Labuan Bajo | Okebajo.com |Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, Koperasi dan UKM Kabupaten Manggarai Barat, drh. Theresia Primadona Asmon (Nei Asmon) menjelaskan bahwa penetapan kawasan HPL itu dilakukan pada tahun 1997 sebelum Manggarai Barat jadi Kabupaten Otonom.
Ia menerangkan, penetapan kawasan HPL di wilayah itu dilakukan oleh Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan dengan Nomor 0001 tanggal 24 September 1997.
“Penetapan HPL itu tahun 1997 waktu masih Kabupaten Manggarai, oleh Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan dengan Nomor 0001 24 september tahun 1997”, terang Nei Asmon.
Dia jelaskan lagi bahwa beberapa tahun belakangan ini, BPN menolak pengurusan sertifikat tanah masyarakat karena tercatat berada di atas sertifikat HPL tersebut.
“Namun untuk membantu masyarakat yang memiliki lahan bukan di areal transmigrasi, Pemkab Manggarai Barat melalui Dinas terkait mengajukan surat ke Kementerian Desa yang mengurus transmigrasi saat ini untuk review HPL”, jelas Nei Asmon ketika dikonfirmasi Okebajo.com.
Bukan ISU Tapi FAKTA
Sumber terpercaya Media ini menyebut penetapan kawasan HPL di atas puluhan ribu hektar tanah milik warga masyarakat 3 Desa di wilayah selatan Kecamatan Komodo, itu bukan lagi sekadar ISU melainkan FAKTA.
Ia menegaskan penetapan kawasan HPL oleh Pemerintah merupakan sebuah ketidakadilan terbesar di Republik ini.
“Hal ini adalah sebuah ketidakadilan terbesar”, tegasnya.
Sumber lain di Labuan Bajo menyebutkan beberapa contoh kejadian yang menguatkan fakta di atas.
Disebutkan ada sejumlah warga pemilik tanah yang total luas keseluruhan puluhan hektar di wilayah selatan Kecamatan Komodo mengurus sertifikat tanah di Kantor BPN Manggarai Barat.
Anehnya, sertifikat-sertifikan sudah diterbitkan oleh BPN, namun hanya sekadar diperlihatkan. Tidak diserahkan kepada mereka karena terhalang adanya HPL itu.
“Banyak warga yang menangis sekarang. Ada yang ajukan sertifikat lima tahun lalu. Tapi jawaban BPN hanya tunggu dan tunggu terus. Tiba-tiba beberapa bulan lalu ada surat bahwa sertifikat saudara tidak bisa diterbitkan karena ada HPL di atas tanah tersebut”, ungkap sumber itu menyebut contoh.
Contoh lain yang menunjukkan kawasan HPL itu adalah FAKTA bukan ISU. Beberapa waktu lalu, ada sejumlah warga di wilayah selatan Kecamatan Komodo yang berusaha menuntut ganti rugi tanah terkait pelebaran jalan akses Labuan Bajo- Nanganae sampai Golo Mori.
Ia menegaskan, tidak mungkin warga mendapatkan ganti rugi. Sepeser pun tidak! Sebab begitu diberi ganti rugi, langsung masuk bui karena korupsi. Mana mungkin beri ganti rugi untuk jalan yang dibuat di atas tanah sertifikat HPL.
“Jadi, selagi masih ada HPL, tidak mungkin ada ganti rugi”, tegasnya.
HPL bikin warga gundah gulana
Masyarakat di kawasan selatan Kecamatan Komodo kini sedang cemas, resah dan gelisah ketika beredar luas gambar peta HPL melalui media sosial.
Warga gundah gulana akan kelangsungan hidup mereka ke depan. Pasalnya tanah garapan mereka bertahun-tahun lamanya ternyata diam-diam ditetapkan sebagai kawasan HPL oleh pemerintah secara sepihak dan tanpa sepengetahuan mereka.
Alexander Hagul, warga kampung Cumbi, Desa Warloka menceritakan, beberapa bulan lalu, ia mendapat informasi terkait kawasan HPL dari petugas Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) dan petugas dari Dinas Transmigrasi Kabupaten Manggarai Barat.
Petugas tersebut mengatakan kepadanya bahwa tanah miliknya seluas 32.086 M2 bahkan tanah milik semua warga di 3 Desa yang telah bersertifikat saat ini masuk dalam kawasan HPL.
“Kami mendapatkan informasi tersebut dari pihak BPN Manggarai Barat dan Dinas Transmigrasi bahwa beberapa bidang tanah milik saya yang berlokasi di Cumbi Desa Warloka yang sudah disertifikat masuk dalam kawasan HPL,” ungkap Alex Hagul saat ditemui Okebajo.com (Senin 13/3) di rumahnya.
Dia sebutkan bahwa ada sebidang tanah garapannya yang telah bersertifikat nomor 01159 yang diterbitkan pada tanggal 14 Desember 2011 oleh Kepala BPN Manggarai Barat secara prosedural dan ketentuan hukum yang berlaku.
Kini, tanah seluas 32.086 meter persegi di Desa Warloka itu termasuk di dalam peta kawasan HPL tanpa sepengetahuannya.
Atas dasar itu, bapak Alexander memohon informasi yang jelas dari Kepala BPN Manggarai Barat terkait hal tersebut.
Ia bertanya, tanah miliknya yang kemudian diklaim sebagai HPL itu atas nama siapa? Batas-batasnya di mana? Nomor sertifikat HPLnya berapa? Kapan itu dijadikan kawasan HPL? Atas dasar kesepakatan dengan siapa, di mana? Kapan kesepakatan itu dibuat? Siapa yang membuat HPL? HPL untuk siapa? batas-batas kawasan HPL itu di mana?
Dia mengaku, selama ini belum ada sosialisasi apapun dan dari pihak manapun terkait kawasan HPL itu.
“Selama ini tidak pernah ada sosialisasi kepada masyarakat terkait kawasan HPL ini. Kalau pernah sosialisasi, saya mau tanya itu di mana? Sosialisasi tentang apa dan dengan siapa?”, tanya bapak Alek Hagul.
Tidak tahu HPL
Kepala Desa Warloka, Suwandi menjelaskan hal senada. Bahwa pihak pemerintah Desa Warloka, Desa Macang Tanggar dan Desa Tiwu Nampar hingga saat ini tidak tahu menahu soal kawasan HPL itu.
Suwandi mengaku, sampai saat ini belum ada sosialisasi dari Pemkab Mabar maupun dari Pemerintah Kecamatan Komodo.
“Terkait kawasan PHL ini untuk sementara kami tidak tahu menahu termasuk dengan dua Desa tetangga”, aku Suwandi.
Ia mengatakan, informasi yang berkembang luas mengenai tanah HPL di wilayah 3 Desa itu masih simpang siur karena sampai saat ini belum ada sosialisasi dari Pemerintah Kabupaten maupun dari Kecamatan.
“Informasi seperti itu memang ada tapi sifatnya informasi lepas karena
sampai saat ini belum ada sosialisasi di tingkat Desa”, ujar Suwandi kepada Media ini di Kenari, Senin (13/3/2023) petang.
Suwandi menambahkan, pihaknya tetap melayani warga masyarakat yang berurusan dengan transaksi jual beli tanah di wilayah Desanya.
“Untuk saat ini berkaitan dengan urusan dokumen jual beli tanah dari masyarakat, ya tetap saya laksanakan karena masyarakat membutuhkannya. Informasi HPL ini kami benar-benar tidak tahu menahu,” ungkap Suwandi.
Ia juga menjelaskan, hampir semua tanah milik warga masyarakat di Desa Warloka sudah disertifikatkan pada tahun 2011 silam.
“Semua tanah milik masyarakat di Desa Warloka ini secara sudah disertifikatkan semua pada tahun 2011 lalu”, kata Suwandi.