Labuan Bajo, Okebajo.com – Maraknya kasus mafia tanah di Labuan Bajo akhir-akhir ini diduga kuat berawal dari tindakan Fungsionaris Adat Nggorang yang secara sengaja mengeluarkan surat pengukuhan ulang atas lahan milik tujuh warga Labuan Bajo, termasuk tanah 11 hektar milik ahli waris alm. Ibrahim Hanta. Tindakan ini membuka jalan bagi penguasaan tanah oleh pihak-pihak yang tidak berhak, yang pada akhirnya berujung pada sengketa hukum berkepanjangan.
Tim kuasa hukum dari 7 warga Labuan Bajo, Dr. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., didampingi Inspektur Jendral Polisi (pur) Drs. I Wayan Sukawinaya M.si SH.,
kepada media ini menjelaskan bahwa pada Maret 1992, tujuh warga atas nama Lambertus Paji Elam, Abdul Haji, Muhamad Hata, Usman Umar, Mustarang, Muh. A. Adam Djudje, dan Djulkarnain Djudje memperoleh tanah Keranga langsung dari Haji Ishaka, yang saat itu menjabat sebagai Fungsionaris Adat Nggorang. Dokumen asli perolehan tanah masih dimiliki oleh para warga ini.
Pada tahun 2012, mereka mengajukan penerbitan sertifikat tanah ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat. Proses ini didukung oleh berbagai dokumen resmi, termasuk surat ukur dan hasil sidang panitia A.
Sehingga pihaknya ini menuding ahli waris almarhum Nikolaus Naput, Santosa Kadiman (Pemilik Hotel St. Regis Labuan Bajo), serta Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair (keturunan Fungsionaris Adat Nggorang) diduga telah bekerjasama untuk melakukan penyerobotan lahan milik orang lain.
Penjualan Tanpa Izin
Namun mereka dikejutkan dengan adanya informasi bahwa pada tanah yang mereka peroleh seluas kurang lebih 3 hektar dan termasuk 11 hektare milik ahli waris alm. Ibrahim Hanta, ternyata telah dijual oleh Niko Naput kepada Santosa Kadiman (pemilik hotel St. Regist) pada tahun 2014. Hal itu dibuktikan dengan adanya dokumen Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah seluas 40 hektar antara Nikolaus Naput dan Santosa Kadiman yang dibuat di hadapan Notaris Billy Ginta.
Penerbitan Gambar Ukur dan SHM (2017)
Pada 2017, BPN Manggarai Barat menerbitkan gambar ukur (GU) seluas 3 hektar atas nama keponakan Nikolaus Naput, yakni Rosyina Yulti Mantuh (29.946 m²) dan Albertus Alviano Ganti (26.692 m²). Selain itu, lima Sertifikat Hak Milik (SHM) diterbitkan atas nama anak-anak Nikolaus Naput di atas lahan 11 hektare milik ahli waris alm. Ibrahim Hanta.
Dr (c) Indra Triantoro sebagai PH tanah 11 ha ahliwaris Ibrahim Hanta, mengatakan bahwa alas hak Niko Naput sesungguhnya tidak ada. Semula ada, tapi dibatalkan fungsionaris ulayat dan hal itu sudah dikuatkan dalam putusan hakim perdata
“Menariknya, dasar penerbitan dokumen tersebut adalah menggunakan dokumen fotokopi surat alas hak tertanggal 10 Maret 1990. Yang hingga kini, dokumen asli tidak dapat ditunjukkan oleh pihak yang mengklaim tanah tersebut. Dan tanah di surat alas hak itu tumpang tindih juga di atas tanah 7 orang ini. Atas dasar motivasi ini maka 7 warga miskin dan lemah tersebut bangkit setelah lama digilas oleh aksi Niko Naput, Santoso Kadiman, Gubernur Viktor Laiskodat pada 21 April 2022”, kata Indra.
Pembangunan dan Dugaan Perampasan Tanah
Pada 2023, Santosa Kadiman mulai membangun pos penjagaan di lokasi tersebut serta membawa alat berat, termasuk mesin penggiling batu dan ekskavator. Hingga kini, alat-alat tersebut terpantau masih berada di lokasi.
Indra Triantoro menegaskan bahwa berdasarkan sejarah kepemilikan tanah, tindakan Nikolaus Naput dan Haji Ramang merupakan bentuk perampasan hak milik warga.
“Dari data dokumen yang diberikan 7 orang klien kami, terlihat sejarahnya : Tahun 2012, BPN Manggarai Barat telah melakukan pengukuran untuk pensertifikatan tanah 7 orang tersebut, dan Haji Ramang dan Niko Naput juga hadir saat itu, namanya tertera dalam surat untuk sidang Panitia A. Jelas fakta ini membuktikan bahwa tanah tersebut milik tujuh warga. Hj Ramang tahu itu. Namun dikemudian hari, tetap saja mereka berani mengajukan gambar ukur di atas lahan ini ke atas nama ponakan Niko Naput. Lalu tanah ini juga merupakan bagian dari 40 ha fiktif yang di’PPJB kan kepada Santoso Kadiman. Ini adalah tindakan mafia tanah yang sangat keterlaluan,” ujar Indra.
Keputusan Pengadilan dan Fakta Hukum
Putusan perdata “menang” ahli waris IH 11 ha itu, memperkuat semangat kebangkitan 7 orang korban Niko Naput, Santoso Kadiman dan Hj Ramang ini. Dalam keterangan kekesaksian sopir pribadi Niko Naput, bahwa saat ukur tanah 16 ha sesuai surat 10 Maret 1990 itu tersebut ia didampingi Hajoli Ramang dan ponakannya Muhamad Syair, dan tanah itu terbentang dari pantai sampai ke timur lewati jalan raya.
“Itu persis kena tumpang tindih diatas 3 ha lebih tanah 7 orang ini. Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo (23/10/24) yang diperkuat putusan Pengadilan Tinggi Kupang 18 Maret 2025, bahwa klaim Niko Naput dkk tidak beralasan hukum”, beber Indra.
Dugaan Pemalsuan Dokumen dan Praktik Mafia tanah
Dugaan kuat muncul bahwa penerbitan 5 SHM dan 2 GU melibatkan praktik ilegal. Indra menyebut bahwa Haji Ramang diduga membuat surat pengukuhan tanah adat seluas 16 hektare atas nama Nasar Bin Supu, yang kemudian menjadi dasar penerbitan SHM untuk keluarga Nikolaus Naput.
“Padahal, sejak 1 Maret 2013, keputusan rapat tetua masyarakat adat di Labuan Bajo pasca meninggalnya Hj Ishaka dan Haku Mustafa, Haji Ramang sendiri tahu bahwa ia tidak memiliki kewenangan untuk menata tanah ulayat (Ada bukti dokumen tersebut yang telah ditandatangani oleh Haji Ramang dan Muhamad Syair di atas materai). Selain itu, ada juga dokumen pada 17 Januari 1998 terkait surat pengukuhan tanah adat yang telah dibatalkan oleh Fungsionaris Adat Nggorang,” jelas Indra.
Haji Ramang diakui turunan Fungsionaris Adat Haji Ishaka dan satu lagi yang baru muncul namanya yaitu Muhamad Syair, turunan Haku Mustafa sebagaimana dikatakan Jon Kadis, SH, anggota tim kuasa hukum 7 orang ini.
“Upaya penegakan hukum bagi 7 korban perlakuan Haji Ramang, dkk untuk perolehan hak Niko Naput ini jauh dari usaha untuk melemahkan turunan fungsionaris ulayat Nggorang. Tidak. Masyarakat Labuan tetap menghormati turunan fungsionaris adat ini. Kekurangannya adalah, mereka sendiri melanggar kesepakatan bersama tetua adat 1 Maret 2013. Saksi hidup masih ada, antara lain Bpk Anton Hantam, dan beberapa lagi. Kenapa Haji Ramang dan Muhamad Syair berbuat beda dari dokumen kedaulatan Nggorang itu ? Nah, anda sendiri tahu jawabannya kan? Investasi di Labuan Bajo akan berkembang tanpa hambatan, jika halangan seperti ini tidak ada”, terang Jon Kadis.
Sementara itu Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair sebelumnya sudah pernah dilakukan konfirmasi berkali-kali oleh wartawan media ini untuk dimintai keteranganya soal keterlibatan mereka dalam sengketa tanah Keranga namun pesan yang dikirim via WhatsApp hanya dibaca saja. Media ini kembali lakukan konfirmasi pada Senin, (24/3/2025) kepada Muhamad Syair, lagi-lagi Ia tak merespon. Begitu juga dengan Haji Ramang Ishaka, nomor kontaknya tidak bisa lagi dihubungi karena nomor wartawan media ini telah ia blokir. **