Keanggunan Molas Lamba Leda dalam Simfoni Tenun “Wela Kaweng” pada HUT RI ke-80

Avatar photo

BORONG, Okebajo.com – Dentuman gong, hentakan kaki penari, dan kibasan kain tenun tradisional “Songke Lamba Leda” berpadu indah di Lapangan SDI Bea Nanga, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, Minggu (17/8/2025). Sebanyak 200 siswa-siswi dari lima sekolah menampilkan tarian kolosal yang bukan hanya memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, tetapi juga menegaskan identitas budaya orang Lamba Leda yang kaya simbol dan makna.

Pertunjukan akbar ini lahir dari kerja sama pemerintah kecamatan bersama para guru dan siswa-siswi dari SDK Benteng Jawa, SDI Bea Nanga, SMP St. Paulus, SMK St. Bertholomeus Benteng Jawa, dan SMAN 1 Lamba Leda. Selama dua minggu, anak-anak ini digembleng dengan penuh dedikasi oleh instruktur sekaligus koreografer, Imelda Meldasin, Kepala Sekolah SDK Benteng Jawa.

“Tarian ini terinspirasi dari tangan-tangan lembut para pengrajin tenun Songke Lamba Leda yang dengan sabar dan telaten melahirkan khazanah budaya bernilai luhur,” ujar Camat Lamba Leda, Longginus Rohos, dalam sambutannya.

Tenun, Perempuan, dan Filosofi Wela Kaweng

Dalam balutan kain songke, para penari menampilkan formasi yang penuh makna. Sebagian besar mengenakan motif Wela Kaweng, motif bunga kecil yang tumbuh di tanah Lamba Leda.

“Wela kaweng menggambarkan hubungan harmonis manusia dengan alam, serta menjadi simbol keanggunan perempuan Lamba Leda—Molas Lamba Leda,” jelas Imelda.

Menurut Camat Longginus, motif Jok dan Wela Kaweng merupakan motif khas yang paling dikenal dari tenun tradisional Lamba Leda. Motif Jok melambangkan rumah adat gendang, pusat kehidupan sosial masyarakat, sementara motif Wela Kaweng melambangkan kesederhanaan, keindahan, sekaligus kedekatan spiritual manusia dengan alam.

Namun di balik keindahan itu, proses pembuatan tenun Wela Kaweng bukan perkara mudah.

“Butuh waktu sekitar tiga minggu untuk menghasilkan satu lembar kain. Dibutuhkan kesabaran, ketenangan, dan kelembutan tangan pengrajin,” tutur Camat Longginus.

Karena itu, perempuan Lamba Leda sejak kecil sudah dididik menenun—membentuk karakter sabar, halus, dan penuh cinta kasih.

“Molas Lamba Leda yang piawai menenun biasanya dikenal anggun dan penyayang. Tetapi, untuk memenangkan hati mereka, dibutuhkan perjuangan layaknya merangkai motif Wela Kaweng—rumit, sabar, namun indah pada akhirnya,” tambahnya sambil tersenyum.

Tarian Kolosal: Dari Lodok hingga Ndundu Ndake

Dalam penampilannya, tarian kolosal ini dibagi ke dalam tiga formasi utama:

Formasi Lodok – mencerminkan nilai kebersamaan, keteraturan, dan kesetaraan dalam masyarakat. Dipadukan dengan tari Sae yang melambangkan penghormatan kepada leluhur.

Formasi Lingkaran – menyatu dengan tarian Danding, simbol persatuan, rasa syukur, dan kebersamaan.

Formasi HUT RI – dipadukan dengan irama musik tradisional Ndundu Ndake, sebuah ungkapan sukacita atas peristiwa bersejarah.

Kombinasi gerak, musik tradisional, dan balutan songke Lamba Leda membuat penonton hanyut dalam suasana syukur dan kebanggaan.

Warisan Budaya di Tengah Arus Globalisasi

Di era modern, ketika kain-kain pabrikan mudah diperoleh, tarian kolosal ini seakan menjadi pernyataan keras: Songke Lamba Leda bukan sekadar kain, melainkan identitas dan warisan leluhur yang harus dijaga.

“Keberadaan songke, khususnya motif Wela Kaweng, adalah bagian dari jiwa orang Lamba Leda. Kita wajib melestarikannya, bukan hanya sebagai pakaian adat, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap hilangnya jati diri di tengah arus globalisasi,” tegas Camat Longginus.

Upacara peringatan HUT RI ke-80 di Kecamatan Lamba Leda ini dihadiri oleh berbagai tokoh, mulai dari anggota DPRD dapil Lamba Leda dan Lamba Leda Utara, Ketua TP PKK, unsur Forkompimcam, para kepala desa, kepala sekolah, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh perempuan, hingga ratusan pelajar.

Di akhir acara, sorak tepuk tangan membahana. Tarian kolosal Songke Lamba Leda tidak hanya menggetarkan hati penonton, tetapi juga menegaskan satu hal: selama motif Wela Kaweng terus ditenun, selama itu pula keanggunan Molas Lamba Leda dan identitas budaya Manggarai Timur akan tetap hidup.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *