Polemik Kepemilikan Tanah Kantor Lama Koperasi Florete di Ruteng, Warisan atau Aset Koperasi?

Avatar photo

Ruteng, Okebajo.com – Di tengah catatan sukses Koperasi Florete, dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) awal 2025 kini Koperasi tersebut mencatat hampir 8.000 anggota dan memiliki aset fantastis senilai Rp 46,3 miliar. Namun di balik itu, ada satu persoalan yang membayangi gemilangnya, siapa sebenarnya pemilik sah tanah tempat berdirinya kantor lama koperasi yang terletak di kampung Rowang, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT tersebut?

Pertanyaan itu kembali mencuat dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT) awal 2025 beberapa waktu lalu. saat Monika Murni, istri mendiang Matheus Ngarut, tokoh pendiri koperasi itu sendiri menyampaikan keberatannya atas klaim sepihak dari pengurus koperasi bahwa tanah tersebut merupakan aset badan hukum koperasi.

Bukan tanpa alasan. Monika Murni kembali menegaskan bahwa tanah tersebut adalah milik keluarganya, bukan milik koperasi Florete.

Monika tak main-main. Ia membawa bukti otentik: sertifikat hak milik masih atas nama suaminya dan tersimpan rapi di tangannya. Ia juga mengaku tidak pernah mengetahui adanya jual-beli tanah itu.

“Tanah itu harta bersama dalam perkawinan kami. Tidak pernah dijual, tidak ada kwitansi, tidak ada perjanjian. Kalau benar dijual, saya sebagai istri pasti tahu,” tegas Monika, melalui pers rilis yang diterima media Okebajo.com dari kuasa hukumnya Jon Kadis, SH., Selasa, 20 Mei 2025 siang.

Dalam keteranganya, Ia menjelaslan bahwa yang membuat banyak pihak geleng kepala, pihak koperasi mengklaim tanah itu sebagai miliknya hanya berdasarkan pencatatan dalam buku RAT ketika Mateus Ngarut menjadi ketua koperasi kala itu dan tanpa dokumen hukum apa pun.

Puncak ketegangan terjadi saat beberapa pengurus koperasi mendatangi rumah Monika. Bukannya menunjukkan bukti hukum, mereka malah, menurut pengakuan Monika, meminta agar dirinya menandatangani semacam kwitansi fiktif bernilai 200-an juta rupiah demi memperkuat klaim bahwa telah terjadi jual beli.

“Saya katakan, bahwa saya tidak jual. Itu tanah untuk rumah tinggal anak kami. Saya dan alm. suami saya dulu tidak berniat menjual tanah itu. Itu buktinya, kuburan suami saya ada di situ. Dan dulu ‘kan pengurus koperasi juga tidak berkeberatan saat penguburan itu. Kalau betul dulu suami menjual dengan harga 25 juta rupiah seperti pengurus ucapkan dan sesuai catatan notulensi rapat, itu uang banyak pada waktu itu, Tapi saya sebagai istrinya tidak tahu. Mana uangnya? Mohon maaf ya, semisal kalau bapak-bapak pengurus ini, suami dari istri, kalau menjual tanah atau harta bersama yang diperoleh selama perkawinan, apakah sah tanpa sepengetahuan istri? Atau, apakah mereka ini mungkin tahu kah, kalau Mateus Ngarut saat itu punya istri sah selain saya? Sehingga terdapat kesepakatan lisan atau tertulis suami-istri itu untuk tanahnya dijual kepada koperasi, meski sertifikat tanahnya tetap saya pegang ?”, ucap Monika dengan nada getir.

Monika bahkan mengajak pengurus bersumpah secara adat (‘wada’) di makam suaminya yang hanya berjarak 20 meter dari bangunan kantor lama. Ajakan itu ditolak.

“Saya sampaikan kepada mereka (Pengurus Koperasi Florete. Red) bahwa saya mau ucapkan di makamnya, Bapak-bapak saksinya, ‘Bapak Mateus Ngarut, apa betul kau sebagai suami saya jual tanah ini dulu sesuai ucapan para pengurus ini? Tunjukkan bukti dari alam seberangmu itu. Jika benar demikian, maka ternyata kau suami penipu’. Tapi mereka tidak bersedia”, tutup Monika.

Monika mengenang percakapannya bersama sang suami semasa hidup. Ia mengaku bahwa dulu suaminya hanya meminjamkan tanah itu untuk digunakan sementara oleh koperasi dalam semangat kebersamaan dan kepercayaan.

Saat itu hanya disampaikan secara lisan saja. Tanpa ada perjanjian. Alasan utama Matheus Ngarut saat itu adalah, karena koperasi masih merayap, dan ketika sudah maju nanti, barulah membeli tanah dan membangun kantor baru milik koperasi sendiri.

“Kami waktu itu memang bantu koperasi yang masih merangkak. Saya pun ikut urunan untuk bangun gedung itu. Tapi jelas, tidak pernah ada niat menjual,” ungkapnya.

Lebih lanjut Monika menuturkan bahwa ketika suaminya meninggal, kuburannya di tanah milik mereka, persis di samping tembok dinding bangunannya.

Mengapa dikuburkan di situ?

Bagi masyarakat adat Manggarai, pemakaman seseorang di atas tanah itu adalah simbol kuat kepemilikan dan warisan. Itu memberi arti semacam legacy, dokumen hukum ala supranatural yang bermeterai atau inkrah, bahwa tanah ini milik Matheus Ngarut dan para ahli warisnya.

“Itu bentuk warisan supranatural. Kalau ada yang klaim tanpa alas hak, maka akan kena karma,” tutur Monika.

Pada tahun 2023, koperasi memiliki tanah baru yang terletak sekitar 5–6 kilometer dari kantor lama dan membangun gedung baru yang megah yang terletak di jalan Nuri, Nekang, kelurahan Watu, Kecamatan Langke kabupaten Manggarai, NTT. Ketika kantor baru tersebut diresmikan penggunaannya, momen ini digunakan Monika dengan menyampaikan surat kepada pengurus koperasi untuk meminta agar kantor lama dikosongkan dan tanah dikembalikan ke keluarganya. Namun, tanggapan pengurus justru mengejutkan: “Tanah itu sudah jadi aset koperasi.”

Monika menjelaskan bahwa Dalam RAT 2025, ketika isu ini kembali diangkat oleh beberapa anggota, para pengurus pun menolak menjawab secara terbuka. Ketua KSP CU Florette Florianus Kampul saat itu hanya menyebut bahwa persoalan ini akan ditangani oleh pengacara.

“Respon ini justru memunculkan kesan bahwa pengurus bersikap otoriter dan enggan menyelesaikan persoalan melalui musyawarah, dan juga terkesan tidak perduli dengan suara anggota koperasi dalam forum RAT. RAT itu forum tertinggi koperasi, bukan tempat lari dari pertanggungjawaban. Kalau semua dilempar ke pengacara, untuk siapa koperasi ini dibentuk?” ujar Monika.

Sementara itu, Jon Kadis, SH, penasihat hukum keluarga Monika, menegaskan bahwa klaim koperasi tidak berdasar hukum.

“Dokumen bukti alas hak itu antara lain sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga negara, yaitu BPN, yang di dalamnya tertulis atas nama pemiliknya. Bukan lembaran surat atau buku notulensi rapat. Dokumen buku RAT itu tidak dikenal sebagai dokumen alas hak atas tanah atau bangunan dalam hukum pertanahan,” tegas Jon.

Ia menyarankan agar penyelesaian secara damai tetap diutamakan. Namun, jika koperasi bersikeras menguasai tanah tanpa dokumen sah, maka pemilik tanah berhak mengambil alih kembali, bahkan tanpa menunggu proses hukum.

“Namun, jika koperasi tetap ngotot menggunakan tanah/bangunan itu bak miliknya, padahal terdapat indikasi penguasaan tanpa alas hak, maka hal itu tidak menutup kemungkinan tanah/bangunan ini langsung dikuasai dan digunakan saja oleh pemiliknya, dan silahkan pengurus koperasi membawanya ke ranah hukum,” tegas Jon, Selasa, 20 Mei 2025.

Menurutnya bahwa hampir pasti koperasi tidak memiliki dokumen alas hak untuk diperlihatkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Lalu, apakah lembaga penegak hukum milik rakyat/Negara yang berwibawa itu memprosesnya hanya berdasarkan notulensi rapat?

“Apa dasar APH melakukan kewajiban menegakkan hukum padahal tanpa bukti dokumen hukum ? Malah hal itu akan berpotensi bumerang bagi koperasi. Oleh karen itu harapanya dengan mediasi intern saja, hal itu lebih berhatinurani,” kata Jon.

Jon Kadis menyatakan bahwa kalau indikasi pidana ‘kan cukup jelas, yaitu ‘dengan sengaja menguasai dan memiliki tanah orang lain tanpa dokumen alas hak.

Hingga berita ini dipublish, Ketua KSP CU Florette Florianus Kampul belum berhasil dikonfirmasi. Media ini tetap berupaya untuk mendapatkan keterangan dari pihak-pihak terkait.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *