Oleh : Jon Kadis, SH. *)
OPINI, Okebajo.com – Labuan Bajo, destinasi wisata super premium yang dicanangkan pemerintah sebagai etalase pariwisata Indonesia bahkan internasional kini tengah tercoreng akibat konflik tanah yang menyeret nama Santosa Kadiman. Sosok ini, yang juga diketahui sebagai Direktur Utama PT. Bumi Indah International dan pemilik Hotel St. Regis yang akan dibangun di Labuan Bajo, disebut sebagai biang kerok rusaknya citra Labuan Bajo di mata dunia.
Santosa Kadiman bukan hanya terlibat dalam sengketa tanah 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, tetapi juga dianggap sebagai simbol pengusaha licik yang mengabaikan hukum dan etika bisnis, apalagi mengabaikan masyarakat petani beserta nilai budayanya.
Hotel St. Regis, yang ia bangun tanpa sertifikat sah dan izin lengkap, menjadi bukti nyata bagaimana praktik illegal bisa menodai keindahan Labuan Bajo. Jika ini dibiarkan, tidak hanya citra Labuan Bajo yang hancur, tetapi juga harapan menjadikannya destinasi unggulan kelas dunia.
Labuan Bajo: Dari Surga Wisata Menjadi Kota Sengketa
Konflik tanah yang mencuat di Keranga adalah tamparan keras bagi reputasi Labuan Bajo. Dunia kini melihat sisi gelap dari kota wisata ini: sengketa lahan, manipulasi sertifikat, dan pengusaha hitam yang mengobrak-abrik tatanan hukum dan masyarakat lokal.
Santosa Kadiman, melalui berbagai manuvernya, diduga merampas tanah milik ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, tokoh lokal yang dikenal sebagai pendiri Masjid Agung Labuan Bajo dan sosok panutan masyarakat. Tanah yang memiliki nilai budaya dan religius bagi masyarakat setempat kini berubah menjadi ladang konflik demi kepentingan bisnis pribadi.
Apakah ini cerminan pengusaha yang baik? Apakah ini contoh investor yang kita harapkan untuk membangun Labuan Bajo? Pertanyaan ini tentu mencerminkan kegelisahan masyarakat yang semakin kehilangan kepercayaan terhadap iklim investasi di Labuan Bajo.
Nama Santosa Kadiman pertama kali muncul dalam Akta PPJB yang dibuat oleh notaris Bily Gonta pada 2014. Ia baru terlihat secara publik saat meresmikan Hotel St. Regis pada 22 April 2022, meskipun tanah tempat hotel itu berdiri masih dalam status sengketa. Lebih parah lagi, pembangunan hotel dilakukan tanpa sertifikat hak milik (SHM) dan izin resmi lainnya.
Surat hasil pemeriksaan dari Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI dan tegoran kepada Bupati buktinya, yaitu
permintaan pengawasan terhadap aktivitas PT. Bumi Indah International ( yang membangun hotel St Regis) karena diduga terjadi pelanggaran dalam penerbitan PPKPR karena tanahnya sedang bersengketa. Kenapa pelanggaran ini terjadi?
Keberanian pelanggaran ini mencerminkan betapa dalamnya jaringan kekuasaan yang mendukungnya. Santosa Kadiman bahkan disebut-sebut memiliki hubungan dekat dengan tokoh politik, termasuk mantan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Apakah ini sebabnya ia mampu melenggang bebas meskipun terseret berbagai dugaan pelanggaran hukum? Pada saat groundbreaking bangun hotel St Regis tersebut, Gubernur Viktor kala itu berpidato ” Kami menjamin kelancaran pembukaan usaha hotel ini”.
Namun, ketika konflik memanas, Santosa tiba-tiba menghilang bak ninja. Ketidakhadirannya dalam menghadapi tuduhan hanya memperkuat dugaan bahwa ia adalah aktor utama di balik kerusakan iklim investasi dan nama baik Labuan Bajo.
Dampak bagi Iklim Investasi dan Kepercayaan Masyarakat
Kehadiran “investor nakal” seperti Santosa Kadiman membawa dampak buruk yang tak hanya dirasakan oleh ahli waris Ibrahim Hanta, tetapi juga oleh masyarakat luas dan investor lain yang berniat baik. Labuan Bajo, yang seharusnya menjadi magnet pariwisata dunia, kini ternoda oleh label kota sengketa tanah. Gara-gara ini, Labuan Bajo destinasi wisata super premium dengan biawak Komodo, wisata budaya serta wisata baharinya tercemar. Nila setitik rusak susu sebelanga.
Keberadaan pengusaha-pengusaha semacam ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat lokal terhadap investasi, tetapi juga membuat calon investor ragu untuk berinvestasi di kawasan ini. Bagaimana mungkin mereka percaya pada keamanan investasi jika sertifikat tanah bisa diubah dan kepemilikan tanah bisa direbut begitu saja, yang akirnya ternyata tidak nyaman?
Siap Mati Demi Tanah Leluhur
Bagi ahli waris Ibrahim Hanta, tanah Keranga bukan sekadar aset, melainkan simbol identitas, sejarah, dan keberlanjutan hidup mereka.
“Kami siap mati di tanah leluhur kami,” pernyataan Muhamad Rudini ini, yang mewakili puluhan turunan kakek mereka, menunjukkan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh konflik ini.
Tanah ini bukan hanya menjadi tempat mereka bertani, tetapi juga memiliki nilai budaya dan religius yang tak ternilai harganya. Kehilangan tanah ini berarti kehilangan warisan leluhur yang telah mereka jaga selama ini.
Tokoh Toleransi yang Tersingkirkan
Namun, yang paling menyakitkan dari kasus ini adalah pengabaian terhadap sejarah dan kontribusi almarhum Ibrahim Hanta. Beliau bukan hanya tokoh lokal, tetapi juga simbol toleransi di Manggarai Barat. Almarhum dikenal sebagai pendiri Masjid Agung di Kampung Waemata, sekaligus sebagai sosok yang menghibahkan tanah untuk pembangunan Gua Maria bagi umat Katolik.
Anaknya, Nadi Ibrahim, ayah kandung Muhamad Rudini, bahkan menyumbangkan keramik, bangku dan kayu bahan bangunan untuk mendirikan Kapela Katolik di Kampung Rangat, tak jauh dari kota Labuan Bajo.
Ironisnya, tanah yang menjadi warisan keluarga besar Ibrahim Hanta kini dirampas oleh kekuatan yang lebih besar. Bagaimana mungkin seorang tokoh yang begitu berjasa dalam menciptakan harmoni antarsuku dan agama harus menyaksikan anak cucunya terpinggirkan?
Kasus Santosa Kadiman adalah pelajaran pahit tentang pentingnya integritas dan penegakan hukum dalam mengelola destinasi wisata berkelas dunia. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas terhadap pengusaha-pengusaha hitam yang mengabaikan aturan, menyingkirkan petani pemilik tanah yang lemah, dan hanya memikirkan keuntungan pribadi.
Jika Labuan Bajo ingin tetap menjadi destinasi super premium yang membanggakan Indonesia, maka semua pihak harus bersatu untuk menghentikan praktik illegal ini. Tanah leluhur harus dilindungi, masyarakat lokal harus dilibatkan, dan investasi harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Labuan Bajo bukan untuk dirusak oleh segelintir orang seperti Santosa Kadiman. Ini adalah warisan untuk generasi mendatang, dan tanggung jawab kita semua untuk menjaganya. **
*) Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Udayana, tinggal di Labuan Bajo dan sekaligus Penasihat Hukum dari keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta.
Catatan: Semua isi tulisan dalam artikel ini menjadi tanggung jawab penuh penulis.