Opini  

Tetap Menjadi “Anjing Penjaga” (Catatan Hari Pers Nasional)

Oleh: Sil Joni)* 

Okebajo.com, – Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap tanggal 9 Pebruari. Selalu ada ‘tema khusus’ yang diusung ketika seremoni peringatan itu tiba. Untuk tahun 2024 ini, temanya adalah: “Mengawal Transisi Kepemimpinan Nasional dan Menjaga Keutuhan Bangsa”.

Tema ini, tentu saja sagat relevan dengan situasi terkini. Kita sedang melaksanakan kontestasi politik elektoral secara serentak. Seperti biasa, panggung politik ‘cukup gaduh’ ketika musim pesta demokrasi tiba.

Publik terpolarisasi dalam blok-blok politik. Perang narasi dan opini semakin intens. Pelbagai trik dan intrik coba diperlihatkan agar bisa meraih dukungan signifikan dari publik konstituen.

Rambu-rambu etis ‘ditabrak’. Segala cara dipakai untuk merengkuh kursi kuasa. Pelanggaran terhadap norma-norma bernegara kian massif. Pemilu tahun 2024 ini disinyalir sarat dengan intervensi kekuasaan. Sumber daya kekuasaan dioptimalisasi demi memenangkan kandidat politik. Publik menonton teater nepotisme dan dinasti yang begitu vulgar.

Penerapan politik manipulatif semacam itu, tentu berpotensi lahirnya gerakan resistensi publik. Seruan moral kaum akademisi kampus agar pihak kekuasaan bersikap netral dalam kontestasi Pilpres, menjadi alarm kuat bahwa ‘ada yang tidak beres‘ dalam kompetisi politik ini.

Kondisi tidak beres semacam itu, jika tidak direspons secara arif oleh pihak penguasa, bisa menimbulkan goncangan politik yang serius. Situasi ‘turbulensi’ itu, bisa berujung pada ‘terganggunya’ keutuhan bangsa. Sebuah situasi yang sangat tidak diharapkan terjadi.

Di tengah latar ketidakstabilan politik semacam itu, pers mesti tampil sebagai ‘pengawal proses suksesi kepemimpinan sekaligus penjaga keutuhan bangsa.

Pers mesti setia pada peran utamanya sebagai ‘anjing penjaga (watch dog) yang tak lelah ‘menggonggong kekuasaan’ yang cenderung keluar dari koridor etika bernegara.

Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers menyatakan bahwa pers berfungsi sebagai sarana penyebaran informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.

Pendiri Harian Kompas, P. K. Ojong mengatakan: “Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tetapi mengkritisi mereka yang sedang berkuasa”.

Ketika pers tampil sebagai ‘juru bicara penguasa’ dan alat perjuangan politik dari elit politik tertentu, maka pers telah melakukan ‘pengkhianatan’ terhadap idealismenya sendiri. Bahwasanya pers ada untuk mengontrol dan mengawal jalannya roda pemerintahan, bukan memuji dan apalagi ‘menjilat ketiak penguasa’.

Menjamurnya media partisan dan musiman saat ini, bisa menjadi sinyal bahwa ‘idealisme pers’ sedang terbelenggu. Tidak hanya itu, ketika pers menjelma menjadi konglomerasi dan sebagai ‘pengeras suara’ dari pemiliknya, maka pada saat itu, pers bukan lagi sebagai ‘anjing penjaga’, tetapi sebagai ‘anjing peliharaan’.

Para jurnalis ‘didikte’ oleh pemilik atau penguasa yang telah berjasa ‘memberi mereka makan’. Rasanya, agak sulit bagi wartawan untuk mengambil posisi kritis dalam setiap pemberitaan. Yang terjadi adalah menyanjung tuannya dan ‘berpura-pura’ kritis terhadap siapa saja yang dianggap rival politik dari pemilik media itu.

Negarawan asal Amerika, Edmund Burke menegaskan pers sebagai pilar keempat demokrasi di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers punya ‘power yang setara’ dengan tiga pilar lainnya dalam menjalankan praksis berdemokrasi di sebuah negara. Tidak heran jika indeks kebebasan pers, menjadi salah satu kriteria mutu praktek demokratisasi. Jika persnya sehat dan berkualitas, maka demokrasi berjalan efektif.

Ketika pers berkolusi dengan penguasa, maka salah satu pilar demokrasi roboh. Pada saat itu, demokrasi berjalan pincang sebab tidak ada ‘lembaga’ yang mengontrol pergerakan institusi politik demokratis yang lain. Sebagai pilar demokrasi, pers harus berdiri tegak di atas wadas independensi dan profesionalisme.

Independensi dan konsistensi dalam menjalankan peran kritis, sangat urgen diterapkan pada musim kontestasi politik ini. Jiwa militansi dalam ‘mengkritisi’ laku politik kekuasaan, rasanya tak perlu ditawar lagi. Kekuasaan itu cenderung korup, tegas Lord Acton. Oleh sebab itu, pers mesti ‘mencubit dan menggigit’ terhadap pelbagai praktik politik manipulatif, distortif, dan koruptif dari penguasa tersebut.

Dengan menjalankan peran sebagai ‘lalat liar’ yang mengganggu kenyamanan status quo, pers telah berkontribusi dalam menyehatkan peradaban demokrasi. Sebaliknya, pers yang menjelma sebagai ‘pujangga istana kekuasaan’ yang rutin memuja dan menjilat meja kekuasaan, jelas punya andil dalam ‘merontokkan’ budaya demokrasi.

Pemilu 2024 menjadi momen pertaruhan institusi pers apakah tetap setia sebagai ‘anjing penjaga‘ atau berubah rupa menjadi ‘anjing peliharaan’ yang secara reguler menjilat remah-remah kenikmatan yang jatuh dari meja kekuasaan. Berharap ‘roh idealisme pers‘ tidak mudah digadai atau terseret oleh derasnya arus pragmatisme politik dalam gelanggang kontestasi saat ini. Selamat merayakan Hari pers Nasional kepada segenap ‘awak media‘ di seantero Indonesia.

*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.

Exit mobile version