Oleh: Jon Kadis
Opini, Okebajo.com – Pertanyaan menarik muncul di tengah maraknya sengketa pertanahan: Apakah surat klarifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat dijadikan dasar oleh hakim untuk membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)?
Sekilas, surat klarifikasi dari BPN seolah memiliki bobot kuat, karena dikeluarkan oleh lembaga negara yang mengurusi tanah. Namun, dalam kerangka hukum positif Indonesia, pertanyaan ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Untuk memahaminya, mari kita menelaah lebih jauh tentang hirarki peraturan perundang-undangan, kekuatan hukum PPJB, serta sumpah dan janji jabatan hakim.
Hirarki Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (diubah dengan UU No. 15/2019) menetapkan struktur hukum di Indonesia. Urutannya adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Sebagai hukum dasar negara dan memiliki kedudukan tertinggi,
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR). Meskipun kedudukannya berada di bawah UUD 1945, Tap MPR yang masih berlaku tetap memiliki kekuatan hukum,
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu),
4. Peraturan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau oleh Presiden dalam keadaan darurat,
5. Peraturan Pemerintah (PP),
6. Peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden untuk melaksanakan undang-undang,
7. Peraturan Presiden (Perpres),
8. Peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
9. Peraturan Daerah Provinsi,
10. Peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur,
11. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,
12. Peraturan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati atau Walikota.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini juga menyebutkan bahwa terdapat 17 jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga negara seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Surat khlarifikasi BPN, apakah termasuk dalam produk per-uu-an?
Di UU no.12/2011 itu tidak ada. Surat klarifikasi BPN bukanlah peraturan perundang-undangan (Per-UU-an), melainkan dokumen hasil klarifikasi atau konfirmasi informasi terkait pertanahan. Dokumen ini biasanya digunakan dalam proses administrasi pertanahan, seperti pendaftaran tanah atau penyelesaian sengketa tanah.
Dalam konteks hukum, surat klarifikasi BPN dapat digunakan sebagai alat bukti atau sebagai bagian dari proses klarifikasi yang dilakukan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, perlu diingat bahwa surat klarifikasi BPN tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam beberapa kasus, surat klarifikasi BPN dapat digunakan untuk : mengkonfirmasi kepemilikan tanah; untuk memastikan status tanah; menyelesaikan sengketa tanah; membantu menyelesaikan sengketa tanah dengan memverifikasi informasi yang terkait dengan tanah yang bersengketa.
Apakah surat keterangan Pemerintahan Desa termasuk hirarki Per-UU-an?
Surat keterangan tanah dari pemerintahan desa bukanlah peraturan perundang-undangan (Per-UU-an), melainkan dokumen administratif yang diterbitkan oleh Kepala Desa untuk membuktikan kepemilikan atau penguasaan atas sebidang tanah misalnya. Dokumen ini memiliki kekuatan hukum yang lemah karena bukan merupakan bukti kepemilikan tanah yang sah secara administrasi negara.
Surat itu hanya berfungsi sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah dan tidak dapat dijadikan bukti kepemilikan tanah secara mutlak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, surat keterangan tanah hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah, bukan sebagai dokumen utama.
Dokumen ini memuat informasi mengenai riwayat tanah, identitas pemilik atau penguasa tanah, batas-batas wilayah tanah, serta keterangan dari saksi-saksi yang mengetahui status tanah tersebut. Meskipun kekuatan hukumnya lemah, surat keterangan tanah dari Kepala Desa tetap dapat digunakan sebagai dokumen pendukung dalam penguasaan tanah.
Dalam proses pengurusan sertifikat tanah, surat keterangan tanah dapat digunakan sebagai salah satu dokumen pendukung. Namun, perlu diingat bahwa kekuatan hukum surat keterangan tanah berbeda dengan sertifikat tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Oleh karena itu, penting untuk memahami peran dan batasan surat keterangan tanah dalam proses pengurusan tanah.
Apakah hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan surat klarifikasi BPN?
Untuk memudahkan jawabannya, kita melihat sumpah & janji hakim saat ia dilantik. Dalam memutus perkara yang berhubungan dengan tanah misalnya, kita dapat mengetahui kewajiban yang harus dilakukan.
Apakah surat klarifikasi wajib diterapkan?
Text sumpah jabatan hakim adalah sebagai berikut :
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.”
Pertanyaannya : adakah Surat Klarifikasi BPN ada di situ? Jawabnya : Tidak ada ! Ia bukan produk per-uu-an.
Sedangkan Janji Jabatan Hakim adalah sebagai berikut:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”.
Pertanyaan : adakah surat klarifikasi BPN di situ yang wajib dilaksanakan hakim? Jawabannya : Tidak ! Ia bukan produk per-uu-an.
Baik sumpah maupun janji hakim, mereka memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala Peraturan Per-UU-an dengan selurus-lurusnya.
Bagaimana kira-kira putusan hakim jika Penggugat mengajukan pembatalan PPJB atas alasan Surat Klarifikasi BPN?
Ada sebuah kasus perkara perdata, dimana penggugat adalah penjual di tanah itu sendiri mengajukan gugatan pembatalan akta PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) yang sudah ditandatangi berdasarkan Surat Klarifikasi BPN.
Apa isi surat itu?
Bahwa tanah obyek PPJB yang diajukan permohonan Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh penjual itu tidak dapat dikabulkan karena menurut data teknis di BPN, tanahnya termasuk sempadan pantai. Karena di dalam akta PPJB disebutkan syarat pelunasan tanah bahwa jika SHM yang diajukan sudah terbit, maka pelunasan segera dibayar. Karena SHM ini tak akan terbit karena surat klafifikasi BPN tadi, maka menurut Penggugat (penjual/pemilik tanah), PPJB itu batal demi hukum.
Dan untuk kepastian pembatalan tersebut, ia membutuhkan keputusan Pengadilan. Sebelumnya, tanah obyek PPJB adalah hak milik dan surat-surat alas hak alas hak adat lengkap disertai surat keterangan Kepala Desa. Dalam gugatannya, penggugat hanya mengandalkan bukti surat klarifikasi BPN, ia tidak menyertakan alat bukti surat alas hak milik dan surat keterangan Pemerintahan Desa kepada Hakim.
Karena Surat klarifikasi BPN bukan produk per-uu-an, maka sudah tentu hakim tidak memakai surat itu sebagai dasar hukum putusan. Hakim tentu memiliki pengetahuan hukum pada PPJB-nya, maka ia harus melihat, pertama; apakah surat alas hak atas tanah di PPJB itu sah atau bukan.
Apakah Pemerintahan Desa sebagai unsur Pemerintah paling bawah mengeluarkan surat keterangan atas tanah di PPJB sesuai atau bertentangan dengan per-uu-an atau tidak ? Selain itu, sebagaimana ketentuan UU Pokok Agraria, bahwa hak ulayat dan hak tanah berdasarkan tanah adat tetap diakui sepanjang masih ada. Kedua, apakah akta PPJB yang dibuat kedua pihak, yang merupakan UU yang berlaku bagi keduanya, sah sesuai ketentuan UU yang tertulis di KUH Perdata atau tidak (pasal 1338 dan pasal 1320 KUH Perdata). Ketiga, hakim harus melihat akibat bilamana bukti Surat Klarifikasi BPN diterapkan, maka akan berdampak pada penghapusan hak milik atas tanah obyek PPJB.
Dan hakim harus melihat, adakah iktikad penggugat sampai-sampai status tanah miliknya menjadi sempadan pantai? Jikalau hakim misalnya mengabulkan gugatan, maka justru akan berdampak pada pembatalan hak milik yang sudah ada berdasarkan surat alas surat alas hak & surat keterangan Pemerintahan Desa terhadapnya.
Untuk memperkuat analisis, mari kita lihat beberapa contoh putusan pengadilan:
1. Putusan MA No. 3703 K/Pdt/2016
MA menegaskan, pengadilan tidak berwenang membatalkan PPJB yang dibuat secara autentik oleh notaris, kecuali ada unsur wanprestasi atau perbuatan melawan hukum.
Artinya, PPJB hanya bisa dibatalkan dengan kesepakatan para pihak dalam akta autentik atau karena alasan hukum yang sah, bukan semata surat administratif.
2. Putusan PN Dompu (No. 15/Pdt.G/2019/PN Dpu) dan PN Cibinong (No. 138/Pdt.G/2021/PN Cbi)
PN Dompu: hakim menyatakan pihak wanprestasi harus mengganti kerugian, tapi PPJB tidak serta merta batal.
PN Cibinong: hakim menolak gugatan ganti rugi karena tidak cukup bukti, sehingga PPJB tetap berlaku.
Kedua putusan ini menunjukkan hakim menilai substansi hukum perjanjian dan bukti yang kuat, bukan hanya dokumen administratif.
3. Putusan PN Malang No. 12/Pdt.G/2017/PN MLG
Dalam kasus ini, PPJB dibatalkan karena terbukti ada wanprestasi dan penipuan dari pihak developer. Pembatalan tidak didasarkan pada dokumen administratif, melainkan fakta hukum bahwa salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban perjanjian.
Dari ketiga contoh tersebut terlihat jelas:
Pertama, Surat klarifikasi BPN bukan dasar hukum untuk membatalkan PPJB. Kedua, Hakim hanya akan membatalkan PPJB jika terbukti ada wanprestasi, penipuan, atau cacat hukum. Ketiga, Yurisprudensi Mahkamah Agung menegaskan pembatalan PPJB harus dilakukan lewat akta autentik atau kesepakatan para pihak. Keempat, Dokumen administratif (surat BPN atau surat desa) hanya dapat dipakai sebagai bukti tambahan, bukan bukti tunggal.
Maka, jika ada gugatan pembatalan PPJB yang hanya berdasar pada surat klarifikasi BPN, hampir pasti akan ditolak hakim.
Mengapa? Karena:
1. Surat klarifikasi BPN bukan produk perundang-undangan.
2. PPJB sah dan mengikat menurut KUH Perdata.
3. Hakim terikat pada peraturan perundang-undangan, bukan dokumen administratif.
4. Yurisprudensi Mahkamah Agung menunjukkan pembatalan PPJB hanya sah jika ada wanprestasi atau kesepakatan dalam akta autentik.
Oleh sebab itu, pihak yang merasa dirugikan tidak cukup hanya berpegang pada surat BPN, melainkan harus menunjukkan bukti kuat mengenai cacat hukum atau wanprestasi dalam perjanjian.
Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa putusan hakimnya adalah “menolak gugatan”.
Kenapa bukan putusan NO atau “tidak diterima”?
NO -baca En-O (Ontvankelijke Verklaard) merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh pemohon tidak dapat diterima karena dinilai memiliki cacat formil.
Apa saja cacat formilnya?
Yaitu cacat dokumen kelengkapan gugatannya (vide M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Acara Perdata” halaman 811). Putusan NO memberi peluang kepada Penggugat untuk mengajukan gugatan lagi, tapi dokumen gugatan harus sempurna atau tidak cacat formil.
Sama artinya, hakim menyetujui alasan gugatan, namun karena beberapa dokumen pengajuan gugatan cacat formil, maka tidak diterima. Jika hakim mengabaikan surat alas hak adat yang sah dan surat keterangan Pemerintahan Desa dimana tanah di PPJB tersebut hak milik, maka putusan NO ini berpotensi melawan hukum, hal mana justru melukai rasa keadilan yang sudah ada di masyarakat.
====
Penulis ; Advokat, kini berdomisili di Labuan Bajo, NTT.
Catatan redaksi : Semua isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penuh dari penulis.