Labuan bajo, Okebajo.com – Kasus sengketa tanah di Karangan, Labuan Bajo, terus bergulir. Tim kuasa hukum ahli waris Ibrahim Hanta, DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H dan Jon Kadis, SH, menyebut bahwa pernyataan dari Ika Yunita selaku Sekertaris pribadi Kadiman Santosa yang merupakan perwakilan dari PT. Mahanaim Group dan juga keluarga Nikolaus Naput dinilai penuh manipulasi.
DR. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H menegaskan bahwa di balik klaim sebagai pembeli beritikad baik, fakta-fakta hukum justru mengungkap dugaan praktik mafia tanah yang melibatkan mereka.
Pernyataan Ika Yunita yang mengaku sebagai pembeli dan investor beritikad baik yang diberitakan beberapa media online beberapa waktu lalu itu dianggap sebagai upaya manipulatif untuk mengalihkan perhatian publik. Dengan tegas Ia membantah klaim ini.
“Jika benar mereka beritikad baik, kenapa tidak memeriksa keabsahan dokumen sebelum membeli? Menggunakan dokumen palsu dan melanjutkan transaksi meski tahu ada sengketa menunjukkan bahwa mereka bukan pembeli yang jujur, melainkan bagian dari skenario besar untuk merebut tanah secara ilegal,” tegasnya
Selain itu, klaim Ika Yunita yang menyebut dirinya sebagai korban justru menjadi bahan pertanyaan. Fakta menunjukkan bahwa pihak keluarga Naput dan Mahanaim Group menggunakan berbagai cara, termasuk manipulasi dokumen dan rekayasa fakta, untuk menguasai tanah secara ilegal.
“Mereka mencoba memainkan peran sebagai korban, padahal semua bukti mengarah pada keterlibatan mereka dalam praktik mafia tanah. Ini adalah bentuk nyata penyerobotan hak atas tanah yang harus ditindak tegas,” tambah Jon Kadis.
Ia menyebut bahwa salah satu inti masalah dalam sengketa ini adalah dokumen perolehan tanah adat tertanggal 10 Maret 1990 yang digunakan sebagai dasar penerbitan lima Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama keluarga Naput. Berdasarkan hasil investigasi Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung), dokumen ini dinyatakan cacat administrasi dan yuridis.
“Akar permasalahan sengketa tanah ini bermula dari dokumen perolehan tanah adat tertanggal 10 Maret 1990 seluas 16 hektar, yang menjadi dasar penerbitan lima Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama keluarga Nikolaus Naput,” jelas Jon
Jon mengungkapkan bahwa jika pihak Mahanaim Group, Hotel St. Regis, Ika Yunita, dan Santosa Kadiman mengaku sebagai pembeli dan investor beritikad baik, maka tunjukkan dokumen asli perolehan tanah adat tanggal 10 Maret 1990.
“Dokumen ini menjadi dasar utama klaim mereka, tetapi hingga saat ini yang ditunjukkan hanya fotokopi. Keaslian dokumen ini harus dibuktikan terlebih dahulu sebelum membahas hal lainnya. Ya kalaupun ada aslinya juga namun lokasi tanahnya bukan berada di lokasi 11 hektar milik ahli waris Ibrahim Hanta karena hasil temuan Satgas Mafia Tanah Kejagung itu SHM-SHM yang diterbitkan oleh BPN Manggarai Barat salah ploting,” tegas Jon Kadis.
Hasil Pemeriksaan Kejagung
Tim kuasa hukum juga menyoroti hasil pemeriksaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) yang menyatakan bahwa kelima SHM tersebut cacat administrasi, cacat yuridis, dan tidak memiliki alas hak yang sah.
“Temuan Kejagung sudah sangat jelas. Dokumen tanggal 10 Maret 1990 dinyatakan sebagai dokumen yang tidak benar, sehingga penerbitan lima SHM atas dasar dokumen tersebut juga tidak sah. Kejagung bahkan telah memeriksa pihak-pihak terkait, termasuk Santosa Kadiman dan Paulus Naput. Anehnya, pihak-pihak ini justru mencoba membantah temuan ini dan mengabaikan fakta hukum,” ujar Jon Kadis.
Ia juga menekankan bahwa ahli waris Ibrahim Hanta tidak pernah menjual tanah tersebut, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada siapapun, termasuk Muhamad Rudini, Nadi Ibrahim, Ibrahim Abraham Hantan, atau Suwandi Ibrahim.
Jon Kadis mempertanyakan mengapa pihak pembeli, seperti Hotel St. Regis, Ika Yunita, dan Santosa Kadiman, tidak pernah melaporkan keluarga NN sebagai penjual jika memang ada keraguan terhadap keabsahan dokumen tanah.
“Jika mereka benar-benar beritikad baik, mengapa tidak melaporkan penjual yang memberikan dokumen yang tidak jelas? Ini justru mengindikasikan adanya kesengkongkolan sejak awal untuk menguasai tanah yang bukan milik mereka,” kata Jon Kadis.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo, Jon Kadis menyoroti poin keempat yang menyatakan bahwa ada salah ploting dan salah lokasi pada kelima SHM keluarga NN.
“Putusan ini semakin memperjelas bahwa dokumen SHM tersebut tidak sah, karena didasarkan pada surat perolehan tanah adat yang cacat hukum. Bahkan hasil pemeriksaan Kejagung menunjukkan bahwa dokumen tersebut adalah dokumen yang diduga palsu. Oleh sebab itu, kelima SHM itu dinyatakan tidak sah secara hukum,” ungkapnya.
Jon Kadis menegaskan bahwa penyelesaian kasus ini tidak bisa dilakukan dengan mengalihkan isu atau memutarbalikkan fakta. Fokus harus kembali pada dokumen perolehan tanah adat tanggal 10 Maret 1990.
“Jika pihak keluarga Niko Naput, Mahanaim Group, Hotel St. Regis, Santosa Kadiman atau Ika Yunita benar-benar ingin menyelesaikan masalah ini secara sportif dan jujur, tunjukkan dokumen asli perolehan tanah adat tersebut. Jangan hanya berbicara tentang pembatalan atau mengalihkan isu ke hal lain. Inti permasalahannya adalah dokumen ini. Keaslian dokumen ini adalah kunci utama,” pungkasnya.
Ahli waris Ibrahim Hanta menyerukan kepada aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap praktik mafia tanah yang melibatkan Mahanaim Group dan keluarga Naput.
“Ini bukan hanya soal tanah, tetapi soal keadilan bagi masyarakat Labuan Bajo yang sering menjadi korban praktik mafia tanah. Penegakan hukum harus menjadi prioritas untuk mengungkap siapa dalang sebenarnya di balik kasus ini,” tutup Jon Kadis.
Dugaan keterlibatan Santosa Kadiman dalam Jaringan Mafia Tanah
Nama Santosa Kadiman, Direktur Utama PT Bumi Indah International sekaligus pemilik Hotel St. Regis Labuan Bajo, selalu disebut-sebut dalam sengketa tanah Keranga. Keluarga ahli waris Ibrahim Hanta menyebut Pengusaha yang beralamat di Komplek Green Ville blokV/47-48, Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat ini diduga sebagai salah satu aktor utama di balik konflik tanah Keranga, yang melibatkan keluarga ahli waris Ibrahim Hanta dan keluarga Nikolaus Naput.
Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 23 Oktober 2024 yang memenangkan keluarga ahli waris Ibrahim Hanta semakin menguatkan dugaan bahwa praktik mafia tanah di Labuan Bajo melibatkan jaringan yang terstruktur hingga kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat.
Dalam putusan tersebut, hakim menyatakan bahwa tanah seluas 11 hektar di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, sah dimiliki oleh ahli waris almarhum Ibrahim Hanta.
Hal ini mencuat setelah pihak tergugat, termasuk Kepala BPN Manggarai Barat Gatot Suyanto, anak-anak dari alm. Nikolaus, dan beberapa pihak lainnya, diduga terlibat dalam upaya mengubah Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) untuk kepentingan dari Santosa Kadiman selaku pembeli tanah yang dijual oleh Nikolaus Naput di atas tanah milik ahli waris Ibrahim Hanta.
Dr. (c) Indra Triantoro dan Jon Kadis, SH, tim penasihat hukum keluarga Ibrahim Hanta, menjelaskan bahwa putusan tersebut memperkuat keyakinan keluarga Ibrahim Hanta bahwa perubahan status SHM Nomor 05245 milik Maria Fatmawati Naput menjadi SHGB Nomor 00176 dengan luas 27.720 m² bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan bagian dari skenario yang melibatkan Santosa Kadiman dan pejabat di BPN Manggarai Barat.
Tak hanya itu, selama persidangan dari awal hingga adanya putusan PN Labuan Bajo, sejumlah bukti dan fakta terungkap yang menunjukkan adanya indikasi kuat praktik mafia tanah di balik peralihan status tanah milik keluarga Hanta.
Jon Kadis menjelaskan bahwa dugaan keterlibatan jaringan mafia tanah ini semakin kuat setelah ditemukan bahwa permohonan perubahan status tanah pada September 2023 di BPN Manggarai Barat ditandatangani oleh Ika Yunita, sekretaris pribadi Santosa Kadiman (pemilik Hotel St. Regis dan pembeli lahan dari keluarga Nikolaus Naput).
Hal ini mencurigakan mengingat keluarga ahli waris alm. Ibrahim Hanta telah mengajukan pemblokiran status tanah pada 29 September 2022, dengan harapan status tanah tidak dimanipulasi selama proses sengketa berlangsung.
Selain itu, tansaksi tanah seluas 40 hektar antara Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman diduga menggunakan dokumen yang cacat hukum. Bahkan, sebagian dari tanah tersebut diduga merupakan tanah milik Pemda Manggarai Barat dan 11 hektar milik ahli waris Ibrahim Hanta.
Menurut Jon, akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat pada 2014 menggunakan dokumen warkah adat yang telah dibatalkan pada 1998. Hal ini membuka peluang jeratan hukum berdasarkan Pasal 263 dan 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan keterangan palsu.
Beberapa temuan penting yang menjadi dasar gugatan ahli waris Ibrahim Hanta adalah:
Pada 31 Januari 2017, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat menerbitkan sertifikat atas nama anak-anak Nikolaus Naput di atas tanah sengketa menggunakan dokumen alas hak palsu.
Selain itu, Pada 11 Maret 2019, terdapat dokumen palsu yaitu terdapat tanda tangan Ibrahim Hanta, yang telah meninggal sejak 1986, diduga dipalsukan dalam sebuah surat hibah.
Groundbreaking Hotel St. Regis
Pada 22 April 2022, Santosa Kadiman mengadakan acara groundbreaking pembangunan Hotel St. Regis di tanah sengketa tersebut. Acara ini bahkan dihadiri Gubernur NTT Viktor B. Laiskodat dan Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi, meski pihak ahli waris telah berkali-kali menyampaikan keberatan mereka.
“Kami sudah beritahu sejak 2020 bahwa tanah ini bermasalah, tetapi mereka tetap memaksakan pembangunan. Ini bukan hanya soal bisnis, tetapi mencerminkan praktik yang tidak menghormati hukum dan keadilan,” tegas Indra.
Desakan Kejaksaan Agung
Pada 23 Agustus 2024, Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui surat resmi Nomor R-860/D.4/Dek.4/08/2024 kepada Muhammad Rudini, ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, menemukan adanya indikasi cacat yuridis dan/atau administrasi dalam penerbitan SHM oleh BPN Manggarai Barat. Surat ini mendorong keluarga Hanta untuk menempuh berbagai jalur hukum, baik melalui gugatan pidana, perdata, maupun Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), guna melindungi hak kepemilikan mereka. Temuan ini menegaskan adanya praktik mafia tanah yang memanfaatkan celah administratif di BPN.
“Temuan ini menunjukkan ada hal yang tidak beres dalam pengurusan sertifikat tanah di BPN Manggarai Barat. Bahkan Satgas mafia tanah Kejaksaan Agung RI telah bersurat kepada Bupati Manggarai Barat tanggal 23 Agustus 2024 bahwa Pemda diminta untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan PT. Bumi indah International dalam melakukan kegiatan usaha sesuai dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam Persetujuan Pesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PPKPR) sehingga investasi yang dilakukan tidak terdapat perbuatan melawan hukum,”kata Jon Kadis, S.H.
Diketahui, Santosa Kadiman terlibat dengan PT Bumi Indah Internasional sebagai Direktur Utama. Perusahan tersebut adalah salah satu perusahaan yang aktif dalam proyek pembangunan hotel dan vila berbintang di beberapa destinasi pariwisata di Indonesia, termasuk di Labuan Bajo. Perusahaan ini berperan dalam upaya meningkatkan investasi pariwisata di kawasan tersebut, sejalan dengan inisiatif pemerintah untuk mengembangkan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). **