Labuan Bajo, Okebajo.com – Sengketa jual beli tanah di kawasan pesisir Desa Gorontalo, Kecamatan, Komodo, Manggarai Barat, NTT Labuan Bajo, terus bergulir. Dalam perkara perdata yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, seorang pembeli tanah bernama Lie Sian mengaku terkejut karena digugat oleh pemilik lahan sendiri, Muhamad Saing Makasau. Gugatan itu menuntut pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 3 tertanggal 13 Februari 2024, dengan alasan tanah tersebut masuk kawasan sempadan pantai dan tidak bisa disertifikatkan.
Namun Lie Sian tidak tinggal diam. Kepada media ini pada Sabtu (26/7/2025), ia membongkar berbagai kronologi dan kejanggalan yang terjadi sejak awal transaksi. Ia menuding Saing tidak jujur dan menyebut ada indikasi permainan pihak ketiga, termasuk oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Labuan Bajo.
“Menurut pemilik tanah (Saing) waktu itu, tanahnya bermasalah. Apa? Tanah seluas 1.500an m² itu adalah bagian warisan orang tuanya, yang asal mulanya dari perolehan tanah adat 1982. Surat-surat alas haknya lengkap. Ada surat keterangan Pemerintahan Desa Gorontalo bahwa tanah itu tidak untuk kepentingan umum. Ketika Saing mau menguasai tanahnya, selalu mendapat gangguan tidak nyaman dari pemilik tanah berbatasan di bagian selatan, Ibu Paula namanya, serta ada oknum petugas yang mengintimidasinya. Tanah itu masih dalam keadaan hutan. Di bagian utaranya ada jalan setapak terbentang lurus dari bagian utara hotel Atlantis hingga hotel Jayakarta”. Kata Lie Sian.
Ia mengungkapkan bahwa Muhamad Saing Makasau sering datang meminta bahkan maaf, seperti mengemis agar tanahnya kami beli.
”Ia (Saing) tampak jujur dan beritikad baik. Lalu terjadi kesepakatan, maka dilakukanlah PPJB 13 Februari 2024, kami bayar uang muka dalam jumlah besar, tapi dengan syarat yaitu pertama setelah selesai sertifikat baru dilunaskan. Dan kedua, kami selaku Pembeli berdasarkan PPJB itu sudah boleh memanfaatkan tanah itu untuk keperluan usaha kami. Ketiga, pengurusan permohonan sertifikat dilakukan berdua, dan biayanya menjadi beban penjual. Dan sejak saat itu kami membersihkan tanah itu, memagarinya separuh dengan pagar bambu, dan dibagian utaranya batas sempadan kami buat pagar dari tembok batu serta pondok jaga”, beber Lie Sian.
Lie Sian menjelaskan bahwa selang beberapa bulan kemudian Saing memberitahuinya bahwa tanah obyek PPJB itu tidak dapat dibuatkan sertifikat oleh BPN, alasannya karena area sempadan pantai. Lalu dia minta agar batalkan PPJBnya dan Ia bersedia mengembalikan uang muka swebesar Rp120 juta.
“Kami kaget. Sejak saat itu kami berkali-kali meminta semua surat asli alas hak tanah beserta semua surat keterangan dari Desa, tapi tak pernah Saing serahkan. Itu kami minta karena sesuai kesepakatan PPJB, kami juga bisa mengurus sertifikat itu. Kami meminta bukti tanda terima berkas BPN, tapi tidak pernah diberikan. Kami minta dokumen surat alas hak asli dan semua surat keterangan. Ia serahkan aslinya, tapi tidak lengkap. Empat (4) hari kemudian ia datang, bukannya melengkapi dokumen, tapi meminta kembali dokumen aslinya itu. Malah tiba-tiba melakukan gugatan,” jelasnya.
Ia jelaskan bahwa bukti resmi tanda terima berkas pengurusan sertifikat di BPN tidak pernah diserahkan atau ditunjukkan. Ia selalu meminta untuk menunjukan mana bukti pengurusannya.
“Kok sembunyi seperti pengecut? buktikan dan tunjukan itu semua. Sejak pemberitahuan ‘tidak dapat dibuatkan sertifikat itu, hampir setahun ini, kami mulai menduga ada indikasi ketidakjujuran dalam pengurusan sertifikat dan ada drama yang tidak baik yang diduga dimainkan oleh penjual dan oknum pejabat BPN dan entah siapa atau pejabat mana lagi. Sudah hampir 1 tahun pihak pembeli mau melihat dan meminta 3 tanda terima permohonan sertifikat dari BPN karena 3(tiga) kali pengajuan katanya, tapi ditunggu-tunggu tidak pernah ada tanda terima tersebut. Kami selaku pembeli sangat merasa ditipu, dan untuk ini kami akan segera membuat laporan pidana”, tutup Lie Sian.
Sementara itu, PH Tergugat, Jon Kadis, SH, mengatakan bahwa Kliennya merasa telah ditipu. Akan segera dilapor pidana. PPJB Februari 2024 dibuat karena surat alas haknya lengkap. PPJB itu tidak dapat dibatalkan, karena sudah terpenuhi unsurnya.
“Terutama alas hak atas tanahnya. Hanya tinggal satu langkah kecil untuk difollow up, yaitu selangkah kedepan agar surat alas tersebut dilanjutkan ke jenjang sertifikat hak milik sebagai syarat dalam administrasi negara. Penggugat ajukan sendiri, tapi malah ia sendiri bilang tidak bisa dilanjutkan, bahkan ia meminta BPN agar mengeluarkan surat klarifikasi bahwa tanahnya itu area sempadan pantai. Dan, surat itu BPN keluarkan untuk Saing” kata Jon.
Gugatan perdata tanpa bukti : tidak ada bukti tanda terima pengajuan berkas SHM ke BPN, satu-satunya bukti andalannya ‘surat sempadan BPN
Menurut Jon Kadis bahwa berkas gugatannya, apa bukti formal yang diajukan ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo? Yaitu: 1) salinan akta PPJB, 2) surat klarifikasi ‘area sempadan pantai’ dari BPN, serta 3) bukti rekening terima uang pembayaran. Dan tegas pula diminta dalam gugatan itu, bahwa Penggugat bersedia mengembalikan uang muka yang sudah pernah diterima. Jika begini, kuat dugaan Saing ada main dengan pihak ketiga. Dari bukti Penggugat yang disampaikan ke Pengadilan itu kats Jon, tidak ada satu pun dokumen alas hak tanah obyek PPJB-nya.
“Padahal harus serta buktikan dong, bahwa PPJB itu sendiri sah dan tanahnya sah. PPJB iru satu kesatuan dengan tanahnya. Dan ini yang penting, Penggugat yang mengurus pengajuan sertifikat ke BPN sebagaimana dimuat dalam pasal di PPJB itu, tunjukkan dong kepada Majelis Hakim bukti tanda terima berkas. Karena 3 kali pengajuan, maka tunjukkan bukti ke Majelis Hakim 3(tiga) tanda terima berkas pengajuannya. Padahal bukti-bukti ini vital. Kenapa? Pertama, di sini hakim bisa melihat, apakah betul ada perbuatan yang harus dilakukan oleh Penggugat sesuai perjanjian dalam PPJB. Kedua, apakah Penggugat komplit menyerahkan berkas pengajuan sertifikat atau tidak. Karena PPJB sebagai Undang-Undang bagi kedua belah pihak (pasal 1338 KUH Perdata) maka Majelis Hakim mengadili perkara ini berdasarkan PPJB itu sendiri. Kalau ternyata tidak ada bukti pengurusan sertifikat, tidak ada bukti tanda terima pihak BPN, maka ini dikategorikan tidak bertiktikad baik”, Tegas Jon.
Tergugat justru menyerahkan semua bukti dari Tua Kampung dan Desa “tanah itu hak milik, bukan sempadan” !
Jon Kadis menjelaskan bahwa pada sidang terakjir 22 Juli 2025, pihak Penggugat tidak juga menyerahkan bukti vital itu. Sebaliknya dari Pihak Tergugat, semua dokumen alas hak atas tanah diperlihat kepada majelis hakim, fotocopy sesuai aslinya ada cap dan tanda tangan Pemerintahan Desa Gorontalo.
“Saya pikir, Majelis Hakim baru melihat bukti-bukti itu. Satu dokumen sah itu adalah, surat keterangan Kepala Desa tentang tanah itu benar hak milik warganya, Muhamad Saing Makasau, tanah itu tidak direncanakan untuk kepentingan umum alias bukan sempadan pantai. Kuat dugaan bahwa Penggugat tidak jujur, dimana ia hampir pasti tidak menyerahkan dokumen itu sebagai salah satu bahan berkas pengajuan sertifikat ke BPN, sehibgga BPN tidak mengetahui update terakir tentang area sempadan di kawasan pantai Gorontalo, Labuan Bajo itu. Atau, bisa juga ada dugaan oknum BPN ikut berkonspirasi dengan Penggugat, sehingga oknum BPN masih berada di kondisi tempo dulu di sempadan pantai”, beber Jon.
Berdasarkan hal tersebut di atas Jon Kadis berkeyakinan bahwa Majelis Hakim PN Labuan akan memutuskan menolak gugatan Penggugat dan PPJB itu tetap sah, walau belum ada dokumen sertifikat hak milik.
“Kan surat alas hak dari Tua Golo plus konfirmasi dari Desa ada sebagai dasar hukum untuk pembuatan PPJB itu pada 13 Februari 2024 tetap ada. Kalau ada yang bilang bahwa PPJB itu otomatis batal demi hukum karena sertifikat hak milik tidak akan ada karena alasan sempadan pantai, maka mereka itu ketahuan ngawurnya, tidak paham UUPA,” Jelasnya.
Menurut Jon, bahwa di PPJB antara Penggugat dan Tergugat, adanya sertifikat tanah obyek PPJB di perkara ini posisinya di ujung, hanya hal teknis sebagai syarat pelunasan. Jika tak ada sertifikat, PPJB tetap sah.
“Penjual membuang kesempatan musyarawarah sebagai keharusan di pasal PPJB, padahal di situ bisa saja terdapat kesepakatan tanah dilunaskan cukup dengan surat alas hak asalnya. Penggugat paham seharusnya, tapi diabaikan demi permainan drama untuk suatu tujuan yang menguntungkan,” tutup Jon.
Sementara itu, Kuasa Hukum Penggugat, Hipatios Wirawan, SH, menanggapi dengan singkat. Ia mengatakan bahwa seluruh bukti pengajuan permohonan ke BPN sudah ada.
“Sudah cukup untuk tanggapi mekas ini om. Kemarin saya tanggapi karena banyak pernyataan asumtif. Kita sudah ajukan di persidangan, Om John bisa cek sendiri dan tanya di BPN. Ada semua,” jelas Wira, ketika dikonfirmasi media ini pada Sabtu, (26/7) malam.