Sengketa Jual Beli Tanah di Labuan Bajo, Jon Kadis: Jangan Jadikan Status ‘Sempadan’ Alat Akal-Akalan Kuasai Kembali Tanah!

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com — Kuasa hukum pihak pembeli tanah, Jon Kadis, SH, memberikan tanggapan keras terhadap pernyataan dari Hipatios Wirawan, S.H., selaku penasihat hukum dari penjual tanah (Muhamad Saing Makasau) di Desa Gorontalo, Labuan Bajo. Ia menilai pernyataan Wira cenderung menyimpang dari substansi perkara dan justru mencoba memutarbalikkan logika hukum yang berlaku.

Menurut Jon Kadis, pokok perkara ini bukan sekadar soal “sertifikat tidak bisa terbit”, tetapi menyangkut kesepakatan hukum yang sah, yakni Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 13 Februari 2024.

“PPJB adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari hak atas tanah. Tanpa ada hak atas tanah, PPJB tidak mungkin ada. Maka, ketika PPJB dibuat, sudah pasti ada alas hak yang sah,” tegas Jon.

Ia menjelaskan, dalam hukum agraria Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hak atas tanah bisa berasal dari dua jalur utama: pertama, surat-surat alas hak awal seperti surat warisan, surat riwayat tanah, dan dokumen adat (Tua Golo); dan kedua, sertifikat hak milik (SHM) sebagai pengakuan administrasi negara.

“Jadi, meskipun tanah belum bersertifikat, PPJB bisa dibuat asal alas haknya sah. Dan dalam kasus ini, semua surat dasar lengkap dan sah,” ujar Jon.

Tudingan Wira Dinilai Tidak Berdasar

Jon Kadis mempertanyakan pernyataan Wira yang mengklaim permohonan sertifikat sudah ditolak tiga kali oleh BPN Mabar.

“Saya tantang, mana bukti tanda terima dari BPN? Mana bukti bahwa semua dokumen, dari surat ulayat, Kepala Desa, Camat, PBB, sudah diserahkan secara resmi dan lengkap ke BPN? Jangan cuma klaim sepihak,” katanya.

Menurutnya, bila satu saja dokumen penting disembunyikan atau tidak dilampirkan, maka sudah pasti BPN menolak permohonan tersebut.

“Diduga kuat ada upaya sengaja menyembunyikan dokumen penting agar permohonan ditolak. Lalu dijadikan alasan seolah-olah tanah tidak bisa disertifikatkan,” kata Jon.

Pembeli Justru Ingin Bantu Urus Sertifikat

Jon Kadis juga menyebut bahwa pihak pembeli sudah berulang kali meminta untuk dilibatkan dalam proses pengurusan sertifikat, sebagaimana diatur dalam PPJB.

“Dalam PPJB jelas tertulis bahwa pengurusan sertifikat dilakukan bersama-sama. Tapi nyatanya, pembeli tidak pernah dilibatkan,” ungkapnya.

Ia juga membongkar kronologi awal penjualan, bahwa pemilik tanah saat itu menyatakan tanah tersebut dikuasai pihak ketiga, termasuk oknum aparat dan meminta bantuan pembeli untuk menyelesaikannya. Pembeli kemudian bersedia, dengan syarat dokumen harus lengkap dan proses berjalan transparan.

Namun seiring waktu, Jon menduga terjadi perubahan niat dari pihak penjual.

“Bisa jadi ada pihak ketiga yang tertarik membeli tanah dengan harga lebih tinggi, sehingga PPJB ini dianggap penghalang dan harus dibatalkan. Maka dibuatlah narasi bahwa tanah ini termasuk sempadan pantai,” tegasnya.

Status Sempadan Dipertanyakan

“Pertanyaan besar: kalau tanah itu sempadan, kenapa dulu penjual sendiri berani buat PPJB? Kenapa ada surat-surat resmi dari desa dan camat yang menyatakan itu milik pribadi dan bukan untuk kepentingan umum?” lanjut Jon.

Ia juga mengkritik keras logika bahwa karena sertifikat tidak keluar, maka PPJB otomatis batal.

“Lho, alas hak awalnya masih sah. Tidak bisa serta-merta PPJB gugur. Ini bukan logika hukum. Ini logika dagang yang manipulatif,” katanya.

Dalam pernyataannya, Jon juga menyindir keras sikap penjual yang tiba-tiba pasrah menerima keputusan BPN tanpa perlawanan.

“Kalau benar dia menerima tanahnya jadi sempadan, maka dia adalah satu-satunya warga di kawasan super premium Labuan Bajo yang bersedia kehilangan hak milik secara cuma-cuma. Entah karena sangat suci, atau karena ada permainan di balik layar,” sindirnya.

Jon juga mengingatkan bahwa harga tanah di kawasan tersebut naik sangat cepat.

“Bisa saja sempadan hanyalah strategi, lalu setelah PPJB dibatalkan dan pembeli menyerah, tanah itu diam-diam disertifikatkan dan dijual lebih mahal. Ini permainan waktu dan kekuasaan,” ujarnya.

Jon mendesak agar pihak penjual menunjukkan bukti permohonan resmi ke BPN dan tanda terima berkas.

“Kalau benar sudah tiga kali daftar, mana buktinya? Jangan hanya main drama. Fokus ke pokok perkara: PPJB dan hak atas tanah adalah satu kesatuan hukum yang harus dihormati,” pungkas Jon Kadis.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *