Labuan Bajo | Okebajo.com | Sebuah ironi pahit menyelimuti warga Kampung Jengok, Desa Wae Jare, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur di tengah Labuan Bajo berstatus destinasi pariwisata super prioritas dengan fasilitas megah. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketertinggalan infrastruktur yang akut: akses jalan, jembatan, listrik, dan air bersih yang jauh dari kata layak.
Jembatan Tua: Taruhan Nyawa Sehari-hari
Akses utama yang menghubungkan Kampung Jengok dengan dunia luar adalah jembatan darurat yang terbuat dari bilah bambu yang rapuh. Jembatan ini, bukan hasil proyek pemerintah melainkan buah kerja keras gotong royong warga, adalah satu-satunya “urat nadi kehidupan” mereka.
Setiap hari, jembatan yang licin dan bergoyang ini menjadi saksi bisu perjuangan anak-anak sekolah harus meniti bilah bambu dengan hati-hati, mempertaruhkan keselamatan demi cita-cita.
Di atas jembatan ringkih ini warga membawa hasil bumi harus ekstra hati-hati, khawatir tergelincir jatuh ke sungai berarus deras di bawahnya.
Saat musim hujan, jembatan ini menjadi sangat berbahaya dan membuat Kampung Jengok benar-benar terisolasi.
Kondisi ini bukan sekadar ketidaknyamanan, tetapi pertaruhan nyawa yang menjadi rutinitas. Jembatan tua ini adalah simbol ketimpangan yang menjerat mereka.
Jeritan Sunyi di Tengah Kegelapan dan Kekeringan
Ketertinggalan Kampung Jengok tak berhenti di jembatan. Warga juga berjuang melawan krisis dasar lain.
Listrik. Kampung Jengok masih gelap di malam hari, membatasi aktivitas ekonomi dan belajar anak-anak.
Air Bersih. Akses terhadap air minum bersih masih menjadi masalah pelik, memaksa warga mengosumsi air sungai Wae Jare, sumber air yang kualitasnya mengancam kesehatan.
Jalan. Kondisi jalan desa yang rusak parah, berlumpur saat hujan, dan berbatu saat kemarau, menghambat mobilisasi dan meningkatkan biaya transportasi, membuat hasil panen sulit dipasarkan.
Harapan yang Menggantung di Labuan Bajo
Di saat Labuan Bajo sebagai ibukota kabupaten terus dipoles dengan dana besar, warga Kampung Jengok hanya bisa berharap agar penderitaan mereka terlihat dan didengar oleh pemangku kebijakan.
“Kami bukan meminta kemewahan, kami hanya meminta hak dasar kami sebagai warga negara: jembatan yang aman, jalan yang bisa dilalui, penerangan, dan air bersih,” ujar Donatus Semidun (58 tahun) salah seorang tokoh adat dengan nada penuh harap.
Kisah Kampung Jengok adalah sebuah teguran keras bagi kita semua. Ini adalah panggilan mendesak bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Pemerintah Desa Ware untuk segera bertindak nyata, mengubah jembatan bambu yang berisiko menjadi infrastruktur permanen, membawa terang listrik, dan menjamin akses air bersih. Pembangunan yang adil harus menjangkau setiap sudut negeri, agar tidak ada lagi nyawa yang terperangkap dalam jembatan harapan yang rapuh. *(Robert Perkasa)