Jembatan Bambu, Taruhan Nyawa Anak-anak Kampung Jengok Demi Cita-cita

Avatar photo
Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Labuan Bajo | Okebajo.com | Senyum polos bocah-bocah polos itu terpancar nyata, namun langkah mereka memikul beban yang tak seharusnya ada. Setiap pagi, anak-anak berseragam merah-putih dari Kampung Jengok, Desa Wae Jare, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, itu harus melintasi “jembatan harapan” yang terbuat dari bilah-bilah bambu rapuh. Di bawah jembatan itu, Sungai Wae Jari mengalir deras, seolah menanti kesalahan pijak. Bagi anak-anak ini, lintasan licin yang bergoyang itu bukanlah tantangan wisata, melainkan taruhan nyawa sehari-hari demi menimba ilmu.

Inilah ironi pahit yang menyelimuti wilayah yang berada hanya sepelemparan batu dari Labuan Bajo, sebuah Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yang diselimuti fasilitas megah. Di tengah gegap gempita kemewahan Labuan Bajo, Kampung Jengok masih terperangkap dalam jurang ketimpangan infrastruktur akut: tanpa jembatan permanen yang layak, tanpa listrik yang memadai, dan kesulitan mengakses air bersih.

Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Jembatan Gotong Royong: Simbol Keterasingan

Jembatan darurat yang tampak ringkih dalam foto ini adalah satu-satunya “urat nadi” penghubung Kampung Jengok dengan dunia luar. Mirisnya, struktur vital ini bukan hadiah dari program pemerintah, melainkan buah dari keringat dan gotong royong warga sendiri.

“Setiap hari, kami hanya bisa berdoa. Jembatan licin, apalagi saat musim hujan. Kami harus ekstra hati-hati membawa hasil bumi, tapi yang paling kami khawatirkan adalah anak-anak sekolah,” tutur Donatus Semidun (58 tahun), salah seorang tokoh adat, dengan nada getir.

Bagi para siswa, jembatan ini adalah gerbang menuju cita-cita. Mereka harus meniti bilah bambu yang basah dengan tas buku di punggung. Mereka mempertaruhkan masa depannya di atas konstruksi yang bisa tumbang kapan saja. Saat hujan deras tiba, jembatan ini menjadi sangat berbahaya, memaksa Kampung Jengok benar-benar terisolasi. Pendidikan, yang seharusnya menjadi hak dasar, di sana justru menjadi sebuah perjuangan heroik dan berisiko tinggi.

Jeritan Sunyi di Tengah Kegelapan

Ketertinggalan Kampung Jengok tak berhenti di atas sungai. Malam hari, kampung ini diselimuti kegelapan karena belum tersentuh listrik, menghambat anak-anak untuk belajar dan membatasi aktivitas ekonomi warga. Akses air bersih pun menjadi masalah pelik, memaksa warga mengonsumsi air Sungai Wae Jari yang kualitasnya mengancam kesehatan.

Kondisi jalan desa yang berlumpur saat hujan dan berbatu saat kemarau semakin memperparah isolasi, membuat hasil panen sulit dipasarkan, dan memutus harapan warga untuk maju secara ekonomi.

Kisah pilu anak-anak Kampung Jengok adalah sebuah teguran keras bagi narasi pembangunan yang seringkali hanya berpusat di kota. Mereka bukan meminta kemewahan, melainkan hak-hak dasar sebagai warga negara: jembatan yang aman, jalan yang bisa dilalui, penerangan, dan air bersih.

Sudah saatnya, dana besar yang mengalir ke Labuan Bajo sebagai destinasi super prioritas, juga menjangkau hingga ke sudut-sudut desa terpencil seperti Kampung Jengok. Pembangunan yang adil harus menjadi prioritas utama, agar tidak ada lagi anak-anak Indonesia yang harus mempertaruhkan nyawa di atas sebatang bambu demi meraih masa depan.

Panggilan mendesak ini ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan seluruh pemangku kebijakan: ubah jembatan bambu ringkih ini menjadi infrastruktur permanen, bawa terang listrik, dan hadirkan akses air bersih. Jangan biarkan harapan anak-anak ini terperangkap dan karam di sungai keterisoliran. *(Robert Perkasa)

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *