Oleh: Surion Florianus Adu (Masyarakat Ulayat Nggorang)
Opini, Okebajo.com Keputusan untuk memberikan surat pengukuhan oleh Haji Ramang Ishaka dan Muhamad Syair atas kepemilikan tanah di Labuan Bajo menimbulkan banyak pertanyaan dan keresahan. Langkah ini dinilai melampaui kewenangan yang pernah dimiliki oleh Almarhum Haji Ishaka dan Haku Mustafa, Fungsionaris adat Nggorang terdahulu, serta bertentangan dengan prosedur yang selama ini diakui oleh pemerintah.
Tidak Ada Preseden dalam Sejarah Adat
Salah satu alasan utama mengapa surat pengukuhan ini patut dipertanyakan adalah karena Haji Ishaka dan Haku Mustafa, yang merupakan fungsionaris adat Nggorang di masa lalu, tidak pernah mengeluarkan surat serupa selama mereka masih hidup. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dari Kabupaten Manggarai hingga Manggarai Barat tidak mewajibkan pemilik lahan untuk memiliki surat pengukuhan dari fungsionaris adat atau ahli warisnya ketika mengurus sertifikat tanah.
Dalam praktiknya, masyarakat yang menerima tanah telah melewati proses adat yang sah, seperti kapu manuk lele tuak, di mana tanah dibagikan dengan aturan adat yang ketat. Proses ini dipimpin oleh penata lahan yang telah mendapat amanah dari ketua atau wakil fungsionaris adat Nggorang. Saat proses sertifikasi dilakukan, BPN hanya berfokus pada kehadiran pihak terkait dalam sidang Panitia A, termasuk saksi batas yang mengetahui lokasi, batas, dan pemilik lahan.
Minim Konflik di Masa Lalu, Mengapa Sekarang Berubah?
Sebelum-sebelumnya, konflik pertanahan di wilayah Ulayat Nggorang relatif minim karena semua tanah telah dibagi kepada masyarakatnya. Jika pun ada perselisihan batas, pihak yang berperan sebagai hakim perdamaian adalah pemerintah, yang menghadirkan penata lahan yang telah diberi mandat, baik lisan maupun tertulis oleh fungsionaris adat. Tidak pernah dalam sejarahnya anak, cucu, atau fungsionaris adat dihadirkan untuk menyelesaikan konflik tanah secara langsung.
Namun, kini situasi berubah. Haji Ramang, sebagai ahli waris Haji Ishaka, dan Muhamad Syair, cucu dari Haku Mustafa, tiba-tiba mengambil alih posisi ketua dan wakil fungsionaris adat Nggorang. Dengan posisi ini, mereka membuat dua kebijakan yang dianggap melampaui kewenangan:
1. Mengangkat diri sendiri sebagai pewaris jabatan ketua dan wakil fungsionaris adat Nggorang tanpa melalui mekanisme adat yang jelas.
2. Mewajibkan pemilik lahan di Ulayat Nggorang yang ingin mengurus sertifikat tanah untuk memiliki surat pengukuhan yang dikeluarkan oleh mereka. Jika tidak memiliki surat tersebut, maka proses sertifikasi tidak dapat dilakukan oleh BPN Manggarai Barat.
Potensi Konflik dan Dugaan KKN
Persyaratan baru ini menimbulkan kekhawatiran akan potensi kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) antara oknum BPN dengan Haji Ramang dan Muhamad Syair. Ketika proses sertifikasi lahan menjadi terhambat karena aturan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat, konflik antara masyarakat dan pihak BPN semakin mungkin terjadi.
Keputusan BPN Manggarai Barat yang mewajibkan surat pengukuhan dari Haji Ramang dan Muhamad Syair sebagai syarat legalisasi justru memperbesar potensi konflik. Langkah ini perlu dikaji ulang demi menghindari ketidakadilan bagi masyarakat Ulayat Nggorang dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat atas tanahnya tetap terlindungi.
Sengketa Tanah Kerangan
Fenomena ini memiliki kemiripan dengan kasus sengketa tanah di Kerangan, Labuan Bajo, di mana tujuh warga mengklaim sebagai pemilik sah atas lahan yang kini dikuasai oleh Santosa Kadiman, pemilik Hotel St. Regis. Tanah tersebut diperoleh Kadiman melalui transaksi jual beli dengan Nikolaus Naput. Kasus ini menunjukkan bagaimana permasalahan kepemilikan tanah dapat menjadi konflik berkepanjangan ketika aturan kepemilikan tanah tidak dijalankan secara transparan dan sesuai hukum.
Sama seperti dalam kasus Ulayat Nggorang, sengketa tanah Kerangan memperlihatkan bagaimana peran adat dan hukum formal sering kali tumpang tindih, membuka celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan keadaan demi keuntungan pribadi. Jika tidak segera ditangani dengan kebijakan yang adil dan transparan, konflik seperti ini berpotensi memperburuk ketegangan sosial di Labuan Bajo.
Bersambung…