Dugaan Perampasan Tanah 40 Ha di Balik Hotel St. Regis milik Santosa Kadiman, Akta PPJB Notaris Billy Ginta Dipertanyakan

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com – “Kami siap mati di tanah leluhur kami.” Kalimat itu meluncur lirih tapi penuh tekad dari bibir Muhamad Rudini. Ia bukan aktivis, bukan pula orator, tapi pewaris sah tanah yang diwariskan almarhum Ibrahim Hanta, tokoh pendiri Masjid Agung Labuan Bajo, Manggarai Barat. Kalimat itu bukan ledakan amarah, tapi jeritan dari luka yang dipupuk ketidakadilan. Luka karena tanah warisan yang mereka rawat berpuluhan tahun, kini terancam hilang di tangan kekuasaan yang dibungkus kepentingan bisnis. Dan di pusat pusaran konflik ini, satu nama mencuat yakni Santosa Kadiman.

Sebagai Direktur Utama PT Bumi Indah International sekaligus pemilik Hotel St. Regis, Santosa Kadiman bukan hanya simbol investor besar di Labuan Bajo. Ia kini dituding sebagai biang keladi hancurnya citra Labuan Bajo sebagai destinasi super premium yang digadang-gadang pemerintah. Sosoknya tak hanya menyeret ranah bisnis, tetapi juga diduga menyerempet batas-batas moral, hukum, dan sejarah lokal.

Jon Kadis, SH, kuasa hukum ahli waris Ibrahim Hanta, menyatakan dengan tegas bahwa Santosa Kadiman terlibat langsung dalam sengketa tanah seluas 11 hektar di wilayah Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT.

“Hotel St. Regis, yang ia bangun tanpa sertifikat sah dan izin lengkap, menjadi bukti nyata bagaimana praktik ilegal bisa menodai keindahan Labuan Bajo. Jika ini dibiarkan, tidak hanya citra Labuan Bajo yang hancur, tetapi juga harapan menjadikannya destinasi unggulan kelas dunia,” kata Jon Kadis.

Labuan Bajo: Dari Surga Wisata Menjadi Kota Sengketa

Menurut Jon bahwa konflik tanah yang mencuat di Keranga adalah tamparan keras bagi reputasi Labuan Bajo. Dunia kini melihat sisi gelap dari kota wisata ini: sengketa lahan, manipulasi sertifikat, dan pengusaha hitam yang mengobrak-abrik tatanan hukum.

“Santosa Kadiman, melalui berbagai manuvernya, diduga merampas tanah milik ahli waris almarhum Ibrahim Hanta. Tanah yang memiliki nilai budaya bagi ahli waris kini berubah menjadi ladang konflik demi kepentingan bisnis pribadi,’’ ujar Jon.

Apakah ini cerminan pengusaha yang baik? Apakah ini contoh investor yang kita harapkan untuk membangun Labuan Bajo?. Pertanyaan ini kata Jon tentu mencerminkan kegelisahan masyarakat yang semakin kehilangan kepercayaan terhadap iklim investasi di Labuan Bajo.

Nama Santosa Kadiman pertama kali muncul dalam Akta PPJB yang dibuat oleh notaris Bily Ginta pada 2014. Ia baru terlihat secara publik saat meresmikan Hotel St. Regis pada 22 April 2022, meskipun tanah tempat hotel itu berdiri masih dalam status sengketa.

Keberanian ini mencerminkan betapa dalamnya jaringan kekuasaan yang mendukungnya. Santosa Kadiman bahkan disebut-sebut memiliki hubungan dekat dengan tokoh politik, termasuk mantan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat yang juga ikut hadir dalam acara peletakan batu pertama pembangunan hotel St. Regist Labuan Bajo.

Apakah ini sebabnya ia mampu melenggang bebas meskipun terseret berbagai dugaan pelanggaran hukum?

“Namun, ketika konflik memanas, Santosa tiba-tiba menghilang bak ninja. Ketidakhadirannya dalam menghadapi tuduhan hanya memperkuat dugaan bahwa ia adalah aktor utama di balik kerusakan iklim investasi dan nama baik Labuan Bajo,” tutur Jon.

Dampak bagi Iklim Investasi dan Kepercayaan Masyarakat

Kehadiran “investor nakal” seperti Santosa Kadiman kata Jon Kadis yaitu membawa dampak buruk yang tak hanya dirasakan oleh ahli waris Ibrahim Hanta, tetapi juga oleh masyarakat luas dan investor lain yang berniat baik. Labuan Bajo, yang seharusnya menjadi magnet pariwisata dunia, kini ternoda oleh label kota sengketa tanah.

“Keberadaan pengusaha-pengusaha semacam ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat lokal terhadap investasi, tetapi juga membuat calon investor ragu untuk berinvestasi di kawasan ini. Bagaimana mungkin mereka percaya pada keamanan investasi jika sertifikat tanah bisa diubah dan kepemilikan tanah bisa direbut begitu saja?,” kata Jon.

Siap Mati Demi Tanah Leluhur

Bagi ahli waris Ibrahim Hanta, tanah Keranga bukan sekadar aset, melainkan simbol identitas, sejarah, dan keberlanjutan hidup mereka.

“Kami siap mati di tanah leluhur kami,”

Pernyataan Muhamad Rudini ini menunjukkan betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh konflik ini.

Tanah ini bukan hanya menjadi tempat mereka bertani, tetapi juga memiliki nilai budaya dan religius yang tak ternilai harganya. Kehilangan tanah ini berarti kehilangan warisan leluhur yang telah mereka jaga selama berabad-abad.

Namun, yang paling menyakitkan dari kasus ini adalah pengabaian terhadap sejarah dan kontribusi almarhum Ibrahim Hanta. Beliau bukan hanya tokoh lokal, tetapi juga simbol toleransi di Manggarai Barat. Almarhum dikenal sebagai pendiri Masjid Agung di Kampung Wae Mata, Labuan Bajo sekaligus sebagai sosok yang menghibahkan tanah untuk pembangunan Gua Maria bagi umat Katolik.

Anaknya, Nadi Ibrahim, bahkan menyumbangkan lantai keramik dan bahan bangunan untuk mendirikan Kapela Katolik di Kampung Rangat.

“Ironisnya, tanah yang menjadi warisan keluarga besar Ibrahim Hanta kini dirampas oleh kekuatan yang lebih besar. Bagaimana mungkin seorang tokoh yang begitu berjasa dalam menciptakan harmoni antarsuku dan agama harus menyaksikan anak cucunya terpinggirkan?,” tanya Jon.

Menurutnya, tindakan Santosa Kadiman adalah pelajaran pahit tentang pentingnya integritas dan penegakan hukum dalam mengelola destinasi wisata berkelas dunia.

“Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bersikap tegas terhadap pengusaha-pengusaha hitam yang mengabaikan aturan dan hanya memikirkan keuntungan pribadi. Jika Labuan Bajo ingin tetap menjadi destinasi super premium yang membanggakan Indonesia, maka semua pihak harus bersatu untuk menghentikan praktik ilegal ini. Tanah leluhur harus dilindungi, masyarakat lokal harus dilibatkan, dan investasi harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan,” tegas Jon.

Menurutnya bahwa Labuan Bajo bukan untuk dirusak oleh segelintir orang seperti Santosa Kadiman. Ini adalah warisan untuk generasi mendatang, dan tanggung jawab kita semua untuk menjaganya.

BPN Labuan Bajo: Juru Kunci atau Komplotan?

Sorotan tajam juga datang dari tokoh masyarakat Ulayat Kedaluan Nggorang, Surion Florianus Adu. Ia menyebut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Labuan Bajo sebagai “juru kunci” konflik pertanahan yang kini menjadi momok kemajuan investasi dan gangguan keamanan di kota pariwisata superpremium ini.

“BPN seharusnya menjadi wakil negara yang memberi legalitas hak rakyat atas tanahnya. Tapi kenyataannya, jika oknum-oknum BPN justru melegitimasi para mafia tanah, membuat dokumen palsu seolah-olah asli, mengubah letak dan batas objek, mengabaikan prosedur verifikasi, maka mereka telah menjadi bagian dari komplotan yang merampas hak rakyat kecil,” tegas Surion.

Ia membeberkan contoh nyata dalam sengketa antara ahli waris Ibrahim Hanta dan Niko Naput.

“Sertifikat untuk ahli waris Niko bisa keluar tanpa alas hak asli, tanpa luas jelas, dan berada di atas tanah milik Ibrahim Hanta. Ini mustahil terjadi tanpa keterlibatan oknum BPN,” ujar Surion dengan nada prihatin.

Lebih jauh, ia juga menyoroti kasus tujuh warga Labuan Bajo yang telah mengajukan permohonan sertifikat lengkap, dengan undangan pengukuran dan dokumen otentik—namun hasil akhirnya justru menyebut nama orang lain sebagai pemilik.

“Ibarat orang lain yang lari, tapi yang naik podium malah orang yang tidak ikut lomba,” katanya getir. “Ini bukan sekadar kelalaian. Ini kejahatan luar biasa.” kata Florianus.

Yang lebih mengkhawatirkan, lanjut Surion, adalah sikap lepas tangan BPN.

“Ketika konflik meledak, mereka tinggal bilang: silakan tempuh jalur hukum. Padahal produk hukum mereka itulah yang merampas hak rakyat.” tutup Florianus.

Labuan Bajo seharusnya menjadi etalase pariwisata Indonesia. Tapi apa jadinya bila tempat yang digadang-gadang menjadi ‘Bali kedua’ justru berubah menjadi ladang sengketa?

“Santosa Kadiman diduga kuat merebut tanah ahli waris almarhum Hanta dengan cara-cara yang tidak bermoral. Ini bukan hanya soal bisnis, ini soal keadilan dan masa depan sebuah kota,” kata Jon lagi.

Labuan Bajo Tak Boleh Jadi Korban Oligarki. Investasi harus membawa harapan, bukan kehancuran.

“Kalau pengusaha culas dibiarkan melenggang, jangan salahkan rakyat bila kepercayaan terhadap hukum dan negara ikut ambruk,” ucap Jon tegas.

Surat Merah dari Stagas Mafia Tanah Kejaksaan Agung

Kejaksaan Agung telah turun tangan. Dua surat resmi beberapa waktu lalu dari JAM Intelijen, Reda Manthovani, telah dikirim ke Kementerian ATR/BPN. Isinya jelas: pembatalan lima Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimiliki keluarga Nikolaus Naput di atas tanah yang juga diklaim ahli waris Ibrahim Hanta. Evaluasi menyeluruh diperintahkan karena indikasi cacat administrasi dan yuridis.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia beberapa waktu lalu telah menyurati Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) R.B. Agus Widjayanto dan juga Direktur Jendral (Dirjen) Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP) Pada Kementrian ATR/BPN Republik Indonesia, Iljas Tedjo Prijono untuk segera membatalkan 5 Sertifikat Hak Milik (SHM) dari keluarga ahli waris Nikolaus Naput seluas 16 hektar tanah yang berlokasi di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, NTT.

Surat yang bernomor R.1038/D/Dek/09/2024 dan R.1039/D/Dek/09/2024 tersebut, tertanggal 23 September 2024, ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Intelijen, Reda Manthovani. Muhamad Rudini, ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, menerima tembusan surat ini pada 24 September 2024.

Surat tersebut menginstruksikan untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penerbitan lima SHM atas nama anak-anak dari Nikolaus Naput.

“Kiranya saudara dapat melakukan evaluasi atau kajian menyeluruh terhadap alas hak yang digunakan sebagai dasar penerbitan SHM 02525 atas nama Maria Fatmawati Naput seluas 27.720 m2, SHM nomor 02549 atas nama Paulus Grant Naput seluas 28.310 m2, SHM 02546 atas nama Yohanis Van Naput seluas 28.220 m2, SHM 02548 atas nama Irene Naput seluas 28.230 m2, dan SHM 02547 atas nama Nikolaus Naput seluas 39.380 m2 serta proses penurunan hak terhadap SHM SHM 02525 atas nama Maria Fatmawati Naput menjadi Serfikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 176 atas nama Maria Fatmawati Naput karena terindikasi cacat adminstrasi dan atau cacat Yuridis dan agar melaksanakan kewenangan saudara sesuai ketentuan dalam pasal 35 huru a, huruf f, huruf g dan huruf i Jo pasal 29 ayat (1) huruf a peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 21 tahun 2020 tentang penanganan dan penyelesaian kasus pertanahan,” kata Muhamad Rudini mengutip isi point’ 3 surat Kejagung tersebut.

Rudini mengungkapkan bahwa permintaan ini didasarkan pada hasil Operasi Intelijen yang dilaksanakan pada Mei 2024 oleh Direktorat Ekonomi dan Keuangan pada Jaksa Agung Muda Intelijen di Labuan Bajo. Hasil operasi ini menunjukkan adanya indikasi pelanggaran hukum oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat dalam proses penerbitan SHM untuk anak-anak Nikolaus Naput.

“Bahwa dalam penerbitan Sertifikat pertama kali terhadap SHM No.02545 an. Maria Fatmawati Naput dan SHM No. 02549 an. Paulus Grant Naput terdapat permasalahan terkait lokasi yang tumpang tindih, dan dalam penerbitannya terindikasi cacat yuridis dan/atau cacat administrasi,” kata Rudini pada Kamis, (26/9/2024).

Rudini membeberkan beberapa poin penting yang tercantum dalam surat tersebut:

Pertama : dalam Berita Acara Mediasi Pelaksanaan Gelar Kasus Pertanahan No.01/BAM/53.15-600.13/IX/2014 obyek tanah seluas 40 Ha yang terletak di Karanga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat antara ahli waris alm. Ibrahim Hanta melawan Nikolaus Naput, dkk (9 orang) No Reg. Kasus: 02/IX/2014 tanggal 15 September 2014, dengan Kesimpulan: Tidak bersepakat
berdamai, terhadap keseluruhan berkas permohonan hak atas tanah yang diajukan oleh pihak terlapor belum bisa dilanjutkan pada proses penerbitan sertipikat, sebelum tanah bermasalah diselesaikan/ada kesepakatan antara kedua pihak.

“Berkaitan pada kesimpulan tersebut di atas dijelaskannya bahwa adapun rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti yaitu terhadap permohonan Nikolaus Naput disarankan kepada Kakantah Manggarai Barat untuk tidak melayani permohonan tersebut/ditolak, oleh karena berkas permohonan hak atas tanah yang diajukan Nikolaus Naput terdapat kejanggalan dan ketidaklengkapan dokumen pendukung, disarankan untuk ditindaklanjuti kembali, karena berkas-berkas tersebut belum layak untuk diproses lebih lanjut hingga pada penertiban sertipikat hak atas tanahnya (Pasal 106 ayat (1) Jo. Pasal 107 Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan),” ungkap Rudini.

Kedua : Bahwa dalam SK penerbitan Sertifikat pertama kali terkait SHM No.02545 an. Maria Fatmawati Naput dan SHM No. 02549 an. Paulus Grant Naput tidak terdapat kronologis terkait gugatan/sengketa, sehingga tidak diketahui penyelesaian gugatan/sengketa yang ada sebelum diterbitkannya sertifikat dan hal ini dapat mengaburkan permasalahan atau kendala yang seharusnya tidak dapat ditindaklanjutinya/ditolak permohonan dari Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grant Naput (Pasal 30 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Ketiga: bahwa dalam warkah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat tidak terdapat alas hak asli yang menjadi dasar dalam pengajuan permohonan penerbitan Sertifikat dimaksud.

Keempat : Diperoleh juga fakta bahwa sesuai Berita Acara Permintaan Keterangan kepada Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat (tanggal 29 Mei 2024), proses perubahan hak belum dikoreksi oleh Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat dan belum disetujui serta ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat, namun proses perubahan/ penurunan Hak terhadap SHM no. 2545 an Maria Fatmawati Naput telah berubah menjadi SHGB No. 176 an. Maria Fatmawati Naput dalam aplikasi KKP Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat.

Point terakhir yang termuat dalam isi surat tersebut, Kejagung RI meminta Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan ATR/BPN RI untuk menyampaikan hasil tindak-lanjut tersebut kepada pihak Kejagung pada kesempatan pertama.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *