Labuan Bajo | Okebajo.com | Dua puluh tiga tahun usia Kabupaten Manggarai Barat telah berlalu. Kondisi memprihatinkan justru terasa nyata di Bari, ibukota Kecamatan Macang Pacar, Kabupaten Manggarai Barat yang menjadi sorotan. Bagaimana tidak. Hari ini, kondisi “kota mati” itu masih saja menjadi realitas pahit yang membelenggu harapan ribuan warga. Bari, yang seharusnya menjadi denyut nadi pembangunan di ufuk utara Labuan Bajo, kini semakin terbenam dalam isolasi, meminggirkan potensi besar yang dimilikinya.
Bari, salah satu dari lima kecamatan tua di era sebelum pemekaran Kabupaten Manggarai, menyimpan sejarah panjang dan potensi alam melimpah. Dari 13 desa di Kecamatan Macang Pacar, Bari sendiri mencakup empat dusun: Loger, Labu Liang, Bari Pantai, dan Toro Loji. Sebagai pusat administrasi kecamatan, Bari seharusnya menjadi magnet bagi kemajuan. Polsek, Koramil, Puskesmas, Paroki St. Martinus, beberapa masjid, serta sejumlah lembaga pendidikan formal seperti SDK Bari, MIS, SMP Negeri 1 Bari, MTS, SMA Negeri 1 Bari, dan SMK Negeri 1 Bari, semuanya berdiri di sini.
Lebih dari itu, Bari dikenal sebagai sentra produksi ikan, sayur-mayur, pisang, dan kelapa terbesar di wilayah Macang Pacar, menopang perekonomian warga secara signifikan.
Namun, semua potensi dan fasilitas publik tersebut seolah hanya menjadi simbol semu tanpa dukungan infrastruktur dasar yang memadai. Akses jalan menuju dan dari Bari tetaplah sebuah mimpi buruk, berlumpur di musim hujan dan berdebu tebal di musim kemarau, memutus jalur logistik dan membatasi mobilitas. Perjalanan ke Bari masih merupakan perjuangan yang menguras tenaga dan waktu, menghambat distribusi hasil bumi dan aksesibilitas pelayanan.
Ironisnya, di tahun 2025 ini, jaringan listrik masih menjadi barang mewah yang belum menyentuh seluruh pelosok Bari. Malam hari, kegelapan pekat menyelimuti sebagian besar wilayah, memaksa warga bergantung pada lampu sehen dan mesin genset berbahan bakar minyak dengan biaya operasional yang mencekik. Aktivitas belajar-mengajar di sekolah terganggu, pelayanan kesehatan terhambat, dan roda birokrasi pemerintahan berjalan tertatih-tatih.
Parahnya lagi, konektivitas digital yang menjadi tulang punggung peradaban modern masih merupakan ilusi di Bari. Sinyal internet yang sangat memprihatinkan, atau bahkan tidak ada sama sekali di beberapa area, semakin memperparah isolasi. Warga tidak dapat mengakses informasi, pelajar kesulitan melakukan riset, dan pelaku usaha kecil terputus dari pasar yang lebih luas.
Krisis air minum bersih juga tak kunjung terselesaikan, menambah beban hidup masyarakat yang harus berjuang mendapatkan air layak konsumsi setiap harinya.
Perbedaan kontras dengan ibukota kecamatan lain di Manggarai Barat semakin mempertegas status Bari sebagai “kota mati.” Sementara daerah lain sibuk dengan pembangunan infrastruktur dan kemajuan teknologi, Bari masih terpaku dalam keterbelakangan, seolah terlupakan oleh waktu dan janji-janji pembangunan.
Kondisi membahayakan ini telah memicu kekecewaan yang mendalam di kalangan masyarakat. Mereka bertanya-tanya, sampai kapan Bari harus hidup dalam kegelapan dan keterisoliran? Sampai kapan potensi sumber daya alam dan manusia yang melimpah ini harus terbuang sia-sia akibat minimnya perhatian dan investasi?
Masa depan Bari, sebuah kota dengan segudang potensi namun terjerat dalam keterbatasan infrastruktur, masih menjadi tanda tanya besar. Tanpa intervensi serius dan terpadu dari pemerintah serta pihak terkait, Bari akan terus menjadi kota yang padam, sebuah ironi di ufuk utara surga pariwisata Labuan Bajo. Harapan akan Bari yang bangkit dari keterpurukan kini terasa semakin jauh, sebuah kota mati yang menunggu keajaiban untuk kembali bernapas. *(Robert Perkasa)