Profil Pak Tani “Bertani” di Dunia Maya

Igansius Musa Nai alias Pak Tani (tengah) tajir melintir di Studio RRI Pro1 dalam programa "Mozaik Indonesia" bersama presenter Ecak Masita. Foto/Isth

Labuan Bajo | Okebajo.com | Akun Tiktok “Ignasius Musanai Leca” Jadi viral. Dengan taqline “Pak Tani”, hampir tiap hari menayangkan conten edukatif berbahasa Manggarai, dialeg Kempo asli. Ribuan pengikut  tiap hari mengunjungi akun Tiktok Pak Tani.

Bermodalkan camera Canon, Pak Tani  memotret suka-duka petani sesungguhnya dari sudut pandang petani.

Pada Selasa, 9 Januari 2024, Pak Tani tajir melintir di Studio RRI Pro1 dalam programa “Mozaik Indonesia” bersama presenter Ecak Masita.

Sosok Pak Tani

Pak Tani bernama lengkap, Ignasius Musanai Leca (28 tahun). Pemuda lajang berasal dari Desa Wae Lolos, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Ia lahir di kampung Rangat pada Selasa, 28 Maret 1995.  Hari pertama kelahirannya berkisah tentang duka cita. Ibu kandungnya meninggal dunia sesaat melahirkan Musa. Kabut duka cita merundung Musa sejak hari pertama dilahirkan.

Musa, anak bungsu dari tiga bersaudara (Jeny, Musa) Buah hati (ayah) Hermanus Adi dan ibu Maria Afila. Ibunya berasal dari Kampung Rungkam, Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Boleng.

Ayahnya menikah lagi dengan Felomena Jau, gadis Lempe-Damot/Poco Dedeng, Kecamatan Lembor.

Ayah meninggal dunia

Pada 11 Nopember 1997, kabut duka cita kembali merundung Musa dan kedua saudarinya. Ayah mereka meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas di ruas jalan Bambor – Werang, sekitar kampung Lara, Desa Poco Golo Kempo. Sejak saat itulah Musa hidup yatim piatu.

7 tahun kemudian, Musa masuk sekolah di SDN Rangat. Musa salah satu dari sekian murid angkatan pertama SDN Rangat.

Setelah tamat SD, Musa masuk SMP Negeri 1 Tondong Raja (kini SMPN 1 Mbeliling).  Kelas 3 SMP, ia sering sakit hingga tidak sempat mengikuti ujian akhir di sekolah tersebut.

Sejak tahun 2012, Musa berkelana.  Berkerja sebagai petani di Kampung Rangat,  Desa wisata “Seribu Air Terjun” Wae Lolos.

Menekuni profesi petani  sejak usia 16 tahun. Ia bekerja sambil belajar mandiri. Hidup yatim-piatu bukan alasan baginya untuk pasrah. Sebaliknya dengan segala keterbatasan, ia berjuang, bekerja apa saja demi menyambung hidup.

“Saya memang tidak mempunyai apa-apa. Tetapi saya memiliki siapa-siapa”, ujar Musa saat berbincang dengan penulis di kebunnya suatu senja.  Itu falsafah hidupnya yang membuat dia selalu optimis akan eksistensinya.

Pelan tapi pasti, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, ia bekerja tanpa kenal lelah. Memanfaatkan tanah warisan orangtuanya dengan penuh tanggungjawab.

“Saya sangat  bersyukur karena bapa dan mama mewariskan harta tanah untuk saya. Karena itu saya memanfaatkan harta warisan ini  dengan bijak dan penuh rasa tanggungjawab. Saya sadar betul bahwa hanya dengan harta warisan ini saya bisa hidup”, tutur Musa.

Penulis sendiri mengenal Mus sejak kecil. Ia anak yang tekun dan berprilaku  santun dengan siapa saja.

Menanam porang

Tanaman porang mulai dilirik pasar pada tahun 2011. Sejak saat itu para tengkulak keluar-masuk kampung membeli porang dengan harga Rp 500 per kg.

Tahun 2015, umbi porang ramai diburu para tengkulak. Harganya cenderung naik  dari Rp1.500 hingga melejit  Rp5.000 per kg pada tahun 2018.

Musa juga pernah berbisnis porang. Ia dan beberapa teman sekampungnya bekerja sama dengan pemilik modal dari Dompu, NTB menjajal bisnis porang.

Musa berhasil mengumpulkan umbi porang sebanyak 16 ton. Ia berhenti bisnis porang tapi serius menanam.

Selain porang, Musa juga menanam berbagai komoditi, cengkeh, vanili, durian, rambutan, pisang dan tanaman sayur-sauyuran.

Hasil kebunnya dipanen setiap minggu, dijual ke Labuan Bajo menggunakan sepeda motor Revo.

“Siapa menabur, dia menuai”,  demikian falsafah hidup Pak Tani 28 tahun. Sukses selalu, Pak Tani. *

(Robert Perkasa)

Exit mobile version