Potensi Laporan Pidana Mengancam Pihak Keluarga Niko Naput Jika Keluarga Ibrahim Hanta Menang Kasasi

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com — Sengketa tanah seluas 11 hektare di Kerangan, Labuan Bajo, memasuki tahap akhir di Mahkamah Agung. Namun kali ini, taruhannya tak hanya status kepemilikan tanah. Jika Mahkamah Agung menguatkan putusan dua tingkat sebelumnya, yakni Pengadilan Negeri Labuan Bajo dan Pengadilan Tinggi Kupang yang menyatakan tanah tersebut sah milik ahli waris Ibrahim Hanta (IH), maka pihak-pihak lawan, termasuk keluarga Niko Naput dan pihak pengembang Hotel St Regis, berpotensi dilaporkan secara pidana atas dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen kepemilikan tanah.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua tim kuasa hukum keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta, Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si.

“Ada cukup indikasi yang bisa menjadi dasar pelaporan pidana. Terutama terkait dugaan pemalsuan tandatangan almarhum Ibrahim Hanta dalam dokumen penyerahan tanah yang disebut dibuat tahun 2019, padahal beliau wafat tahun 1986.” ungkap Wayan, Selasa, 6 Mei 2025.

Sejarah Tanah dan Dasar Kepemilikan

Alm. Ibrahim Hanta, tokoh adat Kampung Wae Mata, Labuan Bajo dikenal sebagai pendiri Masjid Agung Labuan Bajo dan donatur Gua Maria di Gereja Katolik Paroki Roh Kudus. Sejak 1973, ia telah menguasai dan mengolah tanah 11 ha tersebut setelah memperoleh pengakuan lisan secara adat dari para fungsionaris ulayat.

“Tanah itu dipagari dengan kayu kedondong dan batu, dibangun pondok, ditanami kelapa, nangka, jambu mete, hingga jati. Sepeninggal beliau tahun 1986, tanah itu dilanjutkan pengelolaannya oleh anak-anaknya,” tutur Rudini, ahli waris alm. Ibrahim Hanta.

Polemik Sertifikasi dan Kejutan-kejutan Tak Terduga

Masalah mulai muncul pada 2019, ketika pemerintah mendorong warga mengurus sertifikat tanah. Atas saran BPN, keluarga Ibrahim Hanta mengajukan surat keterangan kepemilikan dari fungsionaris ulayat. Namun, saat proses sertifikasi berjalan pada 2020, mereka dikejutkan dengan temuan bahwa sebagian tanah tersebut sekitar 5 hektare telah terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Paulus Grant Naput dan Maria Fatmawaty Naput sejak 2017.

“Yang mengejutkan, ada dokumen yang menyatakan Ibrahim Hanta menyerahkan tanah tersebut tahun 2019. Padahal beliau telah wafat sejak 1986. Tandatangannya pun tercantum dalam dokumen itu!” tegas Rudini, menuding adanya dugaan pemalsuan.

Tak berhenti di situ, tanah 11 ha ini juga diklaim masuk dalam peta tanah 40 ha milik Niko Naput yang diukur hanya dengan peta elektronik oleh dua orang, termasuk pegawai utusan dari Erwin Santosa Kadiman yang diketahui merupakan perwakilan dari pihak pengembang Hotel St Regis Labuan Bajo.

“Tanah itu bahkan sudah dijual melalui PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) kepada pihak Hotel St Regis sejak 2014 di Notaris Billy Ginta,” ungkap Rudini.

Pembangunan Hotel Tanpa Persetujuan

Meski masih dalam penguasaan keluarga Ibrahim Hanta, pada 2022 pihak Hotel St Regis memulai pembangunan hotel dengan seremoni peletakan batu pertama oleh Gubernur NTT kala itu, Viktor Laiskodat. Namun, pembangunan itu dihentikan setelah mendapat penolakan keras dari keluarga ahli waris IH.

“Ini bentuk pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat. Pembangunan tanpa izin pemilik sah adalah bentuk perampasan,” lanjut Rudini.

Proses Hukum: Dari PN ke PT, Lalu Kasasi

Pada Januari 2024, ahli waris IH menggugat secara perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo (No. 1/Pdt.G/2024/PN Lbj). Putusan tanggal 23 Oktober 2024 menguatkan kepemilikan ahli waris, menyatakan SHM atas nama anak Niko Naput cacat hukum karena salah ploting, cacat administrasi, tanpa alas hak asli, dan tidak tercatat di warkah BPN.

Pihak tergugat naik banding, namun kembali kalah di Pengadilan Tinggi Kupang pada 18 Maret 2025. Hakim menolak keterangan dua ahli tambahan yang dihadirkan, termasuk seorang profesor hukum adat dan seorang ahli tulisan tangan, karena dianggap tidak ilmiah.

Justru, PT Kupang menerima bukti baru dari pihak IH, yakni laporan hasil pemeriksaan dari Satgas Mafia Tanah Kejagung RI tertanggal 23 Agustus 2024, yang menyebut SHM di atas tanah itu cacat yuridis dan administrasi, salah lokasi, serta tanpa alas hak sah. Surat itu juga mendesak BPN Manggarai Barat dan Bupati untuk meninjau ulang izin bangunan hotel.

Menanti Putusan Kasasi MA

I Wayan menuturkan bahwa meski kalah di dua tingkat pengadilan, pihak tergugat tetap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam memori kasasi, mereka berdalih bahwa PN dan PT tidak berwenang menangani perkara karena seharusnya masuk ranah PTUN. Mereka juga menuding judex facti tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Namun, kontra memori kasasi dari pihak ahli waris IH, yang diketuai oleh mantan perwira tinggi Polri, Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si, telah diverifikasi oleh Pengadilan pada 24 April 2025. Mereka menegaskan bahwa judex facti telah dijalankan tepat oleh PN dan PT, serta meminta Mahkamah Agung menghormati temuan Kejagung RI sebagai institusi negara yang kredibel.

“Fakta-fakta hukum sangat jelas. Hakim PN dan PT telah menjalankan tugasnya dengan adil. Kini, kami menanti keadilan ditegakkan di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung,” ujar Sukawinaya.

Ia juga menyebut bahwa jika MA tetap memenangkan ahli waris, maka pihak-pihak lawan berpotensi dilaporkan secara pidana atas dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen.

“Jika kami menang, maka berpotensi dilaporkan secara pidana,” tegas Sukawinaya.

Dengan dukungan 11 penasihat hukum, keluarga ahli waris optimis akan menang di Mahkamah Agung. Kasus ini bukan hanya soal hak milik, tetapi juga tentang penghormatan terhadap sejarah, adat, dan integritas hukum dalam menghadapi mafia tanah dan investasi yang melabrak aturan.

“Perjuangan ini bukan hanya demi 11 hektare, tapi demi harga diri keluarga dan masyarakat adat,” tutup Sukawinaya. **

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *