Keren, Geliat Petani Milenial di Desa Wisata Seribu Air Terjun Wae Lolos

Keren, Geliat Petani Milenial di Desa Wisata Seribu Air Terjun Wae Lolos
Abdul Samsur (32) petani milineal di Desa wisata "Seribu Air Terjun" Wae Lolos, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat. Foto/Robert Perkasa

Labuan Bajo | Okebajo.com | Cabai, salah satu bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh semua kalangan masyarakat.

Tingginya harga cabai saat ini tentu sangat menjanjikan keuntungan bagi pembudidaya cabai.

Di pasar Baru Labuan Bajo, misalnya, harga cabai rawit Rp50.000 per kilogram. Cabai lokal bahkan lebih mahal, Rp100.000 hingga 120.000 per kilogram.

Menangkap peluang ini, Abdul Samsur (32) banting setir membudidayakan tanaman cabai dan jagung. Ia memanfaatkan lahan yang ada di sekitar kampungnya.

Sam,  semula menggeluti profesi sebagai seorang tukang bangunan. Sambil menanti pesanan, Sam beralih profesi menjadi petani jagung dan cabai.

Dia bertani di Desa wisata “Seribu Air Terjun” Wae Lolos, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Ia menggeluti budidaya tanaman jagung dan cabai dengan jenis cabai rawit karena memiliki pasar yang luas dan harganya menguntungkan.

Pria 25 tahun tamatan SMP ini meraup omzet hingga ratusan ribu rupiah per minggu dalam sekali panen cabai. Keren !

Sekilas, pria anak satu ini tampak  sederhana. Tapi tak dinyana, ia adalah petani milenial yang tekun bertani.

Kebun cabai di sekitar kawasan destinasi wisata “Seribu Air Terjun” Desa Wae Lolos menjadi tempatnya beraktivitas saban hari.

Ketika Okebajo.com menyambangi kebun cabai, suami Siti Sofia berbagi  cerita. Ia membeberkan seluk beluk cabai yang ditanamnya.

Sam mengaku bahwa ia baru mulai menekuni pertanian hortikultura. Pada Agustus 2023 lalu ia menanam cabai rawit di atas lahan seluas seperempat hektar.  Enam bulan kemudian, tepatnya Januari 2024 ia mulai memanen.

Selain cabai, ia juga menanam jagung dan dua kali sudah panen hasilnya.

Setiap hari Rabu, ia menjual cabai rawit kepada pedagang pengepul di Pasar Rekas, Pasar tradisional di Kecamatan Mbeliling.

“Saya baru mulai panen cabai. Sekali panen sampai sepuluh kilogram tergantung pesanan pembeli di Pasar Rekas. Harga Rp40.000 sampai 45.000 per kilogram”, ujarnya.

Tentu ada kerja keras di balik keberhasilannya. Cabainya tak serta merta menghasilkan buah yang banyak dan berkualitas.

“Saya menggunakan pupuk seadanya saat usia tanam satu dan dua bulan. Setelah itu saya hanya kontrol hama dan memberikan rumput”, kata Sam.

Pupuk yang digunakannya adalah pupuk kandang dan NPK secukupnya. Selain itu ia juga rutin memberikan vitamin pada tanamannya agar tetap subur dan terbebas dari segala penyakit tanaman.

Kepada generasi milenial, Sam berpesan agar tidak gengsi menjadi petani.

Sam mengatakan bahwa menjadi petani memang mulia. Menyediakan pangan bagi banyak orang.

“Jangan gengsi jadi petani. Jadi siapa lagi kalau bukan kita yang generasi muda”, kata Sam.

Harga cabai lokal mahal

Terpisah, pedagang di Pasar Baru mengaku harga cabai lokal sangat mahal
di Labuan Bajo.

Cabai lokal sangat mahal karena stoknya terbatas tapi peminatnya banyak, terutama pembeli dari hotel-hotel di Labuan Bajo”, ujar Bonafasia Hainda (46)

Ia bersama suaminya Urbanus Moning (56) dari Desa Golo Ronggt, Kecamatan Lembor yang sehari-hari berjualan berbagai jenis sayur di Pasar Labuan Bajo.

Boanafasia mengaku bahwa ia membeli cabai dan berbagai jenis sayur dari petani Sape, Bima NTB dan juga petani dari Bajawa, Kabupaten Ngada.

“Ini sayur impor dari luar daerah. Bawang putih, bawang merah dan cabai, kami beli dari petani asal Sape, Bima. Daun soap, daun bawang dibeli dari Ruteng. Sedangkan Labuan dibeli dari petani Bajawa”, ujar Bonafasia.

Ia merincikan,  harga beli bawang merah Rp 30.000 lalu ia  jual di Pasar Labuan Bajo Rp 40.000 per kilogram. Bawang putih  Rp35.000 lalu dijual Rp 50.000 per kilogram.

Cabai rawit, ia beli Rp30.000 lalu dijual Rp50.000 per kilogram. Sedangkan cabai lokal ia beli Rp80.000 lalu dijual Rp100.000 hingga 120.000 per kilogram. *

Perlu dukungan Pemerintah Desa

Kembali ke geliat petani milenial Desa Wae Lolos. Desa ini sebagian wilayah dataran tinggi dan menjadi sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian  utama masyarakatnya.

Meskipun terkenal  potensi wisata alam “Seribu Air terjun” Desa ini juga memiliki berbagai hasil pertanian jangka panjang, seperti kopi, cengkeh, vanili. Selain itu sangat cocok untuk budidaya varian sayur-sayuran, dan buah-buahan yang tidak kalah dari hasil pertanian dari Desa lainnya.

Fakta menunjukkan bahwa, sejauh ini mayoritas petani di Desa Wae Lolos menanam cengkeh, vanili  dan komoditas jangka panjang lainnya.

Kini, terutama petani milineal di Desa itu mulai beralih menggeluti varian tanaman hortikultura jenis cabai, sayuran dan buah-buahan yang lebih cepat mendapatkan cuan.

Fenomena peralihan tanaman jangka panjang ke  pertanian hortikultura oleh petani milineal di Desa ini tentu saja  memberikan dampak perubahan sistem ekonomi positif dan signifikan di  masyarakat jika didukung dengan kebijakan pemerintah desa. Kebijakan populasi itu, misalnya, penggelontoran sekian persen Dana Desa untuk pemberdayaan petani. Juga memberikan penyuluhan dan pendampingan secara berkelanjutan untuk masyarakat pelaku bidang pertanian.

Keikutsertaan anak-anak muda generasi milenial Desa Wae Lolos dalam mengembangkan pertanian hortikultura ini menjadi perhatian penting dalam keberhasilan perubahan ekonomi di bidang pertanian, dengan bentuk dukungan yang diberikan dari segi manajemen pengelolaan, produksi, pengolahan, sampai dengan penjualan bisa lebih terkoordinasi dengan baik dengan sistem yang lebih modern.

Selanjutnya, pemanfaatan lahan-lahan yang ada, harapannya dapat lebih dioptimalkan dengan sebaik-baiknya dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan agar dapat menjadi warisan yang bermanfaat untuk generasi ke depannya. Pelestarian alam penting dilakukan mengingat Desa Wae Lolos memiliki banyak potensi wisata alam air terjun yang berada di sekitar areal pertanian warga. *

Exit mobile version