Labuan Bajo, Okebajo.com – Konflik berkepanjangan atas tanah warisan seluas 11 hektare di Keranga, Labuan Bajo, terus memanas. Para ahli waris alm. Ibrahim Hanta yang dikenal sebagai tokoh adat, pendiri Masjid Agung Labuan Bajo dan penyumbang tanah untuk Gua Maria Gereja Katolik menyatakan sumpah adat untuk mempertahankan hak mereka sampai titik darah terakhir. Sumpah itu ditegaskan di atas tanah yang mereka yakini secara sah diwariskan secara adat sejak 1973 melalui ritus “kapu manuk lele tuak“.
Lawan mereka adalah keluarga ahli waris alm. Nikolaus Naput dan Erwin Kadiman Santoso, pengusaha yang mengklaim tanah tersebut berdasarkan akta jual beli (PPJB) seluas 40 hektare dari Nikolaus Naput, kendati bukti alas hak atas tanah itu telah dinyatakan tidak sah oleh dua pengadilan.
Perlawanan ini telah berlangsung lebih dari satu dekade, dan melibatkan jalur hukum perdata, pidana, hingga laporan kepada Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI serta instansi kepolisian. Namun perjuangan belum usai, karena pihak Kadiman dan anak-anak Nikolaus Naput masih terus melakukan perlawanan hukum, bahkan setelah kekalahan mereka di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Kupang.
Kisah ini bermula dari transaksi jual beli tanah seluas 40 hektare yang dilakukan Erwin Kadiman Santoso dengan Nikolaus Naput pada Januari 2014, melalui Akta PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) yang dibuat di hadapan notaris Bily Ginta, Labuan Bajo. Namun, akta ini terbukti tak memiliki dasar hukum dan administratif yang sah. Di atas kertas, tanah itu milik Naput, namun secara nyata sebagian besar berada di atas lahan milik keluarga Ibrahim Hanta yang diperoleh secara sah secara adat sejak 1973 dengan prosesi adat spiritual yang sakral, “kapu manuk lele tuak“, dari fungsionaris ulayat Nggorang.
“Saat kami sedang menggarap lahan, tiba-tiba datang sekelompok orang tak dikenal, beberapa dari mereka saya kenal sebagai preman dari Bima dan Ruteng. Ketika saya tanya, mereka terkesan berkata dengan nada ancaman mau mengukur tanah itu. Mereka mengklaim bahwa tanah itu sudah milik Nikolaus Naput,” kenang Mikael Mensen, sesepuh keluarga ahli waris Ibrahim Hanta.
Saat itu, hadir pula Haji Ramang Ishaka anak mendiang Ishaka, Fungsionaris Adat Nggorang. Saat itu Mikael tak segan-segan menegurnya.
“Haji Ramang saat itu saya langsung tegur. Saya katakan “hei Ramang, kamu itu kan tahu bahwa tanah ini milik orang tua kita, tokoh masyarakat adat, alm.Ibrahim Hanta. Ia miliki tanah ini sejak 1973. Dan saya tahu persis, bahwa kerbau dari Bapak Ibrahim ini dulu dijual untuk turut ongkos sekolahmu. Masa’ kamu mau membagi lagi tanah ini kepada orang lain. Pergi kalian dari sini!. Setelah itu mereka pergi,” kisah Mikael.
Baca Juga : Temuan Operasi Intelijen Kejagung, BPN Mabar Terbitkan Sejumlah SHM atas Nama Anak Niko Naput Tanpa Alas Hak
Konflik ini berlanjut ke tahun 2017 saat BPN Labuan Bajo secara sepihak menerbitkan dua Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anak-anak Naput, Paulus Grant Naput dan Maria Fatmawati Naput di atas lahan 11 hektare tersebut. Ironisnya, saat ahli waris Ibrahi Hanta mengajukan pensertifikatan tanah pada 2020, mereka justru diminta BPN untuk menggugat secara perdata agar SHM bisa dibatalkan.
“Pada saat itu kondisi tanah masih tetap sedang diolah, dipagari, ada pondok, ada tanaman kelapa, jati, jambu mente,” lanjut Mikael.
Ritual Adat, Gugatan Hukum, dan Tekanan ke BPN
Catatan Okebajo.com, Tahun 2024, keluarga besar Hanta melalui cucunya, Muhamad Rudini, resmi mendaftarkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo (Perkara No. 1/2024) atas arahan Kakan BPN, Bapak Abel Asa Mau yang menjabat saat itu. Mereka juga melapor ke Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI. Selain itu, sembari menanti putusan perkara di PN, keluarga besar turunan Ibahim Hanta melakukan ritual adat menumpahkan darah hewan disertai doa di lokasi tanah 11 ha, sebagai simbol siap mempertahankan tanah warisan leluhur mereka sampai titik darah terakir dari ancaman pihak siapapun.
Namun, ketika proses hukum masih berjalan, Kepala BPN Manggarai Barat yang baru 6 bulan menjabat, Gatot Suyanto, justru memproses perubahan SHM Maria Fatmawati Naput menjadi SHGB atas permohonan pihak Hotel St. Regis. melalui Eka Yunita (Sekertaris Pribadi Erwin Kadiman Santosa). Langkah ini memicu aksi demonstrasi besar-besaran dari keluarga Hanta di Kantor BPN, meneriakkan, “BPN sarang mafia tanah! Gatot diduga kongkalingkong dengan Kadiman!”.
Temuan Kejaksaan Agung dan Kemenangan di Pengadilan
Pada 23 Agustus 2024, Satgas Mafia Tanah Kejagung mengeluarkan hasil investigasi yang menguatkan posisi keluarga Hanta: dua SHM anak Naput dinyatakan cacat yuridis, administratif, tanpa alas hak asli, salah lokasi, dan terdapat indikasi perbuatan melawan hukum. Kejagung juga menyurati BPN Manggarai Barat untuk segera meninjau ulang penerbitan SHM-SHM tersebut, serta kepada ahli waris Ibrahim Hanta diberitahukan haknya untuk ajukan gugatan perdata, pidana atau upaya hukum lainnya. Selain itu kepada Bupati Manggarai Barat diminta untuk meninjau ulang izin pembangunan Hotel St. Regis, dan hasil tinjauannya segera dilaporkan kepada Kejagung.
Baca Juga : Surat Satgas Mafia Tanah Kejagung RI Senjata Kunci dalam Putusan Kasasi Sengketa Tanah 11 Ha di Keranga
Akhirnya, pada 23 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Labuan Bajo memenangkan ahli waris Hanta, menyatakan mereka pemilik sah tanah 11 hektare, dan membatalkan seluruh klaim serta akta PPJB 40 hektare milik Kadiman-Naput.
Namun perjuangan belum selesai. Pihak Kadiman dan anak-anak Naput mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang dengan alasan mereka bahwa PN tidak berwenang dan tidak cermat menilai bukti. Tapi pada 18 Maret 2025, PT Kupang kembali menegaskan kemenangan ahli waris Hanta. Bahkan bukti tambahan berupa laporan investigasi Kejagung turut dipertimbangkan hakim.
“Sebelum putusan banding itu, 3 Februari 2025, didahului dengan sidang tambahan untuk mendengar keterangan saksi ahli di pihak Pembanding. Namun keterangan saksi ahli ini tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim PT Kupang, karena tidak ilmiah,” ungkap Dr(c) Indra Triantoro, SH, MH.
Kasasi dan Dugaan Mafia Tanah
Pada Mei 2025, harapan akan berakhirnya sengketa kembali pupus saat Kadiman dan anak-anak Naput mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
“Secara hukum, mestinya ini sudah final. Tapi kenapa masih lanjut? Adakah faktor X yang bermain?” tanya Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si., ketua tim penasihat hukum keluarga Hanta.
Baca Juga : SHM Tanah 16 Ha Anak-anak Niko Naput Diterbitkan BPN Mabar Diduga Pakai Alas Hak Tanah Palsu
Faktor X yang dimaksud, lanjutnya, adalah dugaan kejahatan mafia tanah yang melibatkan pengusaha, oknum BPN, dan fungsionaris lokal.
“Mereka menutup mata atas temuan Kejagung, lembaga tinggi negara yang justru sudah sangat jelas menyatakan SHM itu cacat dan tanpa alas hak.” kata I Wayan.
Jon Kadis, SH., anggota tim PH ahli waris IH, yang juga budayawan turunan asli fungsionaris ulayat dari suku To’e Kempo Mese, salah satu suku masyarakat adat terbesar di Kabupaten Manggarai Barat menambahkan bahwa pihaknya optimis MA akan memihak pada kebenaran.
“Jika begini, maka dampaknya adalah terbukanya ruang subur untuk pertumbuhan investasi dan kemajuan pariwisata di kawasan destinasi pariwisata super premium yang telah dicanangkan oleh Presiden RI sejak beberapa tahun lalu”, kata Jon.
Perjuangan ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade.
“Ini semua karena ulah pembeli yang tidak beritikad baik. Erwin Kadiman Santosa, broker bangun Hotel St. Regis masih terus dipertahankan. Beli tanah 40 hektare tanpa alas hak. Bahkan kami dengar ada tanah milik Pemda juga dicaplok, padahal direncanakan untuk sekolah perikanan. Kami bukan anti-investasi. Tapi jangan injak martabat dan kedaulatan kami atas tanah warisan leluhur,” ungkap Mikael Mensen.
Ia mengatakan bahwa mereka tentu 100% mendukung investasi di Labuan Bajo namun dahulukan keluhuran dan kewajaran. Tetapi jika sebaliknya kata Mikael maka itu adalah sebuah penghinaan.
“Salah satu sikap Erwin Kadiman yang melukai kedaulatan kami melalui utusannya bulan lalu, adalah penawarannya untuk membeli tanah kami dengan harga jauh dibawah nilai NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). Itu kan bentuk penghinaan. Kami pantang mundur. Bahkan jika harus kami pertaruhkan hingga darah kami yang terakhir.” tegas Mikael Mensen.
Menurut Jon Kadis, SH., sesungguhnya investasi di Labuan Bajo tidak sulit, kalau investor taat pada hukum dan pakai hati.
“Rasa-rasanya, maaf feeling saya ya, bahwa orang yang bernama Erwin Kadiman Santoso itu saya duga, sekali lagi hanya duga ya, ia hanya broker, bukan pemilik Hotel berbintang St. Regis. Sebab kalau hotel sekelas internasional itu, ownersnya sangat taat hukum, hormati nilai budaya lokal, berhati mulia terhadap sesama manusia. Namanya saja Santo, artinya orang kudus, disingkat St. Regis”, kata Jon Kadis, yang pribadinya melekat dengan nilai luhur adat-budaya, yang paham bahasa latin.
Kata Santo kata Jon Kadis itu berasal dari bahasa Latin, Sanctus, artinya suci, kudus. Regis berasal dari kata Rex, Regis = Raja, Regina = Ratu. Bangsawan. St.Regis = orang suci dari kalangan bangsawan. Hotel St Regis, berarti hotel kaum bangsawan atau para raja & Ratu yang berhati mulia.
Sementara itu, Erwin Kadiman Santoso hingga saat ini tidak pernah merespon ketika dikonfirmasi wartawan. Bahkan wartawan telah berupaya menghubungi Ika Yunita selaku Sekretaris Pribadinya hal yang sama juga pesan yang dikirm via Whatsapp tidak direspon.