adat atau pemerintah Desa.

“Sudah diketahui oleh Tu’a Golo. Bukan cuma tua Golo tetapi juga tua Ulayat sudah diketahui oleh pemerintah desa itu soal kepemilikan lahan. Soal kami menjual atau tidaknya lahan tersebut itukan bukan domainya mereka lagi dan itu statusnya hak milik kita secara adat. Mana ada di Negeri ini khususnya di Manggarai Barat ini setelah dia dikasih tanah dan setelah dikantongi kepemilikanya berbulan-bulan atau bertahun-tahun baru dia beritahu kepada tu’a Golo bahwa kami mau jual tanah, kan tidak ada yang begitu”, tegas Gading.

Tentang narasumber berita

Selanjutnya, terkait narasumber berita yang enggan menyebut nama dalam pemberitaan terkait dirinya, Gading menitipkan pesan. Gading mengatakan, kalau narasumbernya jelas maka ia akan  perjelas semuanya.

“Saya titip pesan kepada narasumbernya itu, mudah-mudahan dia orang yang bertanggungjawablah. Dan yang paling penting apapun jabatan yang melekat pada diri kita orang timur lebih khusus orang Manggarai, tidak berarti bahwa dia tidak punya hak terhadap aset-aset  yang kita miliki”, pesan Gading.

“Jadi kalau memang ada narasumbernya yang sampaikan informasi ini ke Media,  dia dapat pertanggungjawabkan, mengapa mesti menutupi identitasnya. Kalau  begini caranya kan berarti ini kan sama seperti pencemaran nama baik”, ujar Gading.

Tentang investor  pembeli tanah

Perihal pembeli tanah  investor dari Bali seperti yang diberitakan sebelumnya,  Gading membantah.

Ia menjelaskan bahwa ia bersama rekan-rekannya menjual tanah kepada orang lokal.  Bahwa kemudian orang lokal itu menjual kepada investor dari Bali, itu menjadi hak orang lokal itu.

“Yang kedua soal Investor dari Bali.  Itu memang orang lokal belinya dari kami. Bahwa kemudian dia jual ke investor Bali maupun dari Arab Saudi atau dari kutub Utara, nah itukan menjadi otoritas atau haknya dia. Karena memang dia sudah membelinya dari kami, dan sampai sekarang transaksinya belum selesai karena menunggu proses-proses kepengurusan SHM dan lain sebagainya”, kata Gading membantah.

Soal jabatannya selaku Ketua DPC PKB Manggarai Barat, Gading mengatakan bahwa urusan kepemilikan tanah adat yang dimilikinya tidak bisa serta merta disangkutpautkan dengan jabatan dia sebagai Ketua Parpol.

“Ketika saya masuk dalam urusan adat, itu bukan berarti branding ketua DPCnya namun saya sebagai masyarakat adat di tanah Mburak di  Golo Kenari yang sama-sama seperti warga lain diberi ruang yang sama untuk mengakses tanah-tanah yang sama.

Tentang ASN terlibat

Gading juga membantah hal ini.
“Berkaitan dengan ASN yang disebut, kami  juga baru tahu. Siapa ASN itu, artinya tidak ada unsur ngarang-ngarang ceritanya.  Artinya kita yang hidup di Negeri ini khususnya di Manggarai Barat ini punya hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan pendapat yang disampaikan itu dapat dipertanggungjawabkan. Jangan kemudian melempar bola ke publik lalu kemudian menyembunyikan jati diri dan lain sebagainya. Tapi pada gilirannya nanti dibutuhkan semuanya saya juga bukan orang bodoh kah yang mau melakukan hal tanpa legitimasi yang jelas. Jangankan beli tanah, orang yang mau beli ayam saja dia masih pikir-pikir apakah benar ini ayamnya dia atau tidak. ***

 

Exit mobile version