Kisah Nyata Cinta Seorang Ibu Demi Masa Depan Anaknya yang Nakal

Avatar photo
Yosep Dayaputra Pejuang Ampera, Mahasiswa Yogyakarta

Labuan Bajo | Okebajo.com |  Seorang mahasiswa berasal dari Manggarai Barat melukiskan pengalaman  menarik tentang kisah kasih ibu kandungnya yang jatuh bangun berjuang untuk anak laki-lakinya yang amat nakal.  Ibunya tentu mendambakan agar buah hatinya menjadi anak yang baik kini dan nanti. Karena itu, ia rela mengorbankan segalanya demi anaknya. Berikut kisahnya.

“Saya ingin berbagi pengalaman pribadi saya dan menggambarkan bagaimana seorang ibu dengan kesabaran dan cinta tanpa batasnya berusaha mengubah anaknya yang nakal menjadi pribadi yang lebih baik”, demikian ungkap Tri Ampera mengawali ceritanya kepada Okebajo.com.

Mahasiswa bernama lengkap Yosep Dayaputra Pejuang Ampera adalah anak kedua atau anak sulung laki-laki buah hati bapak Bernadus Barat Daya dan mama Teli Dos.

Tri kemudian membeberkan kisah kasih dan cinta orang tuanya mulai dari bangku SD hingga sekarang duduk di Perguruan Tinggi. Alur perjalanan pendidikannya yang penuh lika-liku. Tidak semulus jalan tol. Masa remajanya penuh gejolak. Orang tua benar-benar dibikin stres. Pusing tujuh keliling. Guru-gurunya juga begitu.  Album masa remajanya berkisah tentang catatan kenakalan remaja yang buram. Namun berkat sentuhan cinta dan kasih sayang orang tuanya, keluarganya dan Guru-gurunya, kini ia sadar dan berkomitmen untuk mengubah keburaman itu menjadi cahaya di suatu hari nanti.  Ia berjanji bahwa ia akan menjadi pribadi yang lebih baik.  Berbakti, Pro Ecllesia et Patria. Memperjuangkan amanat penderitaan rakyat sesuai nama yang melekat dalam dirinya Tri Ampera.

“Dulu, saya dikenal sebagai anak yang alim dan patuh. Namun, semuanya berubah ketika saya memasuki kelas V SD di salah salah satu Sekolah Dasar yang ada si kota Labuan Bajo. Saya terjerumus dalam pergaulan bebas. Sering bolos sekolah dan melakukan hal-hal yang tidak pantas”, kenang Tri Ampera membuka kisah nyata ini.

Dipindahkan ke Kampung

Dampak dari sikap dan perilaku buruknya itu, orang tuanya mendatangi pimpinan sekolah dan meminta agar anaknya dipindahkan ke sekolah yang ada di kampung bapaknya, yakni kampung Rangat, Desa Wae Lolos, Kecamatan Sano Nggoang. Tri pindah sekolah di SDN Rangat.

“Akibat perilaku buruk, saya dipindahkan ke kampung bapak saya di Rangat”, ujarnya.

Di kampung Rangat, ia terpaksa beradaptasi  dari awal dengan lingkungan baru. Di sana ia mengalami sejuta suka duka kehidupan di Kampung.  Kendati demikian, Tri mengaku bahwa justru tinggal di kampung itulah ia mulai belajar banyak hal tentang hidup di desa dan bagaimana menjadi pribadi yang mandiri.

“Meskipun hidup di desa memiliki pahitnya, saya mulai menyadari betapa berharganya pengorbanan yang dilakukan orang tua untuk saya”, kenang Tri.

Penuh tantangan

Setelah tamat SD, Tri kembali ke kota Labuan Bajo. Ia masuk sekolah SMP di sana dan bertemu kembali dengan keluarga dan teman-teman sebayanya.  Saat itulah ia kembali berulah. Perilaku buruknya kambuh ketika bergabung dengan teman-temannya.

“Kehidupan malam yang gelap di kota Labuan Bajo kembali menghampiri saya. Saya terjerumus dalam kehidupan yang tidak sehat dan dianggap nakal oleh orang-orang di sekitar saya. Meskipun tahu bahwa ibu saya sangat khawatir dan pusing mengurus saya, saya terus melanjutkan perilaku buruk tersebut”, tutur Tri mengakui dirinya.

Karena kenakakannya, ibunya terus  berjuang dan memindahkan Tri ke SMP Negeri 1 Komodo Labuan Bajo.  Ia dipindahkan ke sekolah itu dengan harapan semoga ia bisa  berubah.

Sayang, harapan orang tuanya meleset jauh. Tri justru semakin nakal ketika ia ada di sekolah itu.

“Saya dipindahkan ke SMP Negeri 1 Komodo. Di sekolah ini saya bergabung dengan teman-teman saya yang juga nakal seperti saya. Namun, semakin banyak kenakalan yang saya lakukan,  mama saya semakin pusing mengurus saya”, ungkapnya.

Pindah ke SMPN 2 Mbeliling

Lantaran itu, Tri “dikirim” lagi  untuk kedua kalinya ke Kampung. Ibunya berjuang tanpa lelah. Tabah dan sabar. Ibunya memindahkan Tri ke SMP Negeri 2 Mbeliing di Roe, Desa Cunca Lolos, Kecamatan Mbeliling.

“Mama terus berjuang tanpa lelah. saya dipindahkan kembali ke Desa. Saya tinggal bersama kakak Robert Perkasa yang istrinya seorang Guru SMPN 2 Mbeliling.  Di sana, saya dididik oleh mereka dan mendapatkan pelatihan untuk menjadi mandiri dan menjauhkan diri dari pergaulan yang buruk. Namun dasar Tri nakal. Kakak saya itu juga kebingungan, namun mereka tidak putus asa sama seperti mama saya. Meskipun banyak upaya yang telah mereka lakukan, baik oleh mama maupun kakak, saya belum juga berubah”, ungkapnya.

Guru sakti dan peduli

Di sekolah yang berjudul “Laskar Puncak”, itu prilaku buruknya memang tidak seratus persen sirnah. Tetapi Tri mengaku ada mukjizat yang menghampirinya melalui kesaktian Guru SMPN 2 Mbeliling yang tidak pernah bosan mendidiknya dengan gaya dan trik yang sakti. Kendati ia lulus ujian akhir di sekolah itu, tetapi ia juga mengaku bahwa catatan tentang keburukannya menumpuk di sana. Sering bolos. Tidak pergi sekolah. Absen saat ujian dan tidak menghargai upaya orang tuanya yang telah bekerja keras untuk mendukung pendidikannya.

“Mama saya bahkan rela bolak-balik demi jenguk saya di sekolah”, ujarnya.

Tri juga mengisahkan tentang seorang Guru hebat di SMPN 2 Mbeliling yang sangat peduli dan cerdas menghadapi muridnya yang amat nakal. Ia enggan menyebut nama Guru yang dimaksudkannya.  Ia hanya menegaskan bahwa Gurunya itu hebat, sakti, cerdas dan sangat perhatian padanya. Berkat “kesaktian” Guru itulah Tri pelan pelan sadar dan insaf. Bahwa keringat dan perjuangan orang tuanya yang tanpa lelah itu memang demi masa depan anaknya.

“Ada satu Guru  di SMPN 2 Mbeliling yang sangat peduli dengan saya. Dia sangat cerewet dan sering memberikan ceramah agar saya menjadi lebih baik. Dia mengingatkan saya tentang betapa beratnya perjuangan mama saya untuk mengurus saya. Ceramahnya membuat saya sadar akan kesalahan saya”, beber Tri tentang kesaktian Gurunya itu.

“Dia Guru yang sungguh luar biasa. Dia rela datang ke rumah kakak saya hanya untuk mengajak saya mengikuti ujian. Saya sangat terharu dengan kebaikan hatinya. Dalam hati, saya bahkan berjanji pada diri sendiri bahwa suatu hari nanti saya akan membalas kebaikan guru tersebut”, ungkap Tri seraya berlinang air mata.

Singkat cerita. Tri akhirnya berhasil lulus ujian di SMPN 2 Mbeliling. Setelah tamat SMP, ia kemudian  melanjutkan pendidikan ke SMA. Meski begitu, kebiasaan buruknya masih melekat erat pada dirinya.  Belum hilang total.

Merantau ke Jakarta

Karena itu, orang tuanya mengajak Tri untuk merantau ke pulau Jawa, persisnya di Jakarta. Di Jajarta, Tri masuk sekolah di SMK Pusaka 1 Nusantara.

“Saya merantau jauh ke Jakarta. Jauh dari keluarga saya.  Di Jakarta, saya masuk Dekolah Mengenah Kejuruan di SMK Pusaka 1 Nusantara”, kenangnya.

Namun Tri mengaku bahwa kehidupan di Jakarta tidak membuatnya berubah.

“Saya tidak betah di Jakarta. Saya kembali lagi ke Labuan Bajo”, tandasnya.

Tiba di kota Labuan Bajo, Tri  melanjutkan sekolahnya di salah SMA di Labuan Bajo. Tamat SMA, Tri istirahat satu tahun sebelum melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, yakni di sebuah Universitas yang ada di kota Yogyakarta.

Yogyakarta jadi saksi
Di kota Yogyakarta itulah, Tri berjanji dan berkomitmen untuk mengakhiri petualangan remajanya. Menyadari segala kebiasaan buruknya  saat SD, SMP dan SMA. Dia menyatakan insan dan sadar bahwa kisah kasih dan semua perjuangan orang tuanya memang demi untuk dirinya.

“Di kota inilah saya mulai menyadari bahwa segala keburukan saya saat masa remaja harus berakhir sampai di sini. Saya ingin meng-upgrade diri saya menjadi pribadi yang lebih baik. Saya berjanji pada Bapa, Mama, keluarga, dan semua orang yang telah mendukung saya bahwa saya akan menyelesaikan pendidikan saya. Saya akan kembali dengan membawa ijasah S1 saya sebagai bukti bahwa semua pengorbanan mereka tidak sia-sia. Saya berkomitmen untuk menjalankan studi saya dengan sungguh-sungguh dan menggapai cita-cita saya dan harapan mereka.
Sekarang, saya telah berubah dan tidak lagi menjadi Tri yang dulu. Saya menyadari pentingnya pendidikan dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Saya berterima kasih kepada Bapa, Mama, dan semua orang yang telah memberikan dukungan dan cinta kepada saya”, tandasnya.

Tri berharap semoga kisah Nyata tentang perjalanan pendidikannya ini dapat menginspirasi pembaca untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai upaya orang tua serta guru-guru yang telah berjuang untuk pendidikan kita.

“Salam hangat dari anakmu, Bunda Teli dan Bapa Dus.Terimakasih”, tutup Tri Ampera. * (Robert Perkasa)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *