Makna Mendalam Upacara Adat di Tanah 11 Hektar Keranga Melawan Mafia Tanah

Avatar photo

Oleh : Surion Florianus Adu

Opini, Okebajo.com – Pada tanggal 21 Desember 2024, sebuah momen sakral berlangsung di Keranga, Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Keluarga ahli waris almarhum Ibrahim Hanta melaksanakan ritual adat dan doa bersama sebagai simbol magis yang sarat dengan makna. Upacara ini tidak hanya menjadi pengingat sejarah, tetapi juga menegaskan legitimasi tanah adat yang diwariskan.

Bukan tanpa alasan, karena tanah seluas 11 hektar di Keranga awalnya dimiliki oleh almarhum Ibrahim Hanta pada tahun 1973 melalui proses adat Manggarai yang dikenal sebagai “kapu manuk lele tuak”. Proses ini merupakan bentuk pengakuan hak atas tanah adat yang disahkan oleh fungsionaris adat Kedaluan Nggorang, yakni Haji Ishaka bersama wakilnya, Haku Mustafa.

Setelah diakui secara adat, Ibrahim Hanta menguasai dan mengelola tanah tersebut dengan menanam berbagai tanaman jangka pendek dan panjang. Ia juga menandai batas tanah dengan pagar kayu hidup dan tumpukan batu, bukti yang masih ada hingga kini (batu tersusun, pagar kayu hidup, serta tanaman jati, jambu mente dan sebagainya). Batas-batas tanah tersebut mencakup sisi selatan yang berbatasan dengan kali mati.

Dalam adat Manggarai, proses serah terima melalui “kapu manuk lele tuak” memiliki kekuatan hukum adat yang sah, bahkan tanpa dokumen administrasi formal.

Peristiwa adat 1973 dgn cara “kapu manuk lele tuak” antara Ibrahim Hanta dan Fungsionaris Adat nggorang adalah sebuah peristiwa pemberian hak atas kepemilikan tanah dari pemangku adat kepada warga adat Nggorang yaitu Ibrahim Hanta, dimana peristiwa ini harus menjadi pemahaman bersama semua pihak seperti kutipan keterangan Haji Ramang Ishaka yang merupakan salah satu Putra kandung ketua fungsionaris adat Nggorang dan juga salah satu saksi kunci dalam sidang perkara Tipikor Pengadilan Tinggi Kupang, pada 8 oktober 2020 perkara tanah Pemda Manggarai Barat yang terletak di Torolema Batu Kalo, Kelurahan Labuan Bajo.

Keterangan dibawah sumpah Haji Ramang Ishaka dalam kesaksianya menjelaskan bhwa “Dari sisi Adat penyerahan itu telah terjadi dengan adanya proses adat Manggarai yang dilakukan yaitu dengan cara adat “kapu manuk lele tuak.

Proses surat menyurat, dan lainya hanyalah merupakan bagian pelengkap administrasi untuk penyerahan tanah. Seandainya tanpa adanya surat penyerahanpun bila sudah ada keputusan adat yang diucapkan oleh fungsionaris adat dan diketahui oleh pihak lain maka secara “SUDAH SAH”, lantaran prristiwa adat sudah terjadi.

Konflik terjadi ketika secara diam-diam muncul dua SHM no 02545 an Maria Fatmawati Naput dan SHM no 02549 an Paulus Grant Naput menyebrang batas kali mati di tanah milik Ibrahim Hanta 11 ha menggunakan surat berperihal : bukti penyerahan hak tanggal 10 Maret 1990 yang ditandatangani Ishaka, Haku Mustafa dan Nasar Bin Haji Supu.

Antara perihal dan isi surat tidak seperti layaknya surat penyerahan adat yg diterbitkan Fungsionaris Adat Nggorang, surat penyerahan 10 maret 1990 menerangkan proses hibah, jual beli tanpa menjelaskan pemberi tanah (emtai) kerterlibatan Ishaka dan Haku Mustafa bukanlah si pemberi lahan sesuai historis 1915 jauh sebelum fungsi kedaluan dibubarkan serta Indonesia merdeka dimana Labuan Bajo tidak memiliki Tua Golo, atau Tua Teno sebagai jabatan formal adat.

Dalam surat bukti penyerahan yg di buat 10 Maret 1990 menjelaskan batas-batas tanah milik Niko Naput sebagai berikut : Selatan berbatasan dgn Tanah milik Negara, Timur berbatasan denga tanah Negara, Barat berbatasan dengan laut flores.

Dalam keterangan kesaksian Haji Ramang Ishaka dibawah sumpah di Pengadilan Negeri Tipikor Kupang, NTT pada tahun 2020 terkait perkara tanah Pemda Torolema Batu Kalo, mengatajan “sesuai dokumen yang dimiliki Niko Naput atas nama Yayasan Pembangunan Manggarai terletak di Kerangan yang diperuntukan pembangunan sekolah perikanan manggarai. Artinya ketika terjadi tumpang tindih penyerahan maka dapat dipastikan Fungsionaris Adat Nggorang telah membatalkan pihak Niko Naput yang mengklaim tanah milik orang lain sebagaimana fungsionaris adat telah menerbitkan surat tanggal 17 Januari 1998 yang isinya ; membatalkan surat penyerahan tanah 21 okteber 1991 di Kerangan.

Dari fakta diatas dapat dipastikan bahwa batas Timur dari tanah milik Ibrahim Hanta seluas 11 ha berbatasan dengan jali mati yang terdapat tumpukan batu umpu (batu batas yg tersusun) sebelah selatan kali mati jelas tanah milik Yayasan Pembangunan manggarai dan selatan tanah Yayasan Pembangunan Manggarai adalah Tanah Nasar Bin Haji Supu seluas 4 ha.

Ketika Niko Naput menggunakan surat bukti penyerahan tanah adat tanggal 10 Maret 1990 klaim 16 ha maka yang terjadi, tanah Yayasan Pembangunan Manggarai dan tanah Milik Ibrahim Hanta dirampas dengan diterbitkanya dua SHM 02545 dan 02549 milik Niko Naput di atas sebagian tanah milik Ibrahim Hanta.

Upacara Adat dan Doa menguatkan Jawaban Salah Ploting oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Labuan bajo Kabupaten Manggarai Barat NTT dan Hasil kerja Intelejen Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI.

*Muncul akta PPJB dan Peran Santosa Kadiman*

Konflik bermula pada tahun 2014, ketika Santosa Kadiman, seorang pengusaha ternama, bersama Nikolaus Naput melakukan transaksi jual beli tanah melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) di hadapan Notaris Billy Ginta. Tanah yang dijual disebut memiliki luas 40 hektar, berlokasi di Torolema/Keranga. Namun, fakta menunjukkan bahwa alas hak tanah yang mereka klaim berasal dari pembelian atas nama Nasar Supu.

Lebih jauh lagi, tanah tersebut disebutkan berbatasan dengan tanah adat di sisi timur dan selatan, termasuk tanah 11 hektar milik ahli waris Ibrahim Hanta.

Dalam sidang perdata No. 1/2024 di PN Labuan Bajo, terungkap bahwa tanah 11 hektar ini dimasukkan secara tidak sah ke dalam PPJB, meskipun sudah jelas merupakan hak milik adat yang diberikan melalui prosesi adat “kapu manuk lele tuak” pada tahun 1973.

Santosa Kadiman, diduga dengan dugaan kekuatan mafianya, berkolaborasi dengan Nikolaus Naput untuk mengklaim tanah 11 hektar tersebut. Salah satu taktik yang digunakan adalah dengan menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anak-anak Nikolaus Naput pada tahun 2017. Anehnya, SHM tersebut didasarkan pada surat hibah tanah bertanggal Januari 2019 yang ditandatangani atas nama Ibrahim Hanta, meskipun almarhum meninggal pada tahun 1986.

Keanehan lainnya adalah klaim atas tanah 16 hektar dari Nasar Supu. Menurut saksi dan penyelidikan pengacara ahli waris IH, tanah yang sebenarnya dibeli Nikolaus Naput dari Nasar Supu hanyalah 4 hektar, bukan 16 hektar seperti yang diklaim dalam dokumen. Dugaan pemalsuan dokumen ini semakin menguatkan indikasi adanya manipulasi administratif yang melibatkan oknum tertentu di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan aparat penegak hukum.

Dari Pengadilan Hingga Upacara Adat
Ahli waris Ibrahim Hanta tidak tinggal diam. Mereka mengajukan gugatan perdata dan berhasil memenangkan perkara di PN Labuan Bajo pada 23 Oktober 2024. Pengadilan menyatakan bahwa SHM anak-anak Nikolaus Naput atas tanah 11 hektar tersebut cacat hukum, baik secara yuridis maupun administratif. Namun, pihak tergugat mengajukan banding dengan alasan yang kembali merujuk pada surat alas hak 10 Maret 1990 seluas 16 hektar.

Selain perjuangan di ranah hukum, ahli waris juga melakukan upacara adat dan doa bersama pada 21 Desember 2024 di atas tanah 11 hektar. Ritual ini menjadi simbol perlawanan terhadap manipulasi dan penghormatan terhadap nilai-nilai leluhur Manggarai. Mereka tetap rutin mengelola tanah tersebut, menanam jagung, dan menjaga keberlanjutan warisan leluhur meskipun menghadapi intimidasi dan ancaman sejak tahun 2014.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana mafia tanah bekerja, memanfaatkan celah hukum, pengaruh politik, dan kekuatan finansial untuk mengambil alih hak-hak masyarakat kecil. Santosa Kadiman, diduga dengan “kekuatan mafianya,” menggunakan jaringan untuk mempercepat proses hukum terhadap pihak penggugat. Sebaliknya, laporan polisi yang diajukan ahli waris IH sering kali terhenti atau berjalan lambat.

Kasus tanah di Keranga mengajarkan bahwa perjuangan untuk keadilan membutuhkan keberanian dan keteguhan hati. Ahli waris Ibrahim Hanta meskipun menghadapi kekuatan besar, tetap teguh mempertahankan hak mereka atas tanah leluhur. Dalam budaya Manggarai, tanah adalah warisan suci yang menghubungkan generasi dengan leluhur mereka.

Meski dihadapkan pada tekanan hukum dan sosial, keluarga ahli waris Ibrahim Hanta tetap berjuang untuk mempertahankan hak atas tanah adat mereka.

Upacara adat dan doa bersama yang diadakan di atas tanah 11 hektar Keranga pada Desember 2024 menjadi simbol perlawanan terhadap upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh pihak yang mengklaim tanah tersebut. Mereka menegaskan bahwa tanah tersebut adalah milik sah mereka berdasarkan adat, dan segala klaim yang tidak sesuai dengan hukum adat Manggarai adalah tidak sah.

Meskipun ada upaya untuk memanipulasi dokumen dan klaim hak atas tanah, pihak ahli waris Ibrahim Hanta tetap teguh dalam memperjuangkan hak mereka, dengan harapan bahwa keadilan akan tetap ditegakkan.

Oke Bajo

Editor: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *