Opini  

Pengeringan, Krisis Pangan dan Kelaparan

Penampakan mesin sedot air kali ke sawah petani Desa Golo Ketak, Kecamatan Boleng. Foto/Robert Perkasa

Oleh : Sil Joni *) 

Opini, Okebajo.com, – Selain Lembor dan Terang, areal persawahan Nggorang dan sekitarnya dikenal luas sebagai ‘lumbung padi’ di Manggarai Barat (Mabar). Namun, ‘lumbung’ itu sedang limbung saat ini. Kondisi lumbung sedang tidak baik-baik saja.

Saluran irigasi persawahan Nggorang ‘sedang direnovasi’. Untuk kepentingan perbaikan itu, maka ‘saluran irigasi’ harus dikeringkan. Program pengeringan itu, sudah dieksekusi sejak pertengahan tahun 2023 yang lalu.

Seperti biasa, sebelum sebuah ‘proyek’ dibuat, pasti ada tahap sosialisasinya. Dalam kegiatan sosialisasi untuk program ini, dijelaskan bahwa proyek akan selesai pada awal Januari 2024. Itu berarti saluran irigasi kembali dipakai pada awal tahun ini.

Tetapi, hingga tulisan ini digodok, proses pengerjaannya belum rampung. Irigasi belum bisa difungsikan seperti pada tahun sebelumnya. Terhadap kenyataan ini, sebagai masyarakat kita hanya bisa bertanya, mengapa pengerjaannya tidak sesuai target dan berharap dalam waktu dekat saluran irigasi itu akan dialiri air.

Warga Nggorang dan sekitarnya, khususnya para petani lahan basah, paling merasakan dampak dari program pengeringan tersebut.  Tingkat ‘ketergantungan’ terhadap beras (padi sawah) sangat besar. Sebelum pengeringan, rata-rata masa panen untuk petani sebanyak tiga kali dengan hasil yang bervariasi.

Bisa dibayangkan, seperti apa kondisi para petani, ketika enam bulan tanpa mengolah sawah. Stok pangan menipis. Modal untuk memenuhi kebutuhan primer yang lain, tentu semakin menyusut. Tidak heran, banyak petani sawah di sini, bertanya kapan pengerjaan proyek ini tuntas.

Gabah, padi (beras), bagi sebagian besar petani lahan basah merupakan “sumber pendapatan/penghasilan”. Areal persawahan yang tidak bisa dikelola lantaran kurangnya pasokan air, tentu bisa berujung bencana.

Ketika pengerjaan (perbaikan) saluran irigasi, tidak sesuai batas waktu yang ditentukan, maka hal itu, dalam arti tertentu, bisa dianggap sebagai ‘musibah’. Sebut saja, bencana ‘gagal tanam’ sedang menimpa petani.

Kondisi semacam ini, bukan tidak mungkin, berdampak pada kelangkaan persediaan pangan. Bencana kelaparan, cepat atau lambat, bakal menimpa para petani. Sebuah situasi negatif yang tentu saja sangat tidak diharapkan terjadi.

Kurangnya pasokan beras, ditengarai menjadi salah satu penyebab ‘lambungnya’ harga beras saat ini. Kondisi kelangkaan dimanfaatkan oleh spekulan pasar, untuk meraup untung sebanyak-banyaknya.

Padahal, daya beli masyarakat, terutama para petani lahan basah, tidak seberapa. Mahalnya harga beras di pasar, membuat petani semakin tercekik dan sekarat. Harga beras, diperkirakan terus meroket, jika persawahan Nggorang dan sekitarnya, belum dikelola.

Negara (pemerintah) mesti bersikap responsif terhadap kenyataan yang tidak menguntungkan petani ini. Pengerjaan proyek perbaikan irigasi mesti dikontrol untuk memastikan kapan saluran itu bisa digunakan oleh para petani. Hanya pemerintah atau para elit yang punya ‘power’ untuk menekan pihak terkait. Dengan itu, publik mendapat informasi pasti terkait batas akhir pengerjaan proyek itu.

Selain itu, pemerintah perlu membuat semacam ‘observasi’ terkait efek negatif dari program pengeringan ini. Mesti ada ‘data yang valid’  perihal kondisi para petani yang terkena dampak tersebut. Dengan itu, pemerintah coba mencari solusi untuk mengatasi isu krisis pangan dan rendahnya daya beli petani tersebab oleh pemberlakuan program pengeringan tersebut.

*) Penulis adalah warga Desa Nggorang. Tinggal di Watu Langkas.

Exit mobile version