Labuan Bajo, Okebajo.com – Sengketa tanah Keranga kembali bergulir dalam sidang tambahan di Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo pada Senin (3/2/2025). Dalam sidang ini, keluarga besar ahli waris almarhum Ibrahim Hanta menilai bahwa bukti baru yang diajukan pemohon banding tidak memiliki urgensi yang signifikan dalam perkara ini.
Pemohon banding, keluarga Niko Naput dan Santosa Kadiman, melalui kuasa hukumnya, sebelumnya mengajukan permohonan sidang pemeriksaan tambahan di Pengadilan Tinggi (PT) Kupang. Permohonan ini dikabulkan melalui putusan sela tertanggal 10 Januari 2025, dengan tujuan memverifikasi dalil-dalil dalam memori banding, termasuk memeriksa saksi ahli dan bukti tambahan yang diajukan.
Dalam sidang tambahan ini, pemohon banding menghadirkan dua saksi ahli serta beberapa bukti baru (novum), salah satunya adalah surat keterangan dari Camat Komodo tertanggal 30 Januari 2025.
Namun, menurut Surion Florianus Adu, salah satu perwakilan masyarakat Ulayat Kedaluan Nggorang, bukti ini tidak terlalu relevan. Ia menegaskan bahwa keterangan dari Camat Komodo hanya mengonfirmasi bahwa surat pembatalan penyerahan tanah adat tertanggal 17 Januari 1998 tidak ada di kantor kecamatan.
“Hal itu wajar, karena peristiwa tersebut terjadi pada 1998, jauh sebelum pemekaran Manggarai Barat. Saat itu, kantor Kecamatan Komodo masih berada di lokasi yang berbeda, dengan camat yang berbeda pula. Selain itu, surat pembatalan dikeluarkan oleh fungsionaris adat dan diberikan kepada masyarakat ulayat, bukan ke kantor camat. Jadi, mustahil dokumen tersebut ada di sana,” tegas Florianus.
Ia juga menyoroti klaim pemohon banding yang menyebut bahwa tanah tersebut sah diberikan oleh fungsionaris adat kepada Haji Nassar Supu, yang kemudian menjualnya kepada Nikolaus Naput. Namun, ia mempertanyakan dasar klaim luas tanah yang diperjualbelikan yang diduga luasnya kurang lebih 4 hektar saja.
“Pertanyaannya dari mana luas 16 hektar dan dari mana luas 40 hektar yang sudah di PPJB-kan di Notaris Billy Ginta?,” tanya Florianus.
Dalam persidangan, ahli hukum agraria dan hukum adat, Farida Patittingi menyampaikan, tanah ulayat yang telah diserahkan oleh Ketua Adat/Fungsionaris dan diterima seseorang secara individu, maka tanah yang sudah diserahkan tersebut tidak bisa dibatalkan secara sepihak, termasuk oleh Fungsionaris Adat.
“Tidak ada pembatalan penyerahan tanah adat secara sepihak dan itu tidak mungkin. Jadi kalau ada surat pembatalan, saya meragukan keabsahan surat tersebut,” kata Farida mengutip Koranntt.com.
Namun, pernyataan ini dipertanyakan oleh Florianus. Ia menegaskan bahwa dalam sidang sebelumnya, saksi ahli justru mengakui bahwa pembatalan bisa dilakukan jika terjadi tumpang tindih kepemilikan.
“Itu kan benar menurut dia saja. Tetapi faktanya bisa dibatalkan selama pembagian itu tidak terjadi tumpang tindih di lokasi atau obyek pembagian yang sama dan itu kesaksian ahli hukum agraria pada sidang sebelumnya. Jadi jangan terbalik lagi keteranganya, nanti kita minta rekaman sidang PN Labuan Bajo karena beliau saat itu mengatakan bahwa hak prerogatif seorang Ulayat yang dipercayakan masyarakat adatnya untuk menyerahkan dan bisa membatalkan jika terjadi tumpang tindih pada obyek yang sama. Jadi adanya pembatalan itu karena memang terjadi tumpang tindih kepemilikan,” tegas Florianus.
Ia menambahkan bahwa mau 100 saksi ahli yang dihadirkan juga tidak akan merubah surat 10 Maret 1990 yang tidak ada aslinya dan tidak identik dengan surat pelepasan hak yang lazim diberikan fungsionaris adat kepada masyarakat adatnya yaitu 1 lembar bolak-balik kemudian ditandatangani oleh ketua Fungsionaris adat dan si penerima.
“Bukan seperti redaksi surat foto copy 10 Maret 1990 tersebut yang mereka tunjuk yang bentuknya identik dengan surat hibah karena menghadirkan Ulayat dalam penjelasan ahli waris,” kata Florianus.
Ia menyebut bahwa jikalau seandainya pihak pengadilan Tinggi Kupang mengikuti kesaksian saksi ahli bahwa surat pembatalan 17 Januari 1998 itu tidak ada, maka peristiwa hukum kemudian yang terjadi adalah membatalkan semua keterangan saksi oleh Haji Ramang pada sidang Tipikor Kupang terkait kasus aset Pemda Manggarai Barat 30 hektar tahun 2020.
“Bahwa kesaksian Haji Ramang selaku anak dari Haji Ishaka, Ketua Fungsionaris Adat Nggorang dibawah sumpah di pengadilan Tipikor Kupang sudah ada dalam berita acara pemeriksaan yang sudah diputuskan secara incrah. Jadi ini perlu hati-hati,” tegasnya.
Farida yang juga Dosen di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu memastikan, seseorang yang telah menerima tanah ulayat itu pun dapat melakukan perbuatan hukum, apakah dengan menjual tanah atau menghibahkan, itu adalah haknya.
“Jadi kalau suatu bidang tanah sudah lepas dari lingkungan hak ulayat dalam suatu penyerahan menjadi hak pribadi, sepanjang tanah itu di manfaatkan dan dijaga maka tanah itu akan menjadi hak yang bersangkutan dan dia berhak melakukan apa saja atas tanah tersebut,” tandasnya dikutip dari Koranntt.com.
Namun Florianus Adu menyebut bahwa benar seseorang yang menerima tanah adat dri Ulayat melalui proses adat “kapu manuk lele tuak” kepada pemangku ulayat, selanjutnya dinyatakan sah dan penerima berhak melakukan aktivitas penguasaan lahan dengan menanam, memagar dan sebagainya di atas lahan tersebut hingga menjual atau menghibahkanya.
“Namun peristiwa menjual dan menghibahkan itu tentu bukan lagi urusan pemangku ulayat. Pemangku ulayat berwenang membuat surat pelepasan atas tanah manakala dibutuhkan oleh si penerima tanah 11 hektar milik Ibrahim Hanta yang telah melalui proses “kapu manuk lele tuak” telah dilakukan penguasaan dgn fakta adannya pagar kayu, pagar batu (watu umpu) ada pondok hingga adanya tanaman jangka panjang yang masih hidup sampai saat ini, hal itu membuktikan bahwa si penerima tanah menghormati apa yang menjadi titah pemangku ulayat bahwa tanah adat yang diberikan harus dimanfaatkan,” jelas Florianus.
Keabsahan Surat Alas Hak Dipertanyakan
Florianus juga menyoroti keabsahan surat alas hak tertanggal 10 Maret 1990 seluas 16 hektar, yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tanah oleh BPN Manggarai Barat. Ia mengungkapkan bahwa hingga saat ini, pihak tergugat belum mampu menunjukkan dokumen asli.
“Akar persoalan yang menyedot perhatian publik itu adalah terkait adanya produk hukum, diterbitkanya sertifikat dari BPN Manggarai Barat berdasarkan surat alas hak pelepasan 10 Maret 1990 tanah seluas 16 hektar . Nah pertanyaannya sejauh manakah keabsahan surat alas hak tersebut?. Ketika BPN sendiri dengan suara lantang mengatakan dengan tegas bahwa tidak ada surat alas hak yang asli, kemudian dalam sidang sebelum-sebelumnya di PN Labuan Bajo, Tim PH tergugat dengan lantang mengatakan bahwa akan menunjukan surat alas hak yang aslinya sebagai hak atas tanah di Keranga. Namun pada akhir sidang hingga adanya putusan PN Labuan Bajo bahkan sampai sekarang tidak pernah tunjukan dokumen aslinya,” ujar Florianus.
Sementara itu, kata Florianus, antara surat 10 Maret 1990 dan surat pembatalan penyerahan tanah tertanggal 17 Januari 1998 tidak akan ada korelasinya.
“Alasannya, karena ini persoalan ada dan atau tidak ada. Pertanyaannya, andaikan surat pembatalan tahun 1998 itu benar-bnar ada maka surat tersebut mau membatalkan obyek yang mana? Apakah obyeknya 11 hektar milik Ibrahim Hanta ataukah 40 hektar yang sudah di PPJB-kan pada tahun 2014 oleh Niko Naput dan Santosa Kadiman? Ataukah membatalkan obyek 16 hektar milik Niko Naput juga?,” tanya Florianus.
Kemudian kata dia, jika surat pembatalan 17 Januari 1998 itu tidak ada, apa fungsinya?.
“Menurut saya tidak ada fungsinya. Karena tidak ada yang dirugikan baik itu terhadap penggugat maupun terhadap tergugat. Pertanyaanya sekarang yang sangat dirindukan oleh publik bahwa apa dasar penerbitan sertifikat di BPN Manggarai Barat?,” lanjut Florianus.
Ia menjelaskan bahwa di dalam wilayah hak kepemilikan ahli waris Ibrahim Hanta, jawaban BPN Manggarai Barat tidak ada alas hak. Yang berikut yang dimaksud dengan kejahatan hukum berdasarkan hasil investigasi Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung Republik Indonesia adalah penerbitan 5 SHM atas anak-anak Nikolaus Naout tanpa alas hak asli.
“Berarti yang diajukan hanya gunakan surat alas hak yang foto Copi saja. Tidak ada surat alas hak asli. kemudian lokasi tanahnya juga tidak jelas. Nah, mestinya kejahatan ini yang menjadi atensi publik dan atensi penegak hukum yang mana pihak tergugat menerbitkan sertifikat tanpa alas hak yang asli dan menerbitkan 5nsertifikat anak-anak Nikolaus Naput di atas lahan milik orang lain,” tegas Florianus.
Menurutnya, kejahatan ini adalah kejahatan yang sangat luar biasa. Karena pengklaiman tersebut bukan hanya 1 hektar saja namun puluhan hektar.
“Jadi keputusan pengadilan Negeri Labuan Bajo pada bulan Oktober 2024 itu sudah sangat tepat dan transparan, karena pengkaliman 16 hektar tanpa menggunakan alas hak asli bahkan juga mereka gunakan PPJB 40 hektar tanpa alas hak asli. Perlu saya tegaskan bahwa terkait surat pembatalan 17 Januari 1998, baik itu ada atau tidak maka itu tidak akan berpengaruh dan tidak akan merubah fakta hukum surat 10 Maret 1990 akan menjadi asli,” ujarnya.
Florianus Adu juga menekankan bahwa ketika pihak tergugat mengatakan bahwa surat pembatalan 17 Januari tidak ada maka nanti pihak akan buka semuanya secara terbuka.
“Rakyat Manggarai Barat dan masyarakat Ulayat Nggorang akan menunjukan itu yang mana yurisprudensi perkara yang sama menggunakan alat bukti yang sama di sidang Tipikor Kupang tahun 2020, surat ini benar-benar ada berdasarkan kesaksian oleh Haji Ramang Ishaka (Anak Ketua Fungsionaris Adat Nggorang) dan sudah ada putusan inkrahnya. Itu artinya seluruh fakta-fakta hukum dan seluruh alat-alat bukti benar adanya,” tutup Florianus.