Opini  

Kasus Tarsum, Antara Kekejaman dan Motif Tersembunyi

Oleh : Bonifasia Kristy Utami Juita

OPINI, Okebajo.com, – Kasus Tarsum yang menggemparkan Indonesia pada awal Mei 2024, kembali membuka luka lama tentang kompleksitas tindakan keji manusia, dibalut dengan motif tersembunyi yang kelam. Tarsum, seorang suami di Ciamis, Jawa Barat, tega menghabisi nyawa sang istri, Yanti, dengan cara yang begitu sadis “mutilasi”.

Kejadian ini sontak mengundang berbagai pertanyaan, spekulasi, dan analisis mendalam tentang apa yang mendasari tindakan kejam Tarsum.
Di balik tirai kekejaman Tarsum, terungkap berbagai motif yang diduga menjadi pemicunya. Salah satu yang paling menonjol adalah motif ekonomi. Pasangan Tarsum dan Yanti dikabarkan mengalami kesulitan keuangan yang berkepanjangan.

Beban ekonomi yang berat ini diduga memicu stres dan pertengkaran dalam rumah tangga mereka. Puncaknya, dalam momen pertengkaran yang meledak, Tarsum nekat menghabisi nyawa Yanti.

Tekanan ekonomi yang berat ini dapat memengaruhi kondisi mental seseorang, mendorong mereka untuk bertindak ekstrem. Dalam kasus Tarsum, kemungkinan besar ia merasa terdesak dan tidak memiliki jalan keluar lain selain menghilangkan sumber masalahnya, yaitu istrinya.

Motif lain yang tak kalah disorot adalah dugaan adanya masalah kejiwaan pada Tarsum. Beberapa hari sebelum kejadian, Yanti dikabarkan sempat mencoba bunuh diri. Perilaku Tarsum yang aneh dan tidak terkendali ini menimbulkan spekulasi bahwa ia mungkin mengalami depresi atau gangguan mental lainnya.

Hal ini pun diperkuat dengan hasil pemeriksaan kejiwaan yang dilakukan oleh tim medis. Namun, terlepas dari motif ekonomi dan kejiwaan, ada pula pihak yang menduga bahwa Tarsum memiliki motif tersembunyi lain yang lebih kelam. Spekulasi ini didasarkan pada kekejaman Tarsum dalam memutilasi Yanti, yang dilakukan dengan cara yang terbilang rapi dan sistematis. Dugaan ini pun memunculkan pertanyaan tentang kemungkinan adanya dendam atau kebencian yang mendalam di hati Tarsum terhadap sang istri.

Kasus Tarsum menjadi pengingat pahit tentang sisi gelap manusia yang dapat meledak kapan saja dalam bentuk tindakan keji. Kompleksitas motif di balik aksinya menjadi bukti bahwa di balik setiap kejahatan, selalu ada cerita yang kompleks dan multidimensi.
Di tengah berbagai spekulasi dan analisis, yang terpenting adalah memastikan proses hukum yang adil dan transparan untuk Tarsum. Penyelidikan menyeluruh dan pemeriksaan kejiwaan yang mendalam perlu dilakukan untuk mengungkap motif sebenarnya di balik tindakan kejamnya.

Kasus ini juga menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk selalu menjaga kesehatan mental dan keharmonisan rumah tangga. Komunikasi yang terbuka dan saling pengertian menjadi kunci untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali.

Lebih dari itu, kasus Tarsum juga membuka ruang diskusi tentang bagaimana masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama untuk memberikan bantuan dan dukungan bagi mereka yang mengalami kesulitan ekonomi, masalah kejiwaan, atau potensi kekerasan dalam rumah tangga. Pentingnya membangun sistem yang lebih komprehensif untuk mendeteksi dan menangani potensi-potensi tersebut menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman dan damai.

Tragedi Tarsum adalah luka yang mendalam bagi keluarga korban, masyarakat, dan bangsa ini. Namun, dari tragedi ini, kita dapat belajar dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. Dengan memahami kompleksitas motif di balik tindakan keji Tarsum, kita dapat membangun sistem yang lebih kuat untuk melindungi kesehatan mental, keharmonisan rumah tangga, dan keamanan masyarakat.

Kasus Tarsum, pelaku pembunuhan dan mutilasi terhadap istrinya di Ciamis, Jawa Barat, telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan tentang hubungan antara gangguan jiwa dan perilaku kriminal. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus serupa telah meningkat, memunculkan pertanyaan tentang apakah orang dengan gangguan jiwa seperti depresi lebih berpotensi untuk melakukan tindak kriminal.

Pada awalnya, penjelasan yang diberikan oleh pihak kepolisian dan dokter mengenai depresi Tarsum sebagai penyebab dari tindakannya tidak sepenuhnya memuaskan. Depresi, seperti yang diketahui, adalah suatu kondisi mental yang dapat menyebabkan seseorang mengalami perasaan sedih, keputusasaan, dan kehilangan minat pada aktivitas sehari-hari. Namun, tidak semua orang dengan depresi akan melakukan tindak kriminal. Justru, kebanyakan orang dengan depresi akan mencari bantuan dan dukungan dari orang-orang terdekat dan profesional.

Kasus Tarsum menunjukkan bahwa depresi tidak harus menjadi alasan untuk melakukan tindak kriminal. Tarsum, yang diduga mengalami depresi, tidak hanya membunuh istrinya tapi juga memutilasi tubuhnya. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum tapi juga melanggar nilai-nilai sosial dan moral yang berlaku di masyarakat.

Pada sisi lain, kasus Tarsum juga menunjukkan bahwa stigma terhadap gangguan jiwa masih sangat kuat di masyarakat. Kondisi ini dapat mempengaruhi cara masyarakat menanggapi orang-orang dengan gangguan jiwa, membuat mereka merasa takut dan malu untuk mencari bantuan.

Stigma ini juga dapat mempengaruhi cara pihak kepolisian dan profesional menangani kasus-kasus seperti ini, membuat mereka lebih cenderung untuk menyalahkan gangguan jiwa sebagai penyebab dari tindakan kriminal daripada mencari penyebab lainnya.
Dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini, kita perlu memahami bahwa gangguan jiwa tidak harus menjadi alasan untuk melakukan tindak kriminal. Kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gangguan jiwa dan pentingnya mendapatkan bantuan profesional jika diperlukan.

Kita juga perlu meningkatkan kerja sama antara pihak kepolisian, profesional, dan masyarakat untuk menangani kasus-kasus seperti ini dengan lebih efektif dan berempati.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami peningkatan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus-kasus pembunuhan dan mutilasi. Kasus Tarsum menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki gangguan jiwa, tapi juga oleh orang-orang yang tidak mengalami gangguan jiwa.

Kita perlu memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berhubungan dengan gangguan jiwa tapi juga dengan struktur sosial dan budaya yang memungkinkan kekerasan terhadap perempuan.
Dalam menghadapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan.

Kita perlu meningkatkan kerja sama antara pihak kepolisian, profesional, dan masyarakat untuk menangani kasus-kasus seperti ini dengan lebih efektif dan berempati. Kita juga perlu meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mendapatkan bantuan profesional jika diperlukan. **

Penulis adalah Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.

Catatan redaksi : Semua isi tulisan dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penuh dari penulis.

Exit mobile version