Persidangan Sengketa Tanah Keranga, Saksi Sebut Haji Ramang Fungsionaris Adat Nggorang Tidak Berhak lagi Menata Tanah Ulayat

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com– Persidangan sengketa tanah seluas 11 hektar di Keranga, Labuan Bajo, menghadirkan fakta-fakta mengejutkan. Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada Rabu, 12 Juni 2024, memunculkan kesaksian penting dari saksi-saksi pihak penggugat, yaitu keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta, yang bersengketa dengan keluarga Niko Naput.

Kuasa hukum ahli waris Ibrahim Hanta, DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., Kamis, (13/6/2024) pagi kepada media ini menjelaskan bahwa agenda persidangan kemarin itu berfokus pada pembuktian melalui kesaksian penting dari saksi Bapak Yohanes Pasir dan Wihelmus Warung terkait adanya surat penyerahan tanah adat pada tanggal 10 Maret 1990 dan surat penyerahan tanah adat pada 21 Oktober 1991 yang dimana surat penyerahan tanah adat tersebut telah dibatalkan pada 17 Januari 1998.

Selain itu kata Indra bahwa bukti lain dalam persidangan tersebut bahwa para saksi pihak penggugat menyebut nama Haji Ramang tidak lagi berhak untuk menata tanah ulayat. Hal itu terkuat dengan munculnya dokumen yang salinanya diperoleh media ini terkait surat pernyataan tentang kedaulatan Fungsionaris adat Nggorang atas tanah adat ulayat Nggorang di wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.

Ada 4 point penting yang tertuang dalam surat itu. Point’ pertama disebutkan hak atas tanah sekitar 3.000 ha yang telah diserahkan kepada banyak pihak termasuk di dalamnya pemerintah daerah. Point Kedua disebutkan bahwa sejak otoritas Fungsionaris Adat menyerahkan tanah kepada para pihak, Fungsionaris Adat tidak lagi memiliki kewenangan atas tanah-tanah itu. Point ketiga menyatakan bahwa setiap pihak yang telah memeroleh tanah tersebut dengan tata cara budaya Manggarai “kapu manuk-lele tuak” telah sah menjadi pemilik. Point keempat menyatakan bahwa siapa saja yang ingin memanfaatkan tanah tersebut langsung berurusan dengan pemiliknya.

Dokumen itu ditandatangani oleh Fungsionaris Adat atas nama Haji Umar H. Ishaka, Haji Ramang H. Ishaka dan Muhammad Syair. Pihak yang juga menandatangani dokumen itu selaku saksi antara lain: Haji Muhammad Syahip, Antonius Hantam, Haji Muhammad Abubakar Djudje, Abubakar Sidik, Theo Urus, Muhammad Sidik, Fransiskus Ndejeng, Muhammad H. Ishaka Bakar.

Informasi yang dihimpun media ini bahwa fungsionaris adat Nggorang sebelumnya adalah Kraeng Dalu Haji Ishaka namun Ia telah meninggal, lalu ada 3 orang yang menjadi penerus Fungsionaris Adat Nggorang yaitu Haji Umar H. Ishaka, Haji Ramang H. Ishaka dan Muhamad Syair. Namun berjalanya waktu karena banyaknya kegaduhan persoalan tanah di Labuan Bajo yang menggugah mereka (penerus fungsionaris adat Nggorang,red) untuk mengeluarkan satu dokumen tertulis pada tanggal 1 Maret 2013 tersebut.

Di persidangan kemarin kata Indra, bahwa para saksi juga membawa bukti dokumen surat pembatalan tahun 1998 tersebut.

“Sehingga ini juga menjadi salah satu alat bukti dalam persidangan selanjutnya. Dan memang ini terbukti bahwa 2 SHM yang diterbitkan BPN Manggarai Barat tahun 2017 atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus G. Naput jelas-jelas surat alas haknya telah dibatalkan pada tahun 1998 oleh Haji Ishaka,” tegas Indra

Selanjutnya, kesaksian Yohanes juga mencakup prosedur administratif yang harus dilakukan di BPN (Badan Pertanahan Nasional).

Indra menjelaskan bahwa untuk mengajukan penerbitan sertifikat tanah, surat Warkah asli harus dibawa, sementara hanya KTP pemohon yang difotokopi. Namun, upaya untuk menghadirkan surat Warkah asli dalam persidangan ditentang oleh pihak BPN, yang seharusnya bersikap netral. Kecurigaan timbul bahwa BPN mungkin berpihak pada salah satu pihak yang bersengketa.

“Yohanes Pasir menyebutkan bahwa setiap pengajuan tanah ulayat berdasarkan istilah “kapu manuk lele tuak” itu secara lisan. Namun karena di BPN itu, ketika melakukan pengajuan maka secara adminstratif harus ada dokumen surat secara tertulis. Lalu yang berhak untuk mengeluarkan surat Warkah secara tertulis saat itu adalah Haji Ishaka dan juga orang yang sudah mendapatkan surat kuasa dari Haji Ishaka terkait untuk menata dan juga memberikan pernyataan perolehan hak namun bukan untuk membagi tanah. Sehingga ketika ke BPN itu kita harus membawakan surat Warkah asli dan yang di foto kopi hanya KTP pemohon saja untuk penerbitan SHM” jelas Indra

Lebih lanjut Indra menuturkan bahwa saksi pertama (Yohanes Pasir) sudah mengajukan agar menghadirkan Warkah asli untuk ditujukan kepada saksi saat persidangan namun anehnya saat itu ditentang oleh BPN.

“Seharusnya BPN yang juga turut tergugat itu tidak ada kepentingan hukum namun hanya untuk memperjelas terkait status obyek sengketa tanah ini. Dengan situasi seperti ini Kami ada kecurigaan bahwa BPN diduga memihak ke salah satu pihak yang bersengketa. Seharusnya BPN itu netral dan tidak boleh memihak ke salah satu pihak,” ujarnya

Indra menjelaskan, saksi Yohanes Pasir pada tahun 1999 juga pernah bertemu langsung dengan Haji Ishaka dan saat itu Haji Ishaka cerita dan menunjukan bukti surat tentang pembatalan tahun 1998 karena di Kerangan terjadi tumpang tindih dengan tanah pemda dan tanah warga.

Lebih lanjut Indra menjelaskan bahwa saksi kedua, Wilhelmus Warung mempertegas pernyataan Yohanes. Saksi Wihelmus dalam persidangan kemarin menjelaskan bahwa pada tahun 2000, ia juga bertemu langsung dengan Haji Ishaka untuk meminta tanah, tetapi saat itu ditolak karena tanah tersebut sudah ada kepemilikannya sejak tahun 1973 oleh alm. Ibrahim Hanta. Wihelmus juga menegaskan bahwa pembatalan surat penyerahan tanah adat atas objek sengketa seluas 16 hektar tersebut memang benar terjadi.

“Kami jelaskan bahwa pak Wihelmus ini pada tahun 2000 sudah pernah bertemu langsung dengan Haji Ishaka untuk meminta tanah. Namun saat itu Haji Ishaka tidak bisa memberikan tanah yang Ia minta karena di lokasi tersebut sudah ada pemiliknya dan diserahkan secara lisan berdasarkan kapu manuk lele tuak pada tahun 1973. Sehingga saat itu Haji Ishaka menyarakan untuk berkordinasi dengan Haji Adam Djuje selaku penerima kuasa dari Haji Ishaka untuk menata. Nah oleh karena itu saksi kami pak Wihelmus ini menerangkan bahwa tanah di obyek sengketa ini sudah penuh dan sudah ada pemiliknya yaitu atas nama Ibrahim Hanta.

Sehingga yang bersangkutan diberikan tanah di luar obyek sengketa. Kemudian saksi pa Wihelmus ini menjelaskan terkait fakta bahwa dia mengetahui langsung dari Haji Ishaka terkait adanya pembatalan surat penyerahan tanah adat pada obyek yang
bersengketa seluas 11 hektare milik ahli waris alm. Ibrahim Hanta. Jadi keterangan dari saksi pertama ini dipertegas kembali oleh saksi kedua bahwa benar tanah yang sudah di SHM tahun 2017 lalu itu ada pembatalan alas haknya,” beber Indra

Ketika dikonfirmasi oleh media ini, Kamis, 13/6/2024 sore, Haji Ramang menolak memberikan keterangan lebih lanjut. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak bersedia diwawancarai atau menjadi saksi dalam kasus ini.

“Jadi gini, dalam masalah tersebut, saya tidak bersedia untuk diwawancara. Kalau mau mendapatkan informasi itu, silahkan langsung tanyakan ke pihak bersangkutan,” Ujar Hj. Ramang

“Terkait ada pihak yang menyebutkan nama saya dalam persidangan itu hak mereka lah. Tetapi saya tidak mau untuk memberikan informasi terkait masalah itu. Jangan sampai nanti ada informasi yang tidak sesuai kehendak mereka saya nanti menjadi orang yang mau disalahkan. Saya tidak mau seperti itu,” tutupnya

Sementara itu Surion Florianus Adu, yang akrab disapa Feri Adu, salah satu masyarakat ulayat Kedaluan Nggorang, Labuan Bajo, Manggarai Barat, dengan tegas mewanti-wanti fungsionaris adat Nggorang untuk bersikap netral pada kasus sengketa tanah keranga ini.

Feri menuturkan bahwa di tengah berlangsungnya konflik kepemilikan lahan antara ahli waris keluarga Niko Naput dan ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, baik di ranah perdata maupun pidana, anak dan cucu Dalu Nggorang Ishaka serta Wakil Dalu Haku Mustafa diimbau untuk tetap bersikap netral. Mereka diharapkan tidak menerbitkan surat pengukuhan atau dokumen serupa yang dapat menimbulkan kesan keberpihakan dalam sengketa ini.

“Mengingat konflik ini sangat terkait dengan sejarah kepemilikan lahan yang terjadi pada saat orang-orang dan para penata yang dimandatkan masih hidup, kebenaran seluruh dokumen serta fakta-fakta penguasaan lahan oleh para pihak yang bersengketa akan diuji di persidangan,” tegas Feri Adu.

Ia berharap agar anak dan cucu dari Dalu dan Wakil Dalu, selaku fungsionaris adat Nggorang, tidak menjadi bagian dari salah satu pihak yang bersengketa.

“Harapan saya ya, sebaiknya, mereka harus membiarkan seluruh kebenaran serta fakta-fakta terungkap dalam persidangan,” imbuhnya

Feri juga mengingatkan tentang pernyataan kedaulatan Fungsionaris Adat tanah ulayat Nggorang di wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT pada tanggal 1 Maret 2013.

“Dalam pernyataan tersebut disebutkan bahwa “Tanah adat ulayat Nggorang yang sudah dibagi dan diserahkan kepada penerima, sejak terjadinya penyerahan tanah adat secara ‘kapu manuk lele tuak’, tidak lagi menjadi hak fungsionaris ulayat.” Jadi Konsistensi terhadap pernyataan ini harus dijaga agar seluruh sengketa yang terjadi bisa dibuktikan dalam persidangan,” ujarnya

Feri Adu, sebagai warga kelahiran Labuan Bajo dan anggota masyarakat Kedaluan Nggorang berharap agar semua pihak tetap menjaga netralitas dan keadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah ini.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *