Labuan Bajo, Okebajo.com – Sengkarut sengketa tanah seluas 11 hektar di Keranga, Labuan Bajo, kini menyeret Polres Manggarai Barat ke dalam sorotan dari keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta. Pasalnya, Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI dalam surat tertanggal 23 Agustus 2024 Nomor : R-860/D.4/Dek.4/08/2024 yang diterima ahli waris Ibrahim Hanta secara tegas menyatakan bahwa dokumen alas hak tertanggal 10 Maret 1990 yang digunakan pihak tergugat adalah palsu.
Naasnya, penyidik Polres Manggarai Barat justru melanjutkan penyelidikan hingga naik ke tahap penyidikan berdasarkan laporan pidana Muhamad Syair dengan nomor LP/B/148/X/2024/SPKT/POLRES MANGGARAI BARAT yang dilayangkan pada 3 Oktober 2024 lalu. LP tersebut menuding ahli waris Ibrahim Hanta, Muhamad Rudini, menggunakan dokumen palsu dalam sidang pada 14 Agustus 2024.
Pihak keluarga Ibrahim Hanta mengungkapkan adanya dokumen tertanggal 10 Maret 1990, yang diduga palsu, digunakan oleh pihak Niko Naput untuk membuat lima Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anak-anak Nikolaus Naput.
“Mereka harus menjelaskan secara tegas kepada publik Manggarai Barat, mengapa dokumen palsu 10 Maret 1990 itu bisa mereka gunakan untuk membuat lima SHM atas nama anak-anak Niko Naput. Siapa orang kuat di belakangnya? Siapa yang bermain?” ungkap Mikael Mensen, salah satu anggota keluarga besar Ibrahim Hanta, Senin, (9/12/3024)
Pernyataan ini diperkuat oleh temuan Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI. Dalam surat tertanggal 23 Agustus 2024 yang dikirimkan kepada ahli waris, Bupati Manggarai Barat, dan BPN Manggarai Barat, Satgas secara tegas menyatakan bahwa dokumen tersebut palsu. Penyelidikan dilakukan secara menyeluruh, memeriksa 32 pihak, termasuk lurah, camat, BPN Manggarai Barat, dan sejumlah pejabat terkait lainnya.
“Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI sudah tegas setelah memeriksa semua pihak. Lalu, kenapa dokumen palsu itu tetap bisa digunakan untuk mengeluarkan lima SHM? Ada skenario besar di sini, dan publik berhak tahu siapa yang bermain di balik ini,” tegas Mikael Mensen.
“Para pendekar dengan jurus mabuk ini seharusnya bersurat dulu ke Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI. Itu baru jempol! Karena yang pertama kali menyatakan dokumen alas hak tanah tertanggal 10 Maret 1990 ini palsu adalah Satgas Mafia Tanah. Kenapa penyidik tidak mulai dari situ?” lanjut Mikael Mensen.
Laporan Pidana yang Diduga Sarat Kepentingan
Di tengah sengkarut ini, laporan pidana yang dilayangkan Muhamad Syair pada 3 Oktober 2024 menuduh Muhamad Rudini, ahli waris Ibrahim Hanta, menggunakan dokumen palsu dalam sidang 14 Agustus 2024. Namun, laporan ini menuai tanda tanya besar.
“Sidang saat itu hanya dihadiri oleh para pihak resmi, dan tidak ada orang bernama Muhamad Syair. Dokumen hanya bisa diakses oleh pengacara dari pihak tergugat, bukan oleh pihak luar,” jelas Jon Kadis, anggota tim kuasa hukum ahli waris.
Muhamad Rudini mencurigai laporan ini hanyalah taktik untuk melemahkan posisi ahli waris dalam konflik tanah tersebut.
“Ini bagian dari upaya sistematis untuk menyudutkan kami. Jika aparat bekerja profesional, kasus ini sudah terang benderang sejak awal,” ujarnya.
Tim kuasa hukum ahli waris Ibrahim Hanta berharap agar Polres Manggarai Barat mengambil langkah bijaksana dengan menggali informasi resmi dari Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI.
“Alangkah bijaksana dan sportifnya bila Kasat Reskrim, Kanit Pidum, dan penyidik di Polres Manggarai Barat bersurat resmi ke Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI. Sudahkah mereka bersurat? Beranikah Pak Kasat atau Pak Kanit meminta klarifikasi resmi? Karena Satgas ini sudah memeriksa 32 saksi terkait konflik tanah Kerangan ini sejak 2017 hingga 2024. Semua sudah jelas: mana dokumen asli dan mana yang palsu,” ujar Jon Kadis.
Menurutnya, hasil pemeriksaan Satgas tersebut sudah memaparkan dengan jelas hasil penyelidikan mereka, termasuk pernyataan dari lurah, camat, staf BPN Manggarai Barat, dan pejabat terkait lainnya.
“Tidak ada lagi alasan untuk mengabaikan temuan Satgas. Ini adalah bukti kuat yang seharusnya menjadi landasan utama,” tambahnya.
Jon Kadis juga mempertanyakan keberadaan dan otoritas Muhamad Syair dalam laporan tersebut.
“Muhamad Syair ini siapa? SK-nya mana? Beranikah dia lapor ke Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung? Seharusnya penyidik bersurat dulu ke Satgas, karena mereka sudah mengeluarkan surat resmi pada 23 Agustus 2024, jauh sebelum ada putusan PN Labuan Bajo. Surat itu sudah sangat jelas setelah memeriksa 32 saksi, termasuk lurah, camat, dan BPN Manggarai Barat,” tegas Jon Kadis.
Sementara itu, Muhamad Rudini juga menyoroti dugaan ketidakprofesionalan Polres Manggarai Barat dalam menangani laporan ini.
“Saya merasa ada tekanan dalam proses pemeriksaan. Karena itu, saya sudah melaporkan dugaan ketidakprofesionalan aparat ke Propam Mabes Polri,” tegasnya.
Keluarga ahli waris Ibrahim Hanta berharap kasus ini dapat menjadi momen bagi tegaknya keadilan di Labuan Bajo. Mereka mendesak aparat hukum untuk bertindak profesional dan mengedepankan hukum tanpa keberpihakan.
“Jika aparat benar-benar bekerja untuk kebenaran, manipulasi ini bisa diungkap. Kami hanya meminta satu hal: hukum menjadi panglima, tanpa intervensi atau permainan dari pihak manapun,” tutup Mikael Mensen.
Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat, AKP Lufthi Darmawan Aditya, S.T.K., S.I.K., M.H. dalam.leterangan pers yang diterima media ini pada 2/12/2024 menegaskan pihaknya netral dan berdiri di atas semua golongan ketika menangani atau menghadapi permasalahan konflik sosial yang terjadi di masyarakat.
“Setiap laporan kasus yang masuk akan diproses sesuai dengan prosedur yang berlaku. Semua orang sama dimata hukum, dan kami selalu mengedepankan asas presumption of innocence dalam setiap penanganan perkara,” kata Kasat Reskrim pada Senin (02/12/2024) siang.
Dia pun menepis tudingan miring bahwa pihaknya lambat dalam menangani laporan soal dugaan pemalsuan dokumen dan penipuan terkait sengketa lahan 11 hektare yang berlokasi di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat.
Dimana, kasus tersebut dilaporkan oleh empat orang pelapor. Pihak pelapornya adalah Muhamad Rudini, Suwandi Ibrahim, Mikael Mansen dan Stefanus Herson.
Menurutnya, penanganan empat laporan polisi kasus dugaan pemalsuan dan penipuan ini, ditangani secara profesional dan sesuai prosedur hukum.
“Kami punya mekanisme yang harus diikuti. Kami pastikan bahwa, penanganan kasus ini dilakukan secara profesional dan sesuai dengan fakta hukum. Kami selalu mengedepankan asas praduga tak bersalah dalam penanganannya,” ungkapnya.
AKP Lufthi menjelaskan, Satuan Reserse Kriminal Polres Manggarai Barat belum bisa menaikkan status laporan dari para pelapor, ke tingkat penyidikan.
“Alasannya, untuk naik ke tahap penyidikan, penyidik membutuhkan dua alat bukti yang cukup. Sampai saat ini belum ditemukan alat bukti dan barang bukti yang cukup untuk menerangkan dugaan perbuatan pidana seperti yang ada dalam laporan polisi tersebut,” ujar Alumni Akpol angkatan 2015 itu.
Meski demikian, lanjutnya, bukan berarti tindak lanjut atas laporan tersebut tidak berjalan ataupun berakhir. Penyelidikan masih terus dilakukan meski butuh waktu lebih lama. Polisi masih berupaya mencari alat bukti dan barang bukti tersebut.
Selama penyelidikan, polisi telah meminta keterangan sejumlah pihak terkait yang diajukan para pelapor maupun yang ditemukan dalam fakta penyelidikan.
“Mana kala nanti ditemukan alat bukti dan barang bukti yang bisa dipakai, maka mungkin kasus ini bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan,” ucapnya.
Ditambahkannya, ia meminta kepada para pelapor agar tidak membuat opini publik atau mengarang narasi yang terindikasi menyesatkan, dengan cara mengatakan dalam kasus tanah Keranga diduga adanya konspirasi jahat yang melibatkan oknum anggota Polri.
“Pernyataan yang disampaikan para pelapor tidak cermat dan tidak sesuai fakta alias berita bohong (Hoax),” sebut Kasat Reskrim.
“Kami minta agar para pelapor tidak membuat spekulasi yang bisa menggiring opini publik untuk menyudutkan institusi Polri. Kami harapkan bisa lebih lebih cerdas dalam memberikan informasi dalam pemberitaan,” sambungnya.**