Labuan Bajo, Okebajo.com – Konflik kepemilikan tanah di Keranga masih jauh dari kata selesai. Sengketa ini bermula dari klaim Niko Naput yang mengaku memiliki tanah seluas 10 hektare, 5 hektare, dan 16 hektare, yang kemudian dibulatkan menjadi 40 hektare dan diperjualbelikan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) kepada Santoso Kadiman pada Januari 2014 di hadapan Notaris Billy Ginta di Labuan Bajo.
Namun, ada kejanggalan yang lebih besar! dalam kasus tindak pidana korupsi (TIPIKOR) terkait tanah milik Pemerintah Daerah Manggarai Barat, yang diputuskan pada 2021, salah satu saksi, Haji Ramang Ishaka, anak dari Fungsionaris Adat Nggorang bersaksi bahwa sejak 1998 tidak ada lagi tanah milik Niko Naput di kawasan tersebut.
Anehnya, dalam gugatan perkara No.1/2024 di Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo, Niko Naput (melalui anak-anaknya), bersama Santoso Kadiman dan PT Mahanaim Group (pengelola Hotel St. Regis), tetap mengklaim tanah seluas 40 hektare tersebut.
“Pada akhirnya, kenyataan berbicara lain. Mereka kalah di pengadilan tingkat pertama (PN) dan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, karena dokumen alas hak bertanggal 10 Maret 1990 dinyatakan tidak valid. Bahkan, tanah seluas 40 hektare itu dianggap fiktif, karena batas dan luasnya hanya diukur menggunakan Google Maps oleh dua orang yang diduga suruhan Santoso Kadiman dan Haji Ramang Ishaka,” kata, Dr(c) Indra Triantoro, S.H., MH., Jumad, (28/3) malam.
Yang lebih mengejutkan lagi kata Indra, putra dari almarhum Haji Ishaka, yakni Haji Ramang Ishaka, telah memberikan kesaksian dalam perkara TIPIKOR tanah Pemda.Manggarai Barat. Namun, pada tahun 2017, ia dan Muhamad Syair justru menunjukkan lokasi tanah Niko Naput di Keranga dan bahkan diduga mengeluarkan surat penyerahan tanah adat untuk membagi ulang tanah yang sebelumnya sudah dibagi oleh ayahnya kepada warga.
“Ya patut diduga bahwa Haji Ramang telah memberikan keterangan palsu di sidang Tipikor tanah Pemda Mabar, yang sudah tertuang dalam BAP dan sudah ada putusan incrah” kata Dosen hukum perdata di Universitas Teknologi Indonesia di Bali tersebut.
Ironisnya, kata Dia bahwa klaimnya sebagai penerus Fungsionaris Adat diterima oleh Niko Naput, Santoso Kadiman, PT Mahanaim Group, dan bahkan beberapa oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN), meskipun ia sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk itu.
Siapa Sebenarnya Adam Djuje, Haji Ramang Ishaka, dan Muhamad Syair?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, beberapa tetua adat Nggorang di Labuan Bajo angkat bicara. Menurut Anton Hantam (78) salah satu sesepuh Fungsionaris Adat Nggorang dan juga salah satu orang kepercayaan almarhum Haji Ishaka (ayah Haji Ramang) menjelaskan bahwa Adam Djuje, dulu adalah salah satu kuasa Penata Tanah sejak tahun 1996 saat Haji Ishaka dan Haku Mustafa masih hidup. Menurutnya, dari sekitar tiga hingga empat orang yang bertugas sebagai Penata Tanah, nama Ramang Ishaka tidak ada dalam daftar tersebut.
Anton menuturkan bahwa fungsionaris adat Nggorang sebelumnya adalah Kraeng Dalu Haji Ishaka namun Ia telah meninggal, lalu ada 3 orang yang menjadi penerus Fungsionaris Adat Nggorang yaitu Haji Umar H. Ishaka, Haji Ramang H. Ishaka dan Muhamad Syair.
“Namun berjalannya waktu karena banyaknya kegaduhan persoalan tanah di Labuan Bajo yang menggugah mereka (penerus fungsionaris adat Nggorang,red) untuk mengeluarkan satu dokumen tertulis pada tanggal 1 Maret 2013 tersebut,” jelas Anton.
Pada tanggal 1 Maret 2013, pasca wafatnya Haji Ishaka, para tetua adat berkumpul di rumahnya di Labuan Bajo. Mereka kemudian menyepakati empat poin penting:
Ada 4 point penting yang tertuang dalam surat itu. Point’ pertama disebutkan hak atas tanah sekitar 3.000ha yang telah diserahkan kepada banyak pihak termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Point kedua disebutkan bahwa sejak otoritas Fungsionaris Adat menyerahkan tanah kepada para pihak, Fungsionaris Adat tidak lagi memiliki kewenangan atas tanah-tanah itu. Point ketiga menyatakan bahwa setiap pihak yang telah memeroleh tanah tersebut dengan tata cara budaya Manggarai “kapu manuk-lele tuak” telah sah menjadi pemilik. Point keempat menyatakan bahwa siapa saja yang ingin memanfaatkan tanah tersebut langsung berurusan dengan pemiliknya.
Dalam salinan dokumen yang diperoleh media ini bahwa Dokumen tersebut ditandatangani oleh Fungsionaris Adat atas nama Haji Umar H. Ishaka, Haji Ramang H. Ishaka dan Muhammad Syair. Pihak yang juga ikut menandatangani dokumen itu selaku saksi antara lain: Haji Muhammad Syahip, Antonius Hantam, Haji Muhammad Abubakar Djudje, Abubakar Sidik, Theo Urus, Muhammad Sidik, Fransiskus Ndejeng, Muhammad H. Ishaka Bakar.
“Jelas dalam surat itu bahwa tanah ulayat sudah habis dibagi. Maka, tindakan Haji Ramang yang tetap membagikan tanah adat dengan mekanisme kapu manuk-lele tuak atau mengeluarkan surat pengukuhan perolehan tanah baru adalah tindakan yang salah dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kepemilikan,” tegas Anton.
Dan peran Adam Djuje itu diterima di setiap pengajuan sertifikat warga ke BPN bahkan diterima sebagai bukti hukum di ruang sidang pengadilan.
Dr(c) Indra Triantoro, S.H., MH, ketua tim PH ahli waris IH bersama Jon Kadis, S.H., dari kantor Advokat Elice Law Firm menjelaskan bahwa dalam perkara tanah 11 ha para ahli waris Ibrahim Hanta, peran Adam Djuje itu jelas -jelas diterima.
“Surat keterangan pengukuhan perolehan tanah 11 Ibrahim Hanta secara “kapu manuk lele tuak sejak 1973 yang dibuatnya, sah, dan diterima di Pengadilan. Adam Djuje adalah kuasa Penata Tanah sejak 1996, dan itu bukan lisan, tapi ada dokumennya”, kata Indra.
Sementara itu Jon Kadis, SH turunan salah satu Tua Golo masyarakat adat budaya Manggarai, mantan bagian hukum Bank Central Asia dan Bank Artha Graha Internasional Cabang Bali itu, mengecam keras upaya menggugat kembali status Adam Djuje sebagai kuasa Penata Tanah.
“Mereka ini mau membongkar keputusan adat yang sudah inkrah! Ini tindakan premanisme!” katanya sambil menggelengkan kepala.
“Dengan tujuan supaya seorang putra Ishaka dan cucu Haku Mustafa, yaitu Ramang Ishaka dan Muhamad Syair, yang kini mengklaim dirinya sebagai penguasa pembagi tanah adat Nggorang, diakui dan diterima. Yah, itu tidak mungkin dong ! Itu gaya preman !,” tambah Jon Kadis.
Jon juga mempertanyakan keabsahan Ramang Ishaka dan Muhamad Syair sebagai bagian dari masyarakat adat Manggarai.
“Jangan-jangan mereka bukan orang asli masyarakat adat Manggarai! Atau, kalau pun keturunan Manggarai, mereka sudah mengkhianati nilai budaya sendiri. Saya mau tanya, mereka ini kampung leluhurnya dari kampung mana sih? Dari kampung Rangga Watu dapil 1 Kabupaten Manggarai Barat kah? Dari kampung Bambor, Kecamatan Sano Nggoang kah? Atau dari kampung Nggorang dekat Dalong itu kah? Atau dari kampung Kakor, Kecamatan Lembor Selatan kah?,” Tanya Jon Kadis.
Menurutnya, ia belum pernah mendengar cerita bahwa Ramang Ishaka dan Muhamad Syair pernah menjadi pateng atau tongka (juru bicara dalam acara adat). Bahkan, mereka dikabarkan tidak bisa berbahasa Manggarai dengan baik.
“Jangan-jangan mereka tidak tahu arti kapu manuk-lele tuak! Mungkin mereka pikir tuak hanya minuman dari Kraeng Nabas Pante Tuak di Wae Moto, dan ayam hanya ternak biasa. Busyeet dah!” sindirnya.
Sementara itu, Dr(c) Indra Triantoro, S.H., MH, menambahkan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Kupang tidak menerima kesaksian dari saksi ahli Prof. Farida yang didasarkan pada riset ahli hukum adat, karena ia tidak menyertakan tentang materi pembatalan fungsionaris adat. Prof. Farida, hanya menyatakan bahwa fungsionaris adat tidak bisa membatalkan tanah yang sudah diberikan.
“Sangat jelas alasan majelis hakim PT Kupang atas riset ahli hukum adat itu, Prof. Farida. Ahli itu hanya meneliti penyerahan tanah oleh fungsionaris adat, dan tidak ada perbandingannya yaitu adanya pembatalan pemberian itu, padahal tentang itu biasa terjadi juga di masyarakat adat manapun ketika penerima tanah salah lokasi. Sifat autokrasi fungsionaris adat itu berlaku baik penyerahan tanah maupun pembatalan. Bukan karena ia tidak melakukan penelitian di Labuan Bajo, bukan!. Itu bisa terjadi di mana saja, termasuk di masyarakat adat Nggorang di Labuan Bajo !. Riset ahli itu tidak ilmiah jadinya, tidak obyektif ‘kan?. Ada apa gerangan saksi ahli mengabaikan fakta,” pungkas Indra.
Menurutnya, jika ada yang berusaha membatalkan putusan ini dengan kasasi, Ia sangat yakin bahwa Mahkamah Agung akan tetap memenangkan ahli waris Ibrahim Hanta, karena fakta-faktanya sudah sangat jelas. **