Biaya Otopsi Kasus Pembunuhan Elda, Keluarga Diminta Kumpulkan Dana Hingga Ayah Korban Menjual Tanah

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com – Di tengah proses hukum kasus pembunuhan tragis Sustiana Melci Elda (22), polemik baru mencuat. Kali ini, keluarga korban dihadapkan pada keharusan mengumpulkan dana otopsi yang seharusnya ditanggung oleh negara. Lebih mengejutkan lagi, penggalangan dana ini didorong langsung oleh Kepala Desa Nggorang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat meski secara hukum tak dibenarkan.

Biaya Otopsi yang Tidak Seharusnya Ditanggung Keluarga

Otopsi terhadap jenazah Elda dilakukan pada Sabtu (12/10/2024) di TPU Watu Langkas, Desa Nggorang, Kecamatan Komodo. Proses ini disetujui oleh pihak keluarga, termasuk ayah korban Adrianus Jehadun, ibu korban Natalia Din, serta beberapa keluarga lainnya. Persetujuan ini tertuang dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh pemerintah desa, termasuk Kepala Desa Nggorang, Bonifasius Mansur, S.IP.

Namun, muncul persoalan ketika keluarga korban diberitahu bahwa mereka harus menanggung biaya otopsi yang diperkirakan mencapai Rp30 juta. Kabar ini disampaikan oleh Kepala Desa Nggorang, meski aturan hukum berdasarkan Pasal 136 dan 229 KUHAP serta Pasal 125 UU Kesehatan menyatakan bahwa biaya otopsi dalam proses penyidikan harus dibiayai oleh APBN atau APBD.

Warga Patungan, Dana Dikelola Kades

Menghadapi beban biaya yang besar, masyarakat di kampung Watu Langkas dan sebagian warga Nggorang spontan berinisiatif mengumpulkan dana. Total dana yang berhasil dikumpulkan sekitar Rp18 juta.

Menurut Adrianus Jehadun, ayah korban, biaya otopsi awalnya diperkirakan mencapai Rp30 juta. Namun, jumlah yang berhasil dikumpulkan masyarakat hanya sekitar Rp18 juta.

“Penjelasan mereka, Kades bilang ada biaya otopsi. Meski sebagian keluarga membantah, tetap tidak dihiraukan, mengingat yang bicara ini kan seorang Kepala Desa yang juga bagian dari keluarga. Dari situ, masyarakat di kampung Watu Langkas dan sebagian di Nggorang berinisiatif mengumpulkan uang. Hasilnya hampir Rp20 juta. Mereka sendiri yang urus dan saya tidak pegang uangnya itu. Intinya saya dan istri tidak fokus itu karna situasi duka,” ujar Adrianus, Selasa (25/2/2025) malam.

Bahkan, keluarga sempat membuka donasi di Facebook untuk menutupi kekurangan biaya otopsi, namun postingan tersebut kemudian dihapus setelah mendapat kecaman publik.

Dilanjutkan ayah korban, selama proses hukum berlangsung, tidak ada pihak kepolisian yang mengonfirmasi soal uang otopsi. Semua informasi hanya datang dari Kepala Desa.

“Selama proses ini, polisi tidak ada bicara uang, hanya dari kepala desa. Kami iya-iya saja, maklum dengan berbagai keterbatasan,” sebut Adrianus dengan nada bingung.

Setelah otopsi selesai, keluarga terkejut mendengar pernyataan Kades bahwa Rp10 juta dari dana yang terkumpul diberikan kepada dokter forensik, sementara Rp8 juta digunakan untuk konsumsi selama proses otopsi.

“Setelah otopsi selesai, kami dikagetkan dengan penyampaian lisan dari Kades di rumah duka bahwa uang Rp10 juta diberikan ke dokter dan Rp8 juta untuk makan minum,” beber Adrianus.

Kisruh biaya otopsi ini semakin menambah penderitaan keluarga korban. Bahkan, Adrianus Jehadun mengaku siap menjual tanah demi mencari keadilan bagi anaknya.

“Dengan kondisi ekonomi saya yang pas-pasan, saya sudah jual tanah. Ini satu-satunya cara saya membela anak saya,” ungkapnya.

Menanggapi hal ini, Kepala Desa Nggorang, Bonifasius Mansur, menegaskan bahwa biaya otopsi bukan permintaan dari pihak kepolisian, Ia mengklaim bahwa hal itu berdasarkan inisiatif keluarga sendiri.

“Polisi tidak minta ee,” tegasnya, Rabu (26/2/2025) sore.

Terkait dana Rp10 juta yang diberikan, Kades Boni Mansur menyebutnya sebagai bentuk “uang terima kasih” dari keluarga kepada dokter forensik, bukan sebagai biaya resmi untuk otopsi.

“Karena uang itu dikumpulkan untuk keperluan keluarga dalam rangka otopsi. Kalaupun ada uang yang diserahkan kepada mereka, uang itu merupakan uang terima kasih secara budaya oleh keluarga besar. Atas nama pemuka Bapak Petrus Pampur,” ujarnya.

Namun, pernyataan ini bertolak belakang dengan aturan hukum. Berdasarkan Pasal 136 dan 229 KUHAP serta Pasal 125 Undang-Undang Kesehatan, pembiayaan otopsi untuk penyidikan kepolisian sepenuhnya ditanggung oleh APBN atau APBD.

Sementara itu Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat, AKP Lufthi Darmawan Aditya, ketika dikonfirmasi terkait dugaan penerimaan dana Rp10 juta, memilih untuk tidak memberikan tanggapan.

AKP Lufthi hanya memastikan bahwa berkas perkara kasus pembunuhan Sustiana Melci Elda telah dinyatakan lengkap atau P21.

“Itu sudah P21,” tulisnya melalui via WhatsApp, Rabu sore.

Polemik terkait biaya otopsi ini tentu menjadi tanda tanya besar. Mengapa keluarga korban harus menanggung biaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara? (*)

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *