Oleh: Sil Joni)*
OPINI, Okebajo.com,- Hakikat demokrasi adalah keikutsertaan rakyat dalam mendesain dan mengimplementasikan pelbagai proyek politik yang berimplikasi pada perbaikan kehidupan bersama. Derajat partisipasi publik dalam aneka proses politik menjadi ‘unsur yang semestinya hadir’ dalam praksis berdemokrasi.
Kontestasi demokrasi elektoral dalam bentuk pemilihan umum (pemilu) dan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) merupakan instrumen efektif dalam memanifestasikan kedaulatan publik untuk menentukan pemimpin politik yang berkualitas.
Kita tahu bahwa pada tahun 2024, bangsa Indonesia menyelenggarakan dua momentum kontestasi demokrasi, yakni Pemilu 2024 dan Pilkada serentak 2024. Dua momentum tersebut harus dilaksanakan pada tahun yang sama sebagai konsekuensi dan amanat undang-undang.
Pemilu 2024 harus dilaksanakan di tahun 2024 karena sesuai ketentuan bahwa Pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali. Indonesia sudah menggelar Pemilu terakhir pada 2019 lalu. Adapun Pilkada serentak akan dilaksanakan pada November 2024 sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah.
Bahaya ‘Politik Curang’ Pemilu atau Pilkada adalah arena perebutan kekuasaan politik. Setiap pemain yang bertanding dalam arena kompetisi itu, pasti mempunyai ambisi untuk menjadi ‘pemenang’. Ketika para aktor politik dikuasai oleh ‘nafsu untuk menjadi penguasa’, maka bukan tidak mungkin segala cara dipakai. Saya kira, dalam praksis selama ini, fenomena ‘menabrak rambu-rambu etis dan regulasi’ dalam kontestasi, kerap terjadi.
Asumsinya adalah kekuasaan yang didapat dengan cara curang, tipu daya, berpotensi menghasilkan pemimpin yang korup. Demokrasi sebenarnya instrumen yang ideal untuk mencegah pemimpin yang buruk dan koruptif berkuasa. Kepemimpinan yang koruptif tentu kontraproduktif dalam upaya memanifestasikan perbaikan kepentingan bersama.
Untuk itu, publik mesti ‘proaktif’ agar tidak membiarkan para aktor politik menggunakan cara-cara tak etis dalam merebut kekuasaan politik. Sedini mungkin publik mencium bau penipuan dan berusaha untuk mengawasi setiap pergerakan yang mencurigakan dari para kontestan politik itu.
Dengan demikian, pengawasan dalam Pemilu tidak hanya menjadi tugas utama dari lembaga legal seperti Bawaslu, tetapi juga menjadi tugas pokok dari publik pemilih. Publik mesti berani untuk ‘melaporkan’ setiap bentuk pelanggaran dan kecurangan, baik yang dilakukan oleh para aktor politik, maupun yang dibuat oleh para penyelenggara (KPU dan Bawaslu).
Jadi, publik konstituen, selain menggunakan ‘hak’ untuk memilih, juga mempunyai kewajiban moral untuk mengawal dan mengawasi perilaku politik para kontestan dan penyelenggara.
Sayangnya, penilaian terhadap pelaksanaan kontestasi politik selama ini, masih berorientasi pada hasil (baca: angka partisipasi di TPS). Padahal, yang paling menentukan sebenarnya adalah kualitas dari proses pelaksanaannya. Salah satu indikator kualitas proses itu adalah ‘tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam pengawasan setiap tahapan kontestasi’.
Oleh karena itu, semestinya perhatian para lembaga survei dan pemangku kepentingan lainnya lebih banyak tercurah pada ‘derajat partisipasi masyarakat’ dalam pengawasan itu. Dengan itu, kita tidak lagi menjadikan dimensi ‘kuantitas suara’ sebagai rujukan keberhasilan sebuah kontestasi, tetapi juga kualitas keterlibatan publik dalam melaksanakan pengawasan partisipatif.
Partisipasi Masyarakat
Kata partisipasi berasal dari kata Bahasa Latin ‘pars’ yang berarti bagian. Partisipasi berarti ‘mengambil bagian’ dalam sebuah hajatan atau acara. Tetapi, tidak semua hal harus kita kerjakan dalam acara itu. Ada bagian tertentu yang menuntut semua pihak untuk ambil bagian dalam menyukseskan kegiatan tersebut.
Dari penjelasan di atas, dalam konteks pengawasan pemilu, masyarakat diwajibkan untuk ‘berpartisipasi’ dalam kegiatan pengawasan itu. Artinya, ada bagian atau bidang tertentu di mana masyarakat harus ‘terlibat’ dalam tugas kepengawasan itu. Jadi, tidak semua bidang teknis pengawasan, harus dilaksankan oleh masyarakat.
Tesis utama saya adalah tingginya partisipasi publik, mulai dari level pengawasan sampai pada hari pemungutan suara, merupakan variabel kunci dalam meningkatkan kualitas praksis demokrasi kita. Publik tidak boleh menjadi penonton atau bersikap pasif dalam setiap pelaksanaan kontestasi politik. Mengapa?
Di tengah situasi persiapan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024, ada banyak agenda yang harus disiapkan. Salah satu agenda tersebut terkait dengan menyiapkan masyarakat agar bisa lebih cerdas dalam menghadapi Pemilu 2024. Seperti yang kita tahu bahwa pelaksanaan Pemilu selalu dihantui atau diliputi dengan berbagai potensi pelanggaran. Jika pelanggaran itu terjadi, maka akan merusak kualitas Pemilu.
Suksesnya pemilu tidak cukup hanya diukur dari besarnya partisipasi masyarakat dalam menyalurkan hak suara. Peran masyarakat dalam aspek pengawasan juga amat penting, sehingga nilai demokrasi terjaga. Pemilu benar-benar menjadi instrumen untuk menghasilkan sosok pemimpin yang bisa dipertanggungjawabkan.
Pemilu adalah instrumen pengartikulasian kedaulatan publik untuk mendapatkan pemimpin demokrasi yang berkualitas. Untuk itu, partisipasi publik dalam mengawasi setiap tahapan proses penyelenggaraan sebuah ‘kontestasi demokrasi elektoral’, menjadi sebuah keharusan. Itu berarti partisipasi publik dianggap sebagai nyawa dalam proses pengawasan. Dengan melibatkan banyak orang, potensi mencegah potensi pelanggaran akan semakin maksimal.
Dalam arus pikir semacam itu, kita perlu mengapresiasi Bawaslu yang tidak pernah berhenti bekerja sama dengan semua pihak, dari mulai mahasiswa, kementerian/lembaga pemerintah, tokoh adat, tokoh masyarakat, sampai tokoh agama dalam menjalankan tugas pengawasan.
Prinsip pengawasan partisipatif, tidak hanya bergaung pada tataran wacana yang bersifat sloganistik, tetapi diterjemahkan melalui program kerja yang nyata dan terukur.
Tentu saja, dalam konteks pengawasan, aktor-aktor yang sudah bekerja sama, diharapkan menjadi mitra atau pengawas partisipatif dalam tahapan pemilu atau Pilkada. Dalam terminologi pemilu, partisipasi dipahami secara sederhana: orang datang ke tempat pemungutan suara (TPS), lalu menggunakan hak pilih. Tapi Bawaslu ingin partisipasi juga dimaknai mendorong kelompok masyarakat terus menyuarakan hal baik dan mencegah hal buruk.
Sehingga pelanggaran dalam pemilu bisa diantisipasi seminimal mungkin. Tanpa partisipasi banyak pihak, itu tidak mungkin. Sejatinya nyawa pengawasan terutama untuk pencegahan adalah banyaknya kerja sama dan partisipasi.
Bawaslu membuat banyak program untuk mendorong partisipasi publik dalam pengawasan pemilu. Pusat Pendidikan dan Pengawasan Partisipatif, misalnya. Program ini terdiri dari empat klaster besar, yaitu pendidikan dan sosialisasi, menarik partisipasi, inovasi untuk mendorong orang tertarik berpartisipasi, serta kaderisasi atau merekrut kader relawan pengawas pemilu.
Sejak empat tahun lalu, Bawaslu menggelar Sekolah Kader Pengawas Partisipatif, kemudian pemerintah menganggapnya sebagai sebuah inovasi dan menjadi prioritas nasional, menarik anak-anak muda bergabung dalam kader pengawas partisipatif. Dalam Sekolah Kader, yang penting internalisasi nilai, muatan pengawasan, pemilu dan demokrasi yang baik itu terpenuhi.
Terlebih dalam konteks pandemi, memang harus banyak inisiatif baru untuk mendukung penyelenggaraan pemilu. Biasanya mendorong partisipasi masyarakat identik dengan pertemuan warga, komunitas, atau kelompok yang diisi materi demokrasi, dalam kondisi pandemi, itu hampir tidak mungkin. Atas dasar itu, saya kira banyak yang harus ada penyesuaian.
Untuk menciptakan pemilu yang lebih baik memerlukan proses dan waktu. Dalam posisi ini, pemerintah mengharapkan semua rakyat Indonesia yang sudah mempunyai hak pilih ikut hadir di TPS untuk menentukan arah bangsa ke depan. Tetapi, saya kira kehadiran di TPS tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas hasil dari kontestasi demokrasi itu. Itu berarti ‘pergi ke TPS’ saja tidak cukup. Publik mesti bertindak sebagai pengawas yang militan dan konsisten terhadap setiap aksi dan manuver yang diperlihatkan oleh para kontestan dan para penyelenggara Pemilu.
Jadi, yang menjadi target dalam pembangunan politik, tidak hanya angka-angka partisipasi ke TPS, tetapi juga ‘intensitas dan keseriusan’ untuk mengawasi para pemain politik dan para penyelenggara. Tentu ini menjadi perhatian serius. Tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga masyarakat pemilih.
Sebetulnya, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu sudah sangat baik, apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada Pemilu 2019, tingkat partisipasi sudah mencapai 81,93% atau 158.012.506 pemilih menggunakan haknya. Tingkat partisipasi ke TPS yang tinggi itu akan semakin efektif dan berbobot jika diimbangi dengan meningkatnya kesadaran untuk bertindak sebagai pengawas.
Epilog
Pemimpin politik dipilih untuk mengurus atau mengabdi pada kepentingan publik. Oleh sebab itu, publik ‘berhak dan wajib’ terlibat dalam setiap tahapan pelaksanaan kompetisi politik dalam menjaring dan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan ekspektasi publik.
Pemimpin yang berkualitas itu, hemat saya lahir dari sebuah proses yang juga berkualitas. Indikator sederhana untuk menentukan proses politik yang demokratis adalah tingginya angka partisipasi publik dalam sebuah kontestasi politik. Partisipasi yang dimaksud, tidak melulu soal ‘kehadiran di tempat pemungutan suara’ (TPS), tetapi juga melaksanakan tanggung jawab sebagai ‘pengawas yang cermat dan cerdas’ terhadap setiap tindakan dari para aktor politik dan para penyelenggara pemilu.
Publik pemilih (konstituen), sebenarnya adalah ‘pengawas pemilu sungguhan’. Tugas sebagai pengawas itu, tidak diperoleh melalui mekanisme yang legal-formal, tetapi semata-mata sebagai ‘akibat logis’ dari penggunaan kekuasaan politik untuk peningkatan kualitas kehidupan bersama. Publik tidak boleh menjadi ‘korban’ dari permainan politik yang cenderung kotor dari para kontestan politik.
*Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.