Labuan Bajo, Okebajo.com — Di balik gemerlapnya pembangunan pariwisata premium di Labuan Bajo, Manggarai Barat, terselip kisah kelam dugaan perampasan tanah rakyat kecil. Kisah itu datang dari tujuh warga Labuan Bajo, pemilik sah lahan seluas 3,1 hektar, yang kini terjebak dalam pusaran tumpang tindih kepemilikan dengan nama-nama pengusaha seperti Santosa Kadiman, pemilik Hotel St. Regis, dan keluarga ahli waris alm. Nikolaus Naput.
Informasi yang dihimpun media ini bahwa tanah seluas 3,1 ha ini diperoleh oleh tujuh warga dari H. Ishaka, fungsionaris adat Nggorang pada 1992 dengan surat alas hak asli. Selama puluhan tahun mereka menggarap lahan itu tanpa sengketa. Namun, badai mulai datang pada 2022, saat ground breaking Hotel St. Regis dilakukan di atas tanah mereka.
Tanpa disadari, sejak Januari 2014, terjadi transaksi PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) antara Niko Naput dan Santosa Kadiman atas klaim tanah seluas 40 ha, yang di dalamnya mencakup 3,1 ha milik ketujuh warga ini. Transaksi itu dilakukan di hadapan Notaris Bily Ginta.
Inspektur Jendral Polisi (purn) Drs. I Wayan Sukawinaya M.si SH., didampingi DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H. dan Jon Kadis, S.H selaku anggota tim kuasa hukum dari 7 warga pemilik tanah di Keranga pada Senin, 12 Mei 2025 membeberkan beberapa rentetan fakta mencengangkan terkuak, bak lembar demi lembar skenario mafia tanah.
Pertama, usai seremoni peletakan batu pertama oleh Gubernur Viktor Laiskodat dan Bupati Manggarai Barat 21 April 2022, lahan 3,1 ha berubah menjadi basecamp, gudang alat berat, dan pabrik penggilingan batu seolah sudah sah milik pengusaha.
Kedua, klaim 40 ha yang dijual Niko Naput ke Santosa Kadiman menyapu lahan warga tanpa dasar kuat, diketahui dari perkara perdata 11 ha milik ahli waris Ibrahim Hanta (Perkara No.1/2024 Lbj).
Ketiga, Niko Naput mengklaim tanah 3,1 ha sebagai bagian dari tanah 16 ha yang dibelinya dari Nasar Supu pada 10 Maret 1990. Namun, bukti asli surat alas hak itu tak pernah ada. Hanya fotokopi.
Keempat, Pemeriksaan Satgas Mafia Tanah Kejagung RI (Agustus & September 2024) menguatkan temuan bahwa surat alas hak 16 ha itu tidak otentik. Dugaan kuat palsu.
Kelima, pada April 2025, keluarga Niko Naput memasang pagar dan baliho larangan masuk di atas tanah 3,1 ha, menyebut alas hak adat tanggal 21 Oktober 1991. Padahal, versi ini bertolak belakang dengan gugatan mereka sendiri di pengadilan.
Keenam, Pada 2017, BPN menerbitkan gambar ukur (GU) di atas lahan 3,1 ha atas nama Rosyina Yulti Mantuh dan Albertus Alviano Ganti, keponakan Niko Naput. Ini berlawanan dengan klaim baliho yang menyebut milik ahli waris Niko-Beatrix.
Ketujuh, Pada 2012, saat proses pengurusan SHM oleh 7 warga, Niko Naput dan Haji Ramang hadir dalam sidang panitia A BPN dan mengakui tanah itu milik 7 warga. Ini jadi bukti bahwa klaim 2014 dan seterusnya adalah bentuk perampasan hak.
Kedelapan, surat alas hak 16 ha tahun 1990 dan 21 Oktober 1991 itu sudah dibatalkan fungsionaris adat Nggorang sejak 1998, akibat tumpang tindih dengan tanah Pemda dan warga.
Kesembilan, dalam putusan perkara No.1/2024 Lbj dan hasil investigasi Satgas Mafia Tanah, terbukti bahwa alas hak asli Niko Naput tidak pernah ada. PPJB 40 ha dengan Santosa Kadiman pun dinyatakan cacat hukum, hanya berbekal pengukuran Google Map.
Fakta Tambahan: Dugaan Kolusi dan Praktik Mafia Tanah di BPN
Pada 2017, muncul 5 Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anak-anak Niko Naput di atas lahan 11 ha milik ahli waris Ibrahim Hanta, dan 2 GU di atas lahan 3,1 ha milik 7 warga tadi. Semua didasarkan pada dokumen fotokopi surat alas hak 1990 yang tidak pernah bisa ditunjukkan aslinya.
“Kejanggalan makin terang ketika pada 2024, Satgas Mafia Tanah menemukan bahwa SHM atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus G. Naput salah lokasi, tidak sesuai warkah adat. Ini memperkuat dugaan rekayasa administratif di tubuh BPN Manggarai Barat,” ungkap Jon Kadis.
Haji Ramang: Kunci Permainan Mafia Tanah?
Nama Haji Ramang disebut sebagai dalang di balik pengukuhan tanah yang sudah dibatalkan sejak 1998. Meski bukan lagi fungsionaris adat sejak 1 Maret 2013, ia diduga terlibat aktif menerbitkan surat pengukuhan ulang sebagai dasar penerbitan SHM dan GU untuk keluarga Niko Naput.
Zulkarnain Djudje, anak dari almarhum Adam Djudje, tokoh adat Nggorang, memberikan kesaksian tegas bahwa Haji Ramang menyalahgunakan peran adat demi kepentingan pribadi.
“Ia menata ulang tanah-tanah yang sudah dibagi oleh ayahnya sendiri (H. Ishaka), menyebabkan tumpang tindih,” kata Zulkarnain.
Perlawanan Kembali: Tanah Harus Kembali ke Rakyat
Berkaca dari putusan PN Labuan Bajo (23 Oktober 2024) dan PT Kupang (18 Maret 2025) yang memenangkan ahli waris Ibrahim Hanta, para pemilik 3,1 ha Kerangan pun bertekad merebut kembali hak mereka.
“Kami sekeluarga besar 7 orang ini akan memasang plang, membangun pondok, dan kembali memanfaatkan tanah kami untuk bertani. Kami juga akan tempuh jalur hukum: pidana, perdata, hingga PTUN, dengan tim penasihat hukum kami yang dipimpin Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya,” tegas Lambertus Paji (70).