Terendus Dugaan Mafia Tanah di Desa Gorontalo Labuan Bajo: PPJB Dibatalkan, BPN Sebut Tanah Sempadan Pantai!

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com – Aroma tak sedap dugaan praktik mafia tanah kembali menyeruak di kota pariwisata super premium Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT. Kali ini, sebuah akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) atas sebidang tanah warisan seluas 1.500 m² yang terletak di Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, tepatnya di antara Hotel Atlantis dan Jayakarta, menuai sengketa panas di Pengadilan Negeri Labuan Bajo. Diduga, di balik pembatalan sepihak PPJB oleh penjual, ada jejak konspirasi dan praktik manipulatif oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Perkara ini terdaftar sebagai Perdata No. 19/Pdt.G/2025/PN Lbj dan yang menjadi permasalahan adalah pihak pembeli tanah justru digugat oleh penjual sendiri, padahal penjual telah menerima uang muka dalam jumlah besar dan tanah tersebut telah dimanfaatkan oleh pembeli sesuai kesepakatan.

*Awal Mula Transaksi dan Janji Sertifikat*

Pemilik yang sekaligus penjual tanah, Muhamad Saing Makasau, mewarisi lahan dari almarhum orang tuanya sejak 1982. Tanah itu bersifat sporadik, belum bersertifikat, namun rutin dibayarkan PBB-nya selama delapan tahun terakhir. Pada Februari 2024, ia sepakat menjual tanah itu kepada Lie Sian, seorang pengusaha kuliner di Labuan Bajo melalui PPJB.

Karena belum bersertifikat, para pihak sepakat untuk mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM) terlebih dahulu. Sesuai isi PPJB, pengurusan SHM menjadi tanggung jawab bersama, dan pembeli pun sudah memagari serta membersihkan lahan tersebut sejak Februari 2024.

Namun, menjelang akhir 2024, muncul informasi mengejutkan dari pihak penjual bahawa BPN menolak penerbitan sertifikat karena menyatakan tanah tersebut termasuk zona sempadan pantai, tanah milik publik yang tak bisa dimiliki pribadi.

Pembeli Merasa Dijebak, Data dan Dokumen Sengaja Ditahan

Lie Sian melalui Penasihat Hukum, Jon Kadis, SH dalam keterangan pers yang diterima media ini pada Selasa, 22 Juli 2025 menjelaskan bahwa klienya mengantongi dokumen resmi dari Tua Adat, Kepala Desa, dan Camat, yang menyatakan lahan tersebut sebagai milik warga, bukan tanah negara dan tidak direncanakan untuk kepentingan umum. Jon mengaku bahwa klienya selaku pembeli tanah pun meminta salinan asli dokumen kepada pihak penjual, namun ditolak.

“Lebih mencurigakan, saat permohonan sertifikat diajukan, dokumen penting seperti surat keterangan desa tidak ikut disertakan oleh penjual. Hal ini memicu dugaan adanya permainan sistematis, yang bermuara pada upaya pembatalan PPJB melalui jalur hukum,” kata Jon Kadis.

Lebih lanjut Jon Kadis mengungkapkan bahwa dalam proses Pemeriksaan Setempat (PS) pada 11 Juli 2025, selalu Kuasa Hukum, Ia akhirnya diperkenankan hadir. Namun sidang itu menyisakan catatan kelam yang mana seorang hakim kedapatan membentak pekerja pembeli dengan nada intimidatif, menciptakan ketegangan yang tak pantas di ruang pengadilan.

“Meski begitu, pihak pembeli berhasil menyerahkan 19 bukti kuat, termasuk seperti bukti SPPT PBB tahun 2022, menunjukkan tanah tersebut aktif dikenai pajak pribadi, bukan tanah negara,” jelas Jon

Selain itu kata Jon bahwa surat riwayat kepemilikan tanah dari Kepala Desa Gorontalo, menyebut tanah itu “tidak dalam rencana kepentingan umum” dan “berbatasan dengan trotoar rabat” — bukan bibir pantai.

Modus Mafia: Dugaan Skema Kuasai Tanah Lewat Celah Hukum

Lebih jauh, Jon Kadis pun menduga bahwa ada aktor lain dengan dana besar yang mengincar tanah strategis tersebut, dan menggunakan jalur hukum untuk membatalkan PPJB.

“Skemanya bahwa kami duga setelah PPJB dibatalkan, dokumen lengkap diajukan kembali ke BPN oleh pihak penjual atau pihak ketiga untuk memperoleh sertifikat atas nama orang lain. Artinya, tanah tersebut sebenarnya bisa disertifikatkan, tapi sengaja dimanipulasi agar seolah-olah tidak bisa, demi memuluskan pengambilalihan oleh pihak tertentu,” kata Jon.

Fakta menarik lainnya, tanah di kiri, kanan, dan belakang lokasi sudah bersertifikat, bahkan berdiri bangunan komersial.

“Mengapa hanya lahan ini yang disebut sempadan?” Tanya Jon.

Sistem e-Court Dianggap Tak Fair, PH Desak Keadilan Substansial

Kuasa hukum Lie Sian juga mengeluhkan sistem e-Court yang dinilai diskriminatif. Dari 10 bukti penggugat, hanya satu yang bisa diunduh, sementara lainnya tidak tersedia secara elektronik.

“Hal ini dianggap membatasi akses pembelaan dan berpotensi merugikan pihak tergugat,” tegasnya.

Aroma dugaan permainan kotor mulai terasa, surat resmi dari Desa dan Camat tak disertakan dalam gugatan, BPN menyatakan sempadan berdasarkan sertifikat tetangga yang terbit saat tanah masih berupa semak belukar, dan ada ketidaksesuaian antara fakta lapangan dengan narasi gugatan.

“Pertanyaannya sederhana, jka tanah itu sempadan, mengapa sertifikat tetangganya bisa diterbitkan dan pagar dibangun tanpa masalah? Dan mengapa setelah PPJB dibatalkan, proses sertifikat diduga tetap berjalan diam-diam di BPN?,” cetus Jon.

Maka, publik menanti: akankah hakim memutuskan berdasarkan ‘Keadilan Ilahi’ yang tertera dalam kop putusan, atau tunduk pada permainan mafia yang melukai nurani keadilan?

Kuasa hukum tergugat menyatakan siap membawa kasus ini ke ranah pidana, dengan dugaan penipuan, penggelapan dokumen, dan perbuatan melawan hukum. Sebab dalam hukum perdata, PPJB adalah perjanjian sah yang wajib ditepati sesuai asas pacta sunt servanda dan Pasal 1338 KUH Perdata.

“Fiat Justitia Ruat Caelum, biarkan beadilan berdiri walau langit runtuh”. Akhirnya, masyarakat dan pencari keadilan di Labuan Bajo hanya berharap satu hal: keputusan yang memihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan,” tutur Jon.

Sebab mafia tanah katal Jon yaitu hanya tumbuh subur saat hukum dibajak oleh mereka yang seharusnya menjaganya. Dan dalam kasus ini, kebenaran bukan hanya soal tanah, tetapi soal siapa yang kita percaya sebagai penjaga keadilan di negeri ini.

“Manusia bisa disesatkan, tapi Tuhan tidak. Hakim adalah perponjangan tangan Tuhan di dunia. Maka biarkan ia melihat dengan mata nurani, bukan dengan kacamata mafia.” tutup Jon.

Hingga berita ini terbit, media ini belum mendapatkan keterangan dari Muhamad Saing Makasau selaku pemilik, penjual dan juga sebagai penggugat belum memberikan keterangan apapun meskipun media ini telah berupaya mengkonfirmasi. Pesan yang dikirim via WhatsApp pada Rabu, (23/7/2025) pagi belum direspon.

Sementara itu, media ini juga masih berupaya untuk mendapatkan keterangan dari pihak BPN Manggarai Barat dan juga Pemdes Gorontalo terkait polemik tersebut. ***

 

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *