Opini  

Mengikat “Cinta Pengabdian” dengan “Cincin Kasih”

Catatan Perjalanan Menjadi Guru

Avatar photo

Oleh: Maria Dauth*

Sebuah Kebersyukuran…

Mengawali karir sebagai guru adalah sebuah pergulatan besar dalam hidup saya. Banyak pertimbangan terbesit di benak. Salah satunya berawal dari pertanyaan ini: “Apakah saya siap dan sanggup?”. Jelas saja, saya tidak memiliki bekal ilmu dalam bidang pendidikan. Bermodalkan keyakinan akan proses, saya beranikan diri untuk menjalani pilihan itu.

Tuju tahun sudah perjalanan mengabdi di SMK Stella Maris Labuan Bajo. saat ini dapat saya katakan dengan tegas bahwa “Saya siap mengikat komitmen pengabdian menjadi guru dengan cincin kasih”.

Perjalanan penuh tantangan…

Pada tahun 2018, berbekal niat dan keberanian. Seorang gadis usia muda [saat itu memasuki tahun ke-24 hidup saya] mengakhiri masa rantaunya di Pulau Jawa, memutuskan kembali ke kampung halaman. Keputusan itu tentu tidak mudah, mengingat peluang karir apa yang bisa dijajaki oleh seorang gadis muda lulusan Sastra Inggris di Labuan Bajo, Manggarai Barat-Flores, Nusa Tenggara Timur [kampung halaman saya] dibandingkan dengan peluang kerja di Pulau Jawa yang bervariasi.

Terpikirkan oleh saya saat itu bahwa perkembangan pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat-Flores, Nusa Tenggara Timur sedang pesat. Saya yakin bahwasannya saya masih punya solusi untuk pergumulan karir ini. Kisah cinta ‘pengabdian’ ini pun dimulai dengan segala perkara dalam prosesnya.

Kita mulai dengan pertanyaan: “Apakah setibanya saya di labuan Bajo langsung berkarir menjadi Guru?”. Jawabannya, “tidak”! Sebagai seorang pejuang karir pemula yang baru saja lulus dari bangku Perguruan Tinggi (PT), saya mengalami hal yang sama dengan sesepuh lainnya yakni mencari ‘posisi kosong’ untuk diisi pada setiap instansi. Yah.., ibarat menambatkan cinta pada ‘kekosongan hati’ tentu tidak mudah. Membuktikan keahlian diri agar dipercaya tentu jadi satu syarat utama. Pengalaman kerja saya di bidang pariwisata sangat minim, siapa akan percaya jika kemampuan belum dibuktikan dengan pengalaman?

‘Tidak boleh menyerah’ adalah salah satu prinsip hidup saya. Menerima kenyataan pahit tidak akan membuat kita menderita, justru sebaliknya tidak berdamai dengan kenyataan itulah yang membawa kita pada sebuah frustasi. Singkat cerita, sebuah penantian sabar pun terjawab.

Saya mendengar kabar bahwa salah satu SMK swasta [Stella Maris] milik Yayasan Katolik di Labuan Bajo sedang membutuhkan guru. Saya mengabaikan kabar ‘yang sebenarnya baik ini’ karena dilandasi oleh ketidakpercayaan diri saya menjadi seorang Guru. Wajar saja, saat itu di benak saya menjadi Guru haruslah seseorang yang memiliki niat pengabdian dan pengetahuan serta wawasan luas.

Saya belum mumpuni untuk itu, sampai salah satu kerabat saya di Labuan Bajo meyakinkan saya bahwasannya saya sudah memiliki kemampuan dasar menjadi ‘pengajar’ [berdasarkan sudut pandangnya saat itu, saya punya kemampuan komunikasi yang baik sehingga mampu menyampaikan pesan ilmu kepada peserta didik; saya juga memiliki empati yang baik sehingga akan mudah peka dengan isu yang dialami peserta didik. Jika dijalankan dengan tekun pengalaman akan menempanya lebih baik].

Pertimbangan demi pertimbangan pun saya lakukan hingga pada keputusan, saya akan mencoba sekaligus membuktikan apakah benar sudut pandang tentang ‘dasar menjadi pengajar’ yang disampaikan oleh kerabat saya sebelumnya tepat. Prosesnya dimulai dengan pengajuan surat lamaran dan sebuah kebersyukuran saya langsung dipertemukan dengan Ketua Yayasan juga Kepala Sekolah saat itu. Banyak hal yang ditanyakan kepada saya tentang pengalaman kerja dan apa saja yang saya lakukan selama rantau. Saya menjawab sesuai dengan kenyataan yang saya alami, bahwa saya memiliki beberapa pengalaman kerja selama 4 tahun kuliah.

Sebagian besar waktu kuliah saya [selain diisi dengan belajar di kampus tentunya] saya juga aktif di beberapa organisasi kepemudaan untuk menjalin relasi. Hal ini rupanya berdampak baik bagi saya. Beberapa kali saya dipercayakan untuk menerima tawaran menjadi pekerja lepas [freelancer] untuk acara-acara yang dicanangkan oleh salah satu stasiun TV dan beberapa instansi lainnya.

Seperti kata penyair: “tergesa-gesa hanya karena melihat yang lain berlari adalah sebuah kegagalan jika tidak diimbangi dengan kesiapan”. Saya mengartikan ini sebagai sebuah ‘kesabaran dalam penantian’. Dengan keyakinan dan kesabaran yang dilandasi kasih, pada akhirnya saya mendapatkan panggilan untuk menjadi Guru di SMKS Stella Maris Labuan Bajo.

Misi perutusan…

Sejak tahun 2018 saya menjalin kasih ‘pengabdian’ dengan SMKS Stella Maris labuan Bajo. Tentu tidak hanya dengan ‘lembaga’-nya melainkan dengan seluruh warga sekolah. Sepanjang perjalanan, banyak pertengkaran yang goyahkan hati, apakah lanjut atau berpisah. Tahun 2019, sempat saya ‘main hati’, industri pariwisata lain rupanya lebih menarik perhatian dibandingkan lembaga pendidikan.

Berbekal pengalaman menjadi guru program perhotelan beberapa waktu terakhir saya nekat untuk menjajaki pengalaman baru di salah satu Restoran Italia di Labuan Bajo bahkan sempat menjadi pemandu wisata lepas [freelancer-tour guide]. “Apakah saya egois?” bisa jadi, “iya”. Pertanyaan lanjutan “mengapa keegoisan itu akhirnya mendominasi pikiran dan perasaan?” Mungkin saja karena “gejolak ‘pertengkaran’ di sekolah yang tidak memberikan saya kenyamanan, seperti mencari pelarian” bagaikan dua sejoli yang diselimuti amarah.

Sepanjang tahun 2019 saya menjalin ‘hubungan terlarang’. Saya menjalin kisah cinta ‘pengabdian’ menjadi guru sekaligus menjadi pekerja industri pariwisata. Herannya, saya tidak mampu memilih salah satu, apakah karena rasa cinta yang besar ataukah hanya rasa takut akan kehilangan. Pertanyaan ini terjawab pada akhir tahun 2019. Setelah perenungan panjang saya pun akhirnya berani memilih untuk meninggalkan ‘kekasih gelap’ saya industri untuk memulai dari awal di SMKS Stella Maris Labuan Bajo.

“Mengapa?” Ini pertanyaan yang bagus. “Satu tahun saya merenung bahwasannya saya sedang dalam proses mencari identitas dan tujuan saya. Awal mula jalinan kasih ‘pengabdian’ menjadi guru ini bukanlah hal yang saya pikirkan secara matang melainkan hanya sekedar pembuktian diri seperti saya sanggup atau tidak dan dimulai dengan keragu-raguan. Namun, selama prosesnya saya mengalami indahnya ‘panggilan’ menjadi guru.

Saya memahami bahwa sudut pandang yang diberikan oleh kerabat saya diawal [ketika meyakinkan saya untuk menjadi guru] mungkin saja tidak tepat hanya saja saya sudah menyuntikan sugesti itu di kepala saya dan melalui banyak proses pembelajaran, hingga pada perjalananya hal itu memang terbentuk. Fake it till you make it! Palsukan itu hingga akhirnya secara naluriah akan terbentuk. Hati nurani saya mengatakan, “sekarang kamu siap menjalankan misi perutusan hidupmu menjadi Guru”.

Awal dari komitmen…

Meninggalkan kisah cinta ‘pengabdian’ yang kelam di tahun sebelumnya, saya kemudian menata kembali satu-persatu kepercayaan yang ‘retak’. Sungguh sebuah kebersyukuran yang kesekian kalinya, entah karena perjalanan karir saya dilandasi oleh kasih atau hanya karena keberuntungan, lagi-lagi saya dipercayakan oleh pihak lembaga sekolah untuk tugas dan tanggung jawab yang besar [selain menjadi pengajar, saya juga menjadi salah satu pengurus jurusan]. Tanpa berpikir panjang, saya menerima dan menjalankannya.

Prosesnya tidak mudah. Namun saya yakin ini adalah bagian dari ‘panggilan dan pengabdian’. Sering saya mengajak hati kecil berdialog: “Nak, seseorang sudah memilih kamu tambatkan kepercayaannya. Saya paham kamu rindu untuk sejenak bersantai di pantai tanpa harus memikirkan beban tugas. Hanya saja kamu sudah setengah jalan, bertanggung jawablah! Proses tidak akan menghianati hasil!” Saya yakinkan diri untuk kesekian kali bahwa ini bukan sekedar keberuntungan melainkan kasih. Tentu keberuntungan datang dari sebuah cinta kasih.

Rupanya dialog yang sering saya lakukan dengan hati kecil saya menjadi penguat dalam jalinan kasih ‘pengabdian’ menjadi Guru. Tidak terasa hampir 7 tahun lamanya saya mengabdi. Saya ditempa oleh tanggung jawab, dibentuk oleh pengalaman. Selama mengabdi menjadi guru saya mengilhami satu hal bahwa hidup adalah tentang mengisi setiap harinya dengan belajar. Belajar mencintai, belajar memahami, belajar mengasihi, belajar ketulusan, belajar menghargai, belajar mengikhlaskan, belajar banyak hal. Satu-satunya hal yang saya mengerti dari hidup adalah sungguh hidup seringkali susah dimengerti cukup diisi dengan belajar. Hidup adalah belajar, berdamai dan mengampuni seperti kasih.

Bisa saya katakan salah satu rejeki besar dalam hidup adalah kisah cinta ‘pengabdian’ menjadi guru. Ditahun ke-7 ‘pengabdian’ ini, saya ingin katakan “Saya siap mengikat komitmen pengabdian menjadi guru dengan cincin kasih”. Belum sempurna saya menjadi Guru. Namun, saya berkomitmen untuk selalu berproses dan mengabdi tentunya dengan landasan KASIH juga SAYANG. Di tahun ke-7 ‘pengabdian’, bertepatan dengan perayaan Hari Kasih Sayang ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak terkait SMKS Stella Maris Labuan Bajo, baik Romo Kepala Sekolah, rekan-rekan Guru dan jajaran pegawai juga peserta didik saya yang tanpa mereka saya tidak bisa berproses menjadi pribadi dan Guru yang lebih baik.
Shalom, Maria….

*Penulis adalah Guru Produktif Perhotelan SMK Stella Maris Labuan Bajo.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *