Labuan Bajo, Okebajo.com – Pertarungan hukum atas kepemilikan tanah 16 hektar di Keranga akhirnya menemui titik terang. Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, dalam putusannya pada 18 Maret 2025, menegaskan kemenangan keluarga Ibrahim Hanta atas lahan yang sebelumnya diklaim oleh ahli waris Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman, pemilik Hotel St. Regis Labuan Bajo.
Keputusan ini sekaligus membatalkan klaim berbasis foto copy surat alas hak tertanggal 10 Maret 1990, yang sempat digunakan untuk menerbitkan lima sertifikat hak milik (SHM) di Kantor BPN Manggarai Barat pada tahun 2017. Putusan ini memperkuat keputusan Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo yang telah lebih dulu memenangkan pihak keluarga Ibrahim Hanta pada 23 Oktober 2024.
Bahkan, sertifikat atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grans Naput dinyatakan cacat hukum (Cacat administrasi, Salah lokasi, dan salah ploting).
Keputusan ini juga berimbas pada pembatalan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Santosa Kadiman, pemilik Hotel St. Regis, dengan Nikolaus Naput yang dibuat di hadapan Notaris Bili Ginta dengan total luas tanah mencapai 40 hektar di Keranga, Labuan Bajo.
Putusan tersebut semakin menguatkan dugaan dari keluarga Ibrahim Hanta bahwa praktik mafia tanah di Labuan Bajo melibatkan jaringan yang terstruktur hingga kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.
Namun, pihak ahli waris alm.
Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman yang merasa tidak puas dengan keputusan tersebut, mereka tidak menyerah begitu saja. Pada awal 2025, mereka mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang yang teregister pada 6 Januari 2025 (No. 1/PDT/2025/PT KPG). Mereka masih mempertahankan klaim mereka dengan berlandaskan foto copy surat alas hak 10 Maret 1990 tanpa surat yang asli.
Namun, pada 18 Maret 2025, Pengadilan Tinggi Kupang mengeluarkan keputusan yang mempertegas putusan sebelumnya. Dengan demikian, kemenangan keluarga Ibrahim Hanta di tingkat banding semakin menguatkan kedudukan hukum mereka sebagai pemilik sah tanah tersebut.
Isi Putusan Banding Pengadilan Tinggi Kupang:
1. Menerima permohonan banding dari Pembanding atau semula Tergugat III, Pembanding II dan Pembanding III, semula Tergugat I dan Tergugat II.
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negri Labuan Bajo Nomor 1/Pdt.G/2024/PN Lbj tanggal 23 Oktober 2024, yang dimohonkan banding.
3. Menghukum Pembanding / semula Tergugat III, Pembanding II dan Pembanding III, semula Tergugat I dan Tergugat II, Terbanding II semula Tergugat IV, Turut Terbanding I semula Turut Tergugat I, dan Turut Terbanding II semula Tergugat II, untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp.150.000,- (seratus limapuluh ribu rupiah).
Keputusan Pengadilan Tinggi Kupang ini semakin meyakinkan keluarga Ibrahim Hanta bahwa perjuangan panjang mereka menuju keadilan telah membuahkan hasil yang jelas.
Apresiasi Tim Hukum Ibrahim Hanta
Tim kuasa hukum keluarga Ibrahim Hanta, yang dipimpin oleh Dr. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., memberikan apresiasi kepada Majelis Hakim PT Kupang yang dinilai objektif dan transparan dalam memberikan putusan.
“Keputusan ini semakin memperkuat klaim kami. Di Pengadilan Negeri Labuan Bajo kami menang, dan sekarang di tingkat banding juga demikian. Ini membuktikan bahwa hak kepemilikan klien kami sudah sangat kuat secara hukum,” ujar Indra Triantoro, yang juga merupakan Dosen Hukum Perdata di Universitas Teknologi Indonesia Bali.
Fakta-Fakta yang Terungkap di Pengadilan
Jon Kadis, SH., anggota tim hukum lainnya, mengungkapkan beberapa fakta yang mencengangkan terkait foto Copi surat alas hak 10 Maret 1990 yang diklaim oleh pihak tergugat. Salah satunya adalah kesaksian dari pihak tergugat sendiri yang menyebutkan bahwa batas tanah yang diklaim oleh Nikolaus Naput tidak sesuai dengan ciri-ciri fisik tanah yang sedang disengketakan.
“Fakta yang terungkap di persidangan di PN Labuan Bajo yaitu pertama, dimana para saksi Tergugat sendiri, antara lain Emeltus Jemau, sopir pribadi Niko Naput dan John Bosco orang suruhan Hj Ramang Ishaka, menyebut tanda fisik dan batas tanah Niko Naput itu sama sekali tidak sama dengan ciri tanah 11 ha alm. Ibrahim Hanta,” beber Jon.
Kedua kata Jon, bahwa foto copy surat alas hak 10 Maret 1990 tersebut tidak ada aslinya, bahkan diperkuat oleh hasil temuan investigasi Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI, yang mana SHM atas nama Nikolaus Naput bersama anak-anaknya baik yang tumpang tindih di atas 11 ha tanah alm. Ibrahim Hanta maupun di luar batasnya, semuanya cacat yuridis dan cacat administratif.
Jon menambahkan bahwa SHM atas nama Paulus Naput dan Maria Naput digugat karena tidak sah karena Kliennya tidak pernah menjual tanah ini, dan dokumen alas hak mereka yang bertanggal 10 Maret 1990 pun cacat hukum. Lokasi yang mereka klaim berbeda dengan tanah 11 ha yg sedang sengketa ini.
“Yang jelas-jelas lokasi tanahnya di tempat lain, batas-batasnya sangat beda dari tanah 11 ha Keranga. Bahkan, mereka tidak mampu menunjukkan dokumen asli saat diperiksa oleh Satgas Mafia Tanah Kejagung RI, yang akhirnya menyimpulkan bahwa dokumen itu tidak memiliki keabsahan hukum,” tutup Jon.
Hal itupun kembali dipertegas oleh Mikael Mensen, salah satu dari keluarga besar ahli waris alm. Ibrahim Hanta bahwa upaya mempertahankan surat alas hak yang hanya berupa fotokopi adalah sia-sia.
“Kalaupun ada aslinya, tanah yang dimaksud dalam surat itu bukan tanah 11 hektare milik kami ini. Pada tahun 2018-2019, saat kami mengajukan SHM, mereka malah menggunakan surat alas hak almarhum Ibrahim Hanta yang diterbitkan pada Maret 2019 oleh oknum BPN. Itu jelas tidak berlaku. Sekarang mereka kembali mengandalkan surat 10 Maret 1990 yang juga tidak sah. Ini tanah leluhur kami. Hati-hati, karma akan menimpa siapa pun yang berusaha merebutnya secara tidak benar,” tegas Mikael.

Penegasan Pengadilan Tinggi Kupang atas putusan PN Labuan Bajo dan Sidang Tambahan
Sebelumnya, dalam pertimbangan hakim PT Kupang, kesaksian sidang tambahan 3 Februari 2025 di PN Labuan Bajo justru tidak memberikan hal baru, malah penegasan atas kelemahan surat alas hak 16 ha 10 Maret 1990.
Pertama, kata Jon Kadis bahwa keterangan tambahan saksi ahli hukum adat Prof. Farida Patinggi dari UNHAS, bahwa tanah yang sudah diserahkan Fungsionaris Adat tak dapat dibatalkan. Tapi hakim PT Kupang kesampingkan karena tak ada riset saksi ahli tersebut atas surat-surat pembatalan, alias tidak dapat diterima.
Kedua, demikian pula keterangan saksi ahli baru, ahli tulisan tangan (tanda tangan), yang dalam keterangannya menyebutkan bahwa terdapat perbedaan tanda tangan Fungsionaris ulayat pada surat pembatalan (bahasa profannya ‘palsu’), juga tidak dapat diterima, karena saksi itu tidak memperlihatkan bukti berupa pernah adanya keputusan incraht bahwa surat-surat itu palsu.
“Oleh karena itu hakim PT Kupang menganggapnya sebagai asumsi pribadi sang ahli,” cetus Jon.
Ketiga, foto copyan surat pembatalan yang diterima langsung oleh saksi Penggugat dari Hj Ishaka 1999-2000 (Wilhelmus Warung dan Yohanes Pasir) justru diterima oleh hakim, sehingga seluruh produk SHM atas nama pihak Niko Naput tidak sah.
Keempat, surat PH Penggugat dan terutama lampirannya berupa hasil pemeriksaan Kejaksaan Agung RI kepada Muhamad Rudini dan kepada Bupati Manggarai Barat, diterima sebagai pendapat Kejagung RI yang dapat dipertimbangkan.
“Pendapat itu adalah: SHM-SHM atas nama Niko Naput beserta anak-anaknya, termasuk PPJB 40 ha dengan pihak lain, tidak sah, dipandang sebagai hasil penipuan. Hal-hal itu justru menguatkan putusan PN Labuan Bajo (23/10/2024), ahli waris Ibrahim Hanta “menang”, jelas Jon.
Lebih lanjut kata Jon bahwa dari pertimbangan hakim PT Kupang ini, dapat dipakai sebagai dasar hukum, bahwa surat-surat pembatalan atas surat alas hak Niko Naput 10 ha, pembatalan surat alas hak istrinya Beatrix Seran Nggebu 5 ha serta pembatalan 16 ha tanah surat alas hak 10 Maret 1990 itu, adalah bukan palsu, karena copy surat batal tersebut diterima langsung dari Haji Ishaka oleh para saksi dalam persidangan di PN.
“Dengan demikian, maka tindakan seorang yang mengaku cucu Haji Haku Mustafa (wakil Fungsionaris ulayat) yang bernama Muhamad Syair, yang pernah membuat lapor pidana Penggugat dan keluarganya (Muhamad Rudini, Mikael Mensel, dll) dengan alasan bahwa surat-surat pembatalan tersebut palsu, tidak dapat diakomodir untuk diproses lebih lanjut, oleh karena itu perlu dicabut,” beber Jon.
Jon menuturkan bahwa Sebagaimana diketahui, pihak Rudini mengganggap upaya dadakan Muhamad Syair itu adalah upaya kriminalisasi pihak Tergugat (kini Pembanding), lagian oknum polisi yang memproses laporan pidana itu sudah dilaporkan oleh pihak ahli waris Ibrahim Hanta ke Mabes Polri karena oknum polisi tidak profesional.
“Sehingga kuat dugaan saya, bahwa perkara ini selesai sampai di sini. Mau kasasi? Yah, rasa-rasanya tak ada lagi argumen Pembanding (pihak Niko Naput, Santoso Kadiman, PT. Mahanaim Group (Hotel St Regis), karena surat alas hak andalan mereka 10 Maret 1990 dipertegas oleh hakim PT Kupang sebagai surat yang “sudah dibatalkan”.
Dan ini kata Jon, membuka peluang bagi kliennya untuk mendesak Polres Manggarai Barat untuk segera memproses lebih lanjut Laporan pidana mereka pada Agustus 2024 yang lalu.
“Lapor pidana ini juga sesungguhnya atas pendapat Kejagung RI, agar Muhamad Rudini dapat melakukan upaya hukum secara pidana atas semua pelaku perbuatan melawan hukum terhadap tanah warisannya”, tutup Jon Kadis, alumnus Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali itu.
Laporan Muhamad Syair di Polres Mabar Alih-alih sebagai pahlawan kesiangan
Pada 3 Oktober 2024 yang lalu, sebelum dikeluarkanya putusan PN Labuan Bajo yang memenangkan ahli waris alm. Ibrahim Hanta, salah seorang warga Labuan Bajo bernama Muhamad Syair yang mengaku dirinya adalah keturunan Haku Mustafa secara tiba-tiba melayangkan laporan polisi bernomor LP/B/148/X/2024/SPKT/POLRES MANGGARAI BARAT. Laporan tersebut terkait adanya dugaan pemalsuan dokumen surat keterangan pembatalan penyerahan tanah adat tertanggal 17 Januari tahun 1998 yang digunakan pihak ahli waris alm. Ibrahim Hanta dalam sidang perkara perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
Muhamad Syair mengklaim bahwa surat pembatalan tahun 1998 tersebut diduga palsu baik isi maupun tanda tangan sehingga Ia melaporkan Muhamad Rudini, Suwandi Ibrahim, Mikael Mansen dan Stefanus Herson ke Polres Manggarai Barat.
“Dokumen itu kita beri nama surat keterangan tertanggal 17 Januari tahun 1998. Dimana surat ini telah digunakan terlapor dalam satu sidang pidana perkara perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo yang mana isi suratnya diduga palsu baik isi maupun tanda tangan,” kata Mursyid Surya Candra selaku kuasa hukum Muhamad Syair di Mako Polres Mabar, Selasa (19/11/2024) siang, mengutip dari media flores.pikiran-rakyat.com yang diterbitkan pada 19 November 2024.
Selanjutnya laporan Muhamad Syair tersebut dalam waktu yang begitu singkat langsung naik ke tahap penyidikan oleh tim penyidik Polres Manggarai Barat.
Namun keluarga besar ahli waris alm. Ibrahim Hanta menilai bahwa dokumen yang dijadikan dasar laporan Muhamad Syair tidak relevan dengan tanah yang dinyatakan sah milik ahli waris Ibrahim Hanta berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 23 Oktober 2024.
Hal itu diungkapkan oleh Zulkarnain Djudje kepada media ini beberapa waktu lalu. Ia menyebut bahwa laporan Muhamad Syair hanya membohongi publik dan juga Polres Manggarai Barat.
“Jika dia tidak bisa membuktikan lokasi dan batas-batas tanah yang katanya milik Nasar Sopu itu, maka jelas dia hanya membuat gaduh dan membohongi Polres serta masyarakat umum,” ujar Zulkarnain, Sabtu (30/11/2024) lalu.
Zulkarnain juga mengungkapkan dugaan keterlibatan oknum perwira Polres Mabar dan pengacara Niko Naput dalam laporan tersebut. Menurutnya, jika pelapor tidak mampu menunjukkan bukti konkret, laporan ini hanyalah bentuk pembohongan publik.
Hal senada juga dikatakan Florianus Surion Adu, masyarakat ulayat Nggorang, bahwa dokumen yang dijadikan dasar laporan Syair tidak berdasar.
Sementara itu, Florianus Surion Adu, salah satu msayarakat ulayat Nggorang, turut membantah klaim Muhammad Syair. Ia menegaskan bahwa dokumen yang dijadikan dasar laporan Syair tidak relevan dengan tanah yang diputuskan sah milik ahli waris Ibrahim Hanta.
“Klaim Muhammad Syair jelas salah lokasi. Tanah yang dipermasalahkan bukan tanah 11 hektar di Keranga. Jadi, apa pun dokumen yang mereka sebut asli atau palsu, tidak ada hubungannya dengan tanah milik ahli waris Ibrahim Hanta,” ujar Florianus.
Florianus menjelaskan bahwa tanah 16 hektar yang disebut dalam laporan Muhammad Syair, dengan dokumen tertanggal 17 Januari 1998, tidak berada di lokasi yang sama dengan tanah milik ahli waris Ibrahim Hanta.
“Tanah 16 hektar milik Nasar Sopu yang disebutkan dalam surat itu berada di selatan, jauh dari tanah milik Muhammad Rudini. Surat perolehan Nasar Sopu 16 hektar tanggal 10 maret 1990 yang mereka sebut dalam berita di salah satu media yang kami baca itu yang dibatalkan tgl 17 Januari 1998 letaknya di bagian selatan jauh dari tanah Rudini cs dan tidak ada hubungan dgn tanah rudini, cs. Ini adalah dua lokasi yang berbeda. Jadi, klaim Muhammad Syair benar-benar tidak relevan,” tegasnya.
Keluarga ahli waris berharap Propam Mabes Polri dapat memberikan keadilan dan mengusut dugaan ketidakprofesionalan aparat.
“Kami ingin seluruh laporan, baik dari pihak Muhammad Syair maupun ahli waris Ibrahim Hanta, diproses secara transparan dan adil. Penyidik harus netral dan tidak tebang pilih,” tegas Florianus.
Florianus Surion Adu menekankan pentingnya penyelesaian sengketa ini tanpa keberpihakan.
“Saran kami, biarkan seluruh proses perdata selesai lebih dulu. Jangan sampai penegak hukum dianggap tidak netral,” tutup Florianus.
Jon Kadis, SH., menilai bahwa laporan Syair hanyalah upaya kriminalisasi tanpa dasar hukum kuat.
“Polres lebih memprioritaskan laporan Muhammad Syair, padahal ia kalah di pengadilan perdata. Sebaliknya, laporan ahli waris Ibrahim Hanta mangkrak tanpa perkembangan,” ungkap Jon.
Jon Kadis mempertanyakan prioritas Polres Manggarai Barat yang dinilai tidak adil. Laporan Muhammad Syair yang baru diajukan pada Oktober 2024 langsung naik ke tahap penyidikan. Sementara itu, empat laporan dari ahli waris Ibrahim Hanta yang sudah diajukan sejak 2022 hingga 2024 tidak menunjukkan kemajuan.
“Kami menduga ada skenario jahat yang dirancang untuk memojokkan ahli waris Ibrahim Hanta. Oknum perwira Polres Mabar diduga terlibat dalam memuluskan laporan Muhammad Syair, yang jelas tidak relevan dengan tanah milik ahli waris,” tegas Jon.
Keempat laporan tersebut meliputi: LP/B/249/IX/2022 (13 September 2022) oleh Suwandi Ibrahim, LP/B/79/VI/2024 (29 Juni 2024) oleh Mikael Mensen.
LP/B/80/VI/2024 (29 Juni 2024) oleh Stephanus Herson, LP/B/124/VIII/2024 (26 Agustus 2024) oleh Muhammad Rudini dan Mikael Mensen.
Ia juga mengkritik dasar laporan Muhammad Syair, yang dianggap tidak memiliki hubungan dengan tanah 11 hektare yang menjadi sengketa.
“Kalau memang ada dugaan pemalsuan, mana bukti dokumen asli untuk dibandingkan? Bahkan, tanah yang diklaim Syair berada jauh dari lokasi tanah ahli waris Ibrahim Hanta,” ujarnya.
Muhammad Rudini, salah satu ahli waris, bahkan merasa harus melaporkan ketidakprofesionalan dan keberpihakan dalam penyelidikan ini ke Biro Propam Mabes Polri di Jakarta.
“Saya merasa ada keanehan juga pada oknum penyelidik di Polres Mabar. Tidak profesional merespon laporan pidana Muhamad Syair itu. Juga tebang pilih, dimana LP saya sejak tgl 26 Agustus 2024 berjalan di tempat. Itulah sebabnya saya datang melakukan pengaduan ke Biro Propam Mabes Polri, Provos Mabes Polri di Jakarta”, ucap Muhamad Rudini.
Dugaan Keberpihakan Oknum Perwira Polres Mabar
Berita media ini sebelumnya bahwa seorang oknum perwira Polres Manggarai Barat berinisial NNB dilaporkan oleh Keluarga ahli waris almarhum Ibrahim Hanta ke Divisi Propam Mabes Polri atas dugaan keberpihakanya dalam proses penanganan LP sengketa tanah 11 ha di Keranga tersebut.
Laporan dengan nomor SPSP2/005488/XI/2024/BAGYANDUAN, tertanggal 14 November 2024, diajukan sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang mereka alami.
Media ini mendapat informasi dari sumber terpercaya bahwa Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat bersama oknum anggota perwira Polres Manggarai Barat sudah pernah dipanggil menghadap Propam Polri belum lama ini untuk dimintai keterangan dalam proses penanganan kasus tersebut.