Tim PH Ahli Waris Ibrahim Hanta: Sidang Tambahan Sengketa Tanah Keranga Tidak Akan Mengubah Putusan PN Labuan Bajo

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com – Tim Pengacara ahli waris almarhum Ibrahim Hanta menegaskan bahwa permohonan sidang tambahan yang dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi Kupang dalam perkara sengketa tanah Keranga, tidak akan mempengaruhi atau mengubah putusan yang sudah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 23 Oktober 2024.

Dr. Ch. Indra Triantoro, S.H., M.H., menyatakan bahwa keputusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo tersebut sudah sah dan final, serta telah melalui seluruh proses hukum yang berlaku.

“Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Labuan Bajo telah melalui seluruh proses pemeriksaan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sidang tambahan yang diusulkan oleh pihak Santoso Kadiman (Pemilik Hotel St. Regist) dan dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi Kupang tidak serta merta mengubah atau membatalkan putusan yang sudah dikeluarkan pada tingkat pertama,” ujar Dr. Indra Triantoro Jumat, (17/1/2025).

Lebih lanjut, pihak ahli waris Ibrahim Hanta meyakini bahwa keputusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo sudah memperhatikan semua bukti dan argumen yang diajukan oleh kedua belah pihak, termasuk pihak Santoso Kadiman.

“Kami percaya bahwa proses hukum yang berjalan hingga saat ini telah dilakukan dengan transparan dan adil. Sidang tambahan yang dilakukan pada tingkat banding lebih merupakan upaya untuk memastikan semua bukti baru dapat diuji kembali, namun itu tidak mengubah substansi keputusan yang sudah diputuskan di tingkat pertama,” tegasnya.

Pihak penggugat juga menyatakan bahwa gugatan atas hak kepemilikan tanah tersebut didasarkan pada bukti yang sah dan prosedur yang benar, sehingga mereka tetap pada posisi bahwa klaim tanah yang diajukan oleh Santoso Kadiman tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Jon Kadis, S.H anggota tim PH keluarga ahli waris menegaskan bahwa sudah berulang ulang kali pihaknya meminta pihak Santosa Kadiman atau pemilik hotel st. Regist Labuan Bajo untuk tunjukkan dan buktikan asli surat perolehan dari ulayat 10 maret 1990 dengan luas 16 ha tersebut, namun Santosa Kadiman menghindar dan takut.

“Ya karena memang surat perolehan tanah 10 maret 1990 luas 16 ha itu tidak ada surat aslinya. Kalau gentle ayo tunjukan mana surat aslinya,” jelas Jon.

Ia menegaskan bahwa hasil pemeriksaan satgas mafia tanah Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) menjadi bukti kuat dalam mengungkap fakta sebenarnya, meski terus dibantah oleh pihak-pihak tersebut.

Jon Kadis mengungkapkan bahwa hasil penyelidikan dari Kejagung RI beberapa waktu lalu telah memperjelas bahwa kelima SHM atas nama keluarga Niko Naput tidak sah.

“Hasil pemeriksaan Kejagung RI telah menjadi bukti yang sangat kuat. Temuan tersebut menyatakan bahwa kelima SHM itu cacat yuridis, cacat administrasi, dan tidak memiliki alas hak yang asli. Anehnya, temuan ini dibantah oleh pihak-pihak terkait, seolah-olah mengabaikan fakta hukum yang telah diungkap Kejagung,” ujar Jon Kadis.

Ia juga menyoroti alasan penerbitan kelima SHM, yang didasarkan pada surat perolehan tanah adat tanggal 10 Maret 1990 seluas 16 hektar.

“Surat itu sendiri sudah diperiksa oleh Kejagung dan dinyatakan sebagai dokumen yang tidak benar. Oleh sebab itu, kelima SHM yang diterbitkan berdasarkan surat tersebut juga dinyatakan tidak sah,” tegasnya.

Selain itu, Fakta ketika PS (Pemeriksaan Setempat) oleh Majelis Hakim PN (Pengadilan Negeri) Labuan Bajo atas Perkara no.1/2024 dimana putusannya kemudian bahwa Pihak Niko Naput dan Santosa Kadiman kalah, ini salah satu bukti bahwa alas hak pihak Niko Naput berupa surat tertanggal 10 Maret 1990 seluas 16 hektarnya itu diangggap tidak ada, alias palsu, dan salah lokasi, dan lebih jelasnya lagi “tidak ada tanahnya”.

Menurut Jon, bahwa pihak Niko Naput dan Santosa Kadiman bahkan tidak mengetahui batas-batas tanah yang mereka klaim.

“Tim PH dari Niko Naput dan Santosa Kadiman, pembeli tanah seluas 40 ha yang berlokasi di Torolema/Keranga, tidak mengetahui batas-batasnya, mereka malah menunjukkan lokasi yang sama di tanah 11 ha milik ahli waris Ibrahim Hanta. Di lapangan juga petugas BPN mengakui salah lokasi, salah ploting”, kata Jon.

Sementara itu, pihak ahli waris Ibrahim Hanta juga menyampaikan bahwa mereka siap menghadapi proses banding yang sedang berjalan dan berharap proses hukum ini berjalan dengan adil tanpa terpengaruh oleh permohonan sidang tambahan yang diajukan oleh pihak Santoso Kadiman.

“Kami akan terus mengikuti proses hukum ini dengan penuh keyakinan bahwa hak-hak klien kami tetap terjamin sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Jon Kadis

Dengan demikian, meskipun permohonan sidang tambahan telah dikabulkan, pihak penggugat menegaskan bahwa itu tidak akan mengubah keputusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo yang sudah final pada 23 Oktober 2024, dan proses banding yang sedang berjalan akan menjadi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk mengajukan bukti dan argumen lebih lanjut.

Diketahui, tanah seluas 11 hektar di Keranga awalnya dimiliki oleh almarhum Ibrahim Hanta pada tahun 1973 melalui proses adat Manggarai yang dikenal sebagai “kapu manuk lele tuak”. Proses ini merupakan bentuk pengakuan hak atas tanah adat yang disahkan oleh fungsionaris adat Kedaluan Nggorang, yakni Haji Ishaka bersama wakilnya, Haku Mustafa.

Setelah diakui secara adat, Ibrahim Hanta menguasai dan mengelola tanah tersebut dengan menanam berbagai tanaman jangka pendek dan panjang. Ia juga menandai batas tanah dengan pagar kayu hidup dan tumpukan batu, bukti yang masih ada hingga kini (batu tersusun, pagar kayu hidup, serta tanaman jati, jambu mente dan sebagainya). Batas-batas tanah tersebut mencakup sisi selatan yang berbatasan dengan kali mati.

Dalam adat Manggarai, proses serah terima melalui “kapu manuk lele tuak” memiliki kekuatan hukum adat yang sah, bahkan tanpa dokumen administrasi formal.

“Peristiwa adat 1973 dgn cara “kapu manuk lele tuak” antara Ibrahim Hanta dan Fungsionaris Adat nggorang adalah sebuah peristiwa pemberian hak atas kepemilikan tanah dari pemangku adat kepada warga adat Nggorang yaitu Ibrahim Hanta, dimana peristiwa ini harus menjadi pemahaman bersama semua pihak seperti kutipan keterangan Haji Ramang Ishaka yang merupakan salah satu Putra kandung ketua Fungsionaris Adat Nggorang dan juga salah satu saksi kunci dalam sidang perkara Tipikor Pengadilan Tinggi Kupang, pada 8 oktober 2020 perkara tanah Pemda Manggarai Barat yang terletak di Torolema Batu Kalo, Kelurahan Labuan Bajo,” beber Jon Kadis.

Ia menuturkan bahwa Keterangan dibawah sumpah Haji Ramang Ishaka dalam kesaksianya menjelaskan bhwa “Dari sisi Adat penyerahan itu telah terjadi dengan adanya proses adat Manggarai yang dilakukan yaitu dengan cara adat “kapu manuk lele tuak”.

“Proses surat menyurat, dan lainya hanyalah merupakan bagian pelengkap administrasi untuk penyerahan tanah. Seandainya tanpa adanya surat penyerahanpun bila sudah ada keputusan adat yang diucapkan oleh fungsionaris adat dan diketahui oleh pihak lain maka secara “SUDAH SAH”, lantaran prristiwa adat sudah terjadi,” jelasnya.

Konflik terjadi ketika secara diam-diam muncul dua SHM no 02545 an Maria Fatmawati Naput dan SHM no 02549 an Paulus Grant Naput menyebrang batas kali mati di tanah milik Ibrahim Hanta 11 ha menggunakan surat berperihal : bukti penyerahan hak tanggal 10 Maret 1990 yang ditandatangani Ishaka, Haku Mustafa dan Nasar Bin Haji Supu.

“Antara perihal dan isi surat tidak seperti layaknya surat penyerahan adat yg diterbitkan Fungsionaris Adat Nggorang, surat penyerahan 10 maret 1990 menerangkan proses hibah, jual beli tanpa menjelaskan pemberi tanah (emtai) kerterlibatan Ishaka dan Haku Mudtafa bukanlah si pemberi lahan sesuai historis 1915 jauh sebelum fungsi kedaluan dibubarkan serta Indonesia merdeka dimana Labuan Bajo tidak memiliki Tua Golo, atau Tua Teno sebagai jabatan formal adat,” jelas Jon

Dalam surat bukti penyerahan yang dibuat 10 Maret 1990 menjelaskan batas-batas tanah milik Niko Naput sebagai berikut : Selatan berbatasan dgn Tanah milik Negara, Timur berbatasan denga tanah Negara, Barat berbatasan dengan laut flores.

Dalam keterangan kesaksian Haji Ramang Ishaka dibawah sumpah di Pengadilan Negeri Tipikor Kupang, NTT pada tahun 2020 terkait perkara tanah Pemda Torolema Batu Kalo, mengatakan “sesuai dokumen yang dimiliki Niko Naput atas nama Yayasan Pembangunan Manggarai terletak di Kerangan yang diperuntukan pembangunan sekolah perikanan manggarai.

“Artinya ketika terjadi tumpang tindih penyerahan maka dapat dipastikan Fungsionaris Adat Nggorang telah membatalkan pihak Niko Naput yang mengklaim tanah milik orang lain sebagaimana fungsionaris adat telah menerbitkan surat tanggal 17 Januari 1998 yang isinya ; membatalkan surat penyerahan tanah 21 okteber 1991 di Kerangan,” jelasnya

Ia jelaskan bahwa dari fakta diatas dapat dipastikan bahwa batas Timur dari tanah milik Ibrahim Hanta seluas 11 ha berbatasan dengan kali mati yang terdapat tumpukan batu umpu (batu batas yg tersusun) sebelah selatan kali mati jelas tanah milik Yayasan Pembangunan manggarai dan selatan tanah Yayasan Pembangunan Manggarai adalah Tanah Nasar Bin Haji Supu seluas 4 ha.

“Ketika Niko Naput menggunakan surat bukti penyerahan tanah adat tanggal 10 Maret 1990 klaim 16 ha maka yang terjadi, tanah Yayasan Pembangunan Manggarai dan tanah Milik Ibrahim Hanta dirampas dengan diterbitkanya dua SHM 02545 dan 02549 milik Niko Naput di atas sebagian tanah milik Ibrahim Hanta,” tutup Jon. ***

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *