Labuan Bajo, Okebajo.com – Polemik kepemilikan tanah di Bukit Kerangan, Kelurahan Labuan Bajo, kembali mencuat ke permukaan. Sejak April 2025, publik dikejutkan dengan kemunculan spanduk mencolok bertuliskan klaim kepemilikan tanah oleh ahli waris pasangan almarhum Nikolaus Naput dan Beatrix Seran Nggebu. Spanduk itu terpampang di pagar sengketa di kawasan strategis, tepat di bagian barat Jalan Raya Labuan Bajo–Kerangan, wilayah yang sejak lama diklaim sebagai milik tujuh warga lokal Labuan Bajo.
“Tanah ini milik ahli waris Nikolaus Naput dan Beatrix Seran Nggebu, perolehan tanah adat berdasarkan surat fungsionaris ulayat tertanggal 21 Oktober 1991,” demikian isi spanduk tersebut.
Namun, klaim itu langsung menuai respons keras dari para pemilik sah lahan seluas 3,1 hektare. Mereka menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk penyerobotan terang-terangan, dan siap menempuh jalur hukum.
Menurut Jon Kadis, S.H., anggota tim kuasa hukum dari Sukawinaya-88 Law Firm & Partners, spanduk yang tiba-tiba muncul itu tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga melanggar hukum. Ia menegaskan bahwa:
Pertama; Tanah 3,1 hektare tersebut adalah milik tujuh warga lokal, diperoleh secara sah dari fungsionaris ulayat sejak Maret 1990. Bahkan, proses pengukuran oleh BPN tahun 2012 pernah dihadiri oleh Nikolaus Naput sendiri, tanpa adanya protes atau sanggahan dari pihaknya saat itu.
Kedua; surat alas hak tahun 1991 milik Nikolaus Naput dan Beatrix Seran Nggebu yang dijadikan dasar klaim di spanduk, faktanya sudah dibatalkan oleh fungsionaris ulayat sejak 17 Januari 1998. Pembatalan itu disampaikan resmi kepada Lurah Labuan Bajo dan diketahui oleh Camat Komodo.
Ketiga; letak tanah dalam surat tahun 1991 ternyata berada di sisi timur jalan raya Labuan Bajo–Kerangan, dekat pertigaan menuju Bukit Toro Batu Kalo, atau sekitar 3-5 km dari lokasi spanduk saat ini. Artinya, lokasi dalam spanduk tidak sesuai dengan letak tanah yang tercantum dalam dokumen asli.
Dugaan Keterlibatan Makelar dan Motif di Balik Spanduk
Jon Kadis menduga keras, sosok di balik pemasangan spanduk tersebut adalah Santosa Kadiman, seorang yang Ia duga sebagai makelar tanah yang sebelumnya juga telah dikaitkan dengan dugaan transaksi fiktif 40 hektare dalam akta PPJB di hadapan notaris Billy Yohanes Ginta, pada Januari 2014.
Sejak peletakan batu pertama Hotel The St. Regis pada April 2021, Santosa dan rekan-rekannya diduga telah menduduki tanah 3,1 hektare tersebut. Mereka membangun basecamp, pos penjagaan, menggusur tanah dengan ekskavator, bahkan membangun penggilingan batu seolah-olah tanah itu milik mereka.
“Ini bukan kekeliruan administratif biasa. Ini adalah upaya sistematis untuk menguasai tanah rakyat dengan dalih dokumen yang sudah lama dibatalkan,” tegas Jon.
Menanggapi kejadian ini, para pemilik sah lahan 3,1 ha tidak tinggal diam. Mereka telah melayangkan gugatan perdata gelombang pertama dan kedua melalui Perkara No. 32 dan 33/2025 di PN Labuan Bajo. Dalam gugatan itu, Santosa Kadiman dan sejumlah pihak lain ditetapkan sebagai tergugat.
Tim kuasa hukum yang mendampingi warga adalah gabungan pengacara dari Sukawinaya-88 Law Firm & Partners, yang diketuai oleh Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si, serta anggota tim Dr(c) Indra Triantoro, S.H., M.H., Jon Kadis, S.H., Indah Wahyuni, S.H., dan Ni Made Widiastanti, S.H.
Dalam bahasa adat Manggarai, Jon Kadis menyebut tindakan ini dengan ungkapan sindiran keras:
“Ngasang puung na Toro Batu Kalo, poli hitu ga pande cear cumpe ting ngasang weru agu celu tana kaeng le anak de Niko Naput agu Santosa Kadiman jiri Bukit Kerangan agu leti ata nitu”
(Artinya: “Menanam pohon di Toro Batu Kalo, tapi buahnya diambil di Bukit Kerangan dan menginjak-injak orang yang tinggal di sana.”)
Ungkapan ini kata Jon, menggambarkan betapa absurd dan tak masuk akalnya klaim tanah yang tak sesuai lokasi, namun justru digunakan untuk menekan pemilik sah di tempat lain.
Sebagai langkah lanjutan, Jon menyatakan bahwa spanduk liar itu akan segera dibongkar oleh para pemilik lahan.
“Spanduk itu ibarat lalat hama pembawa virus, menodai kemurnian tanah adat dan sejarah kepemilikan warga Labuan Bajo,” pungkasnya.
Para pemilik tanah berharap penegakan hukum bisa menjadi jalan damai untuk mengakhiri polemik ini, sekaligus memberikan sinyal tegas bahwa segala bentuk penyerobotan tanah adat akan dilawan secara hukum dan bermartabat. ***