Oleh: Sil Joni*
Opini, Okebajo.com – “Festival Seni dan Literasi” yang akan digelar di SMK Stella Maris dalam rangka memaknai momentum Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) pada tanggal 13-14 Februari, ternyata menghadirkan ‘berkat berlimpah’ perihal berseminya kuntum budaya literasi di lembaga ini. Hampir semua staf pengajar ‘terlibat aktif’ dalam menggodok tulisan dan ‘berani’ menyebarkan tulisannya melalui ‘media publik’.
Untuk kepentingan ‘publikasi’, dari sekian banyak tulisan yang masuk ke ‘dapur Media Center Sekolah’, saya harus peras otak, kira-kira, tulisan siapa yang layak ‘dipasarkan’ ke ruang publik digital. Setelah ‘diedit’ seperlunya, akhirnya saya coba mengirimkan aneka tulisan itu, ke media dalam jaringan (on line). Ternyata, ada beberapa media yang bersedia ‘menggemakan’ renungan para guru itu.
Saya coba membuat semacam ‘catatan yang bersifat apresiatif’ terhadap sejumlah tulisan yang telah diterbitkan itu. Pengalaman ‘menangani luka batin’ yang dialami oleh peserta didik, dikupas secara kreatif oleh ibu Wihelmina Nurti melaui tulisannya yang berjudul: “Pelukan Kasa (Pengalaman ‘Menangani Luka’ di SMK Stella Maris) yang diterbitkan media BernasIndo.id, (8/2/2025). Ibu guru produktif jurusan Perhotelan itu tiba pada kesimpulan bahwa ‘kasa kasih’ sangat dibutuhkan dalam mengobati luka-luka tersebut. Kain kasa kasihlah yang akan membalut sekaligus menyembuhkan jiwa yang ‘tergores duri’ dari peserta didik.
Pergulatan sebagai ‘ibu rumah tangga’ dan ‘ibu guru’ direfleksikan secara indah oleh ibu Justina Samung. Tidak mudah untuk keluar dari situasi ‘dilematis’ antara predikat sebagai ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai ‘ibu guru’. Tetapi, ibu Justin, dalam tulisannya: “Antara ‘Ibu Guru dan Ibu Rumah Tangga’ (Kisah Perjuangan dan Cinta di SMK Stella Maris), BernasIndo.id, (10/2/2025), berhasil keluar dari situasi dilematis semacam itu sebab perjugannya dilandasi oleh ‘cinta’.
Situasi dilematis yang sama, dirasakan oleh ibu Ledyana Seko. Kali ini, kondisi dilematis itu, dilukiskan secara lebih spesifik dan dramatis oleh ibu Ledy. Dalam tulisannya yang berjudul: “Antara Pulau Dewata dan ‘Lelaki Kecilku’ (Sebuah Pergulatan ketika Hendak Pergi ke Pulau Bali)”, BernasIndo.id, (10/2/2025), terbaca secara jelas soal ‘pergulatan’ ketika harus pergi menjalankan tugas sekolah ke Pulau Bali sementara ‘kedua buah hatinya masih kecil’, terutama anak lelakinya yang tentu saja ‘tak sudi dirinya’ pergi jauh.
Suka duka dalam mengajar Bahasa asing, terutama Bahasa Jepang di SMK Stella Maris, digambarkan dengan sangat baik oleh ibu Krista Alum. Meski pada awalnya dia agak ragu, tetapi setelah merasakan pengalaman ada bersama siswa di kelas dalam setiap sesi pembelajaran, ibu Krista, seperti yang terpotret dalam tulisan: “Suka Duka Mengajar Bahasa Jepang (Tetesan Kasih Sayang Kepada Para Siswa)”, BernasIndo.id, (10/2/2025), akhirnya sangat ‘menikmati’ pekerjaannya saat ini sebagai ‘Guru Bahasa Jepang’. Rasa senang itu, demikian ibu Krista, tidak terlepas dari ‘spirit cinta’ yang selalu menjiwai setiap aktivitasnya sebagai guru.
Soal pesimisme dalam menjalankan tanggung jawab, dirasakan juga oleh Kepala SMK Stella Maris, Rm. Ignasius Azavedo Viares, Pr atau yang akrab disapa Rm. Sevri. Ketika menerima SK dari Yang Mulia bapak Uskup Ruteng, awal Januari 2024, Rm. Sevri seperti yang terurai dalam tulisan: “Dari Benci Jadi ‘Benci’ (Benar-benar Cinta)” yang diterbitkan oleh web site sekolah, smkstellamaris-labuanbajo.sch.id, (11/2/2025), sangat ‘resah’, terkait apa yang dirinya bisa buat dan bawa ke lembaga itu. Namun, setelah mengalami ‘perjumpaan yang intens’ dengan segenap civitas akademika di sekolah, ‘rasa resah’, bahkan benci itu berubah menjadi rasa cinta.
Menjadi guru itu merupakan sebuah panggilan. Idealisme di balik ‘profesi mulia’ itu, diungkapkan secara lugas oleh ibu Fera Panensia melalui artikelnya yang berjudul: “Sepucuk Surat untukmu Anak Bangsa”, Okebajo.com, (11/2/2025). Bahwasannya, sebagai seoarang guru, dirinya dan semua rekan guru yang lain, ‘hadir spenuhnya’ untuk mencerdaskan anak bangsa. Guru merupakan sosok yang ‘digugu dan ditiru’ sekaligus figur yang ‘peduli’ pada masa depan anak bangsa. Pelayanan yang diberikan guru, tentu saja dilandasi oleh rasa ‘kasih sayang’ yang tulus.
Catatan perjalanan sebagai seorang guru di SMK Stella Maris, direfleksikan secara mendalam dan menawan oleh ibu Maria Dauth. Dalam tulisannya yang berjudul: “Mengikat ‘Cinta Pengabdian’ dengan ‘Cincin Kasih’ (Catatan Perjalanan Menjadi Guru), Okebajo.com, (11/2/2025), ibu Maria ‘membentangkan secara jujur dan jernih’ serpihan pengalaman sebagai guru yang penuh dengan ‘pergulatan yang kompleks’. Tulisan itu dimulai dengan ‘pengungkapan rasa syukur’, riwayat perjananan yang penuh tantangan, profesi guru dilihat dalam terang misi perutusan, dan ditutup dengan ‘penguatan komitmen’.
Di ujung permenungannya, ibu Maria tiba pada kesimpulan bahwa dirinya ‘siap mengikat komitmen pengabdian sebagai guru dengan cincin kasih’. Dirinya siap berproses yang dilandasi oleh spirit kasih dan sayang bersama rekan guru dan teristimewa para peserta didik di lembaga ini. Buah pena ibu Maria ini, rasanya sudah ‘mewakili’ suara para guru yang barang kali masih terpendam.
Secara pribadi, saya ‘angkat’ topi dengan ‘buah gagasan’ yang tersaji dalam karya itu. Ibu Maria, hemat saya, salah satu guru yang sangat ‘piawai’ dalam menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Dari semua tulisan dalam edisi Festival Literasi tahun 2025 tingkat SMK Stella Maris, tulisan ibu Mari, ‘menjadi yang terbaik’. Selamat dan proficiat untuk prestasi ini.
Dari paparan di atas, saya begitu percaya diri mengatakan bahwa ‘benih budaya literasi’ di kalangan guru SMK Stella Maris, sudah mulai berkecambah. Potensi literasi yang selama ini ‘terkubur’, kini bertumbuh subur. Festival Literasi menjadi semnacam ‘alat pukul’, yang membangunkan kebiasaan menulis para guru dari ‘tidur lelap’ yang cukup panjang.
Berharap ‘momentum kebangkitan’ ini, tetap terjaga dan kalau dapat ‘ditingkatkan’ dalam perjalananan selanjutnya. Kesadaran ‘berliterasi’ itu, tidak boleh bersifat sesaat atau momental. Sebaliknya, literasi mesti menjadi ‘jalan yang mulus’ untuk keluar dari penjara kebodohan.
*Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.