Opini, Okebajo.com,- Gebyar perayaan menyambut Hari Ulang Tahun (H.U.T) ke-21 Kab. Manggarai Barat Barat (Mabar) begitu “menggelegar”. Setidaknya, itulah suasana yang kita tangkap dari lingkungan birokrasi di Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Mabar pada hari-hari jelang pesta akbar itu. Seabreak aktivitas sport,seni dan rekreatif digelar secara meriah. Sebuah ekspresi “emosionalitas” yang sangat natural dan wajar. Betapa tidak, Mabar kini sudah menginjak fase dewasa (21 tahun).
Upacara seremonial yang bersifat konsumtif serupa, tidak terlihat pada tahun 2023 lalu. Rezim Edi-Weng lebih memilih kegiatan yang bersifat produktif untuk memaknai peringatan H.U. itu. Bersama bapak bupati, warga Mabar, terutama yang ada di Labuan Bajo, didorong untuk ikut ‘menanam Bambu’ di seputaran spot wisata Gua Batu Cermin. Kita tidak tahu alasan di balik perubahan ‘cara memaknai’ hari lahir itu.
Sebagai rakyat jelata, yang kebetulan dilahirkan dan dibesarkan di Kabupaten ini, saya coba berpartisipasi dalam gegap-gempita perayaan itu dengan cara yang tidak lazim. Seperti biasa, saya coba menyingkir ke tempat yang sunyi untuk membuat semacam ‘kontemplasi’ seperti apa kondisi Mabar di usia yang ke-21 ini.
Layaknya seorang “gadis remaja yang imut dan manis”, tampilan Mabar kian hari kian menawan. Tak terhitung “pemuda wisatawan” yang jatuh dalam “pelukan mesrah” sang bunda Mabar. Kisah tentang kecantikannya sudah menembus sudut-sudut dunia. Bunda Mabar “layak” mendapat apresiasi di hari pesta kenangan akan Hari jadinya ini.
Jika indikatornya ‘pembangunan infrastruktur fisik’, maka Mabar boleh ‘berbusung dada’. Pasalnya, sejak tahun 2003 sampai 2023 agenda ‘mengadakan’ sarana-prasarana begitu massif dijalankan. Boleh dibilang, Mabar mengalami semacam ‘lompatan kemajuan yang signifikan’. Wajah Kabupaten ini mengalami perubahan yang drastis.
Sudah tidak terhitung gedung sekolah, fasilitas kesehatan, ruas jalan raya, jembatan, bantuan air minum bersih, dan fasilitas publik lainnya yang dibangun dan sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Belum lagi kalau kita berbicara tentang perkembangan sektor pariwisata. Kemajuan dalam bidang itu, tentu saja dengan cepat ‘menggugurkan penilaian’ soal status miskin dan terbelakang untuk Kabupaten ini.
Kabupaten mana yang bisa ‘menandingi’ prestasi yang ditorehkan oleh Mabar dalam urusan pariwisata di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)? Hotel dan restoran bertumbuh subur di sini. Bandara dan pelabuahan laut ditata sedemikian sehingga menjadi salah satu bandara dan pelabuhan terbaik di NTT. Biro perjalanan wisata juga beranak-pinak di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Belum lagi jika kita berbicara soal mega proyek pengembangan Golo Mori sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), maka kisah kemajuan itu, sulit dibantah. Labuan Bajo telah dibabtis oleh pemerintah pusat (Pempus) sebagai salah satu destinasi ‘super prioritas’ di Indonesia. Bahkan mungkin Labuan Bajo dianggap sebagai destinasi berkelas super-premium.
Untuk mendukung citra ‘destinasi super’ itu, dalam tempo yang singkat wajah Labuan Bajo dipoles sedemikian sehingga terlihat lebih jelita dan elok saat ini. Ruas jalan di kawasan yang dianggap strategis dan seksi ‘telah’ diperbaiki. Yang paling fenomenal adalah penggusuran dan pembukaan jalan menuju wilayah KEK Golo Mori.
Triliunan rupiah sudah digelontorkan untuk memuluskan pelaksanaan aneka proyek itu. Dengan tampilan yang kian memesona itu, Labuan Bajo telah dianggap ‘siap’ menyelenggarakan pelbagai event berskala nasional dan bahkan internasional. Yang teranyar adalah Labuan Bajo menjadi ‘tempat’ digelarnya pertemuan para pemimpin negara-negara ASEAN (ASEAN SUMMIT) pada Mei 2023 lalu. Dalam agenda awal, Golo Mori menjadi ‘venue’ utama pelaksanaan pertemuan internasional itu. Sayang, pada hari Puncak, Golo Mori, dinilai belum ‘siap’ sehingga dipindahkan di Labuan Bajo.
Kita tahu bahwa saat itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bekerja maraton dalam ‘merampungkan’ peningkatan dan pembangunan jalan baru dari Labuan Bajo menuju Golo Mori. Alasan menunjang perekonomian masyarakat, dikredit oleh Menteri PUPR Basuki Hadimuljono untuk menjustifikasi penggunaan anggaran yang fantastis dalam menyelesaikan ‘mega-proyek’ itu.
Secara sekilas, dalam rentang waktu 20 tahun ini, Mabar sudah ‘naik kelas’. Idealisme pembentukan Mabar, yaitu mendekatkan pelayanan dan mengakselerasi peningkatan kemaslahatan publik, seolah termanifestasi dengan baik. Keputusan untuk menjadikan Mabar sebagai ‘daerah otonomi penuh’, seakan-akan satu-satunya opsi agar wilayah bagian Barat Manggarai itu, keluar dari kubangan kemiskinan dan keterbelakangan.
Kendati demikian, pertanyaan kritisnya adalah apakah kemajuan sebuah Kabupaten itu hanya diukur dari sisi pembangunan infrastruktur fisik di beberapa titik itu? Apakah Labuan Bajo itu merepresentasikan Mabar secara keseluruhan? Apakah kondisi Labuan Bajo dan sekitarnya bisa dijadikan patokan untuk menilai Mabar secara keseluruhan? Benarkah proyek pembangunan fisik itu merata di semua pelosok Mabar dan telah membawa dampak positif bagi peningkatan ekonomi masyarakat?
Hal lain yang patut direnungkan juga adalah tendensi menjadikan pariwisata sebagai ‘leading sector’ pembangunan. Pertanyaannya adalah apakah mayoritas penduduk Mabar menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata? Bukankan sebagian besar penduduk Mabar itu bergerak di bidang pertanian dan perikanan? Lalu, mengapa aktivitas industri turisme yang gemerlap itu, dijadikan barometer untuk ‘mengukur’ tingkat kemajuan Mabar?
Keberadaan pelbagai infrastruktur fisik yang megah dan mewah dalam bidang pariwisata, tentu saja relatif tidak berpengaruh bagi perbaikan kualitas hidup mayoritas warga Mabar yang berprofesi sebagai petani. Mereka sama sekali tidak ‘terjamah’ oleh tangan pembangunan itu. Mengapa?
Masalahnya adalah mereka tidak diberdayakan untuk menjadi pemain utama dalam memenuhi kebutuhan pokok dalam industri pariwisata itu. Mereka tidak dibekali dengan skill dan modal yang cukup untuk mengoptimalkan lahan pertanian sebagai tempat budidaya aneka sayuran, buah, dan tanaman holtikultura sesuai permintaan pasar pariwisata.
Akibatnya adalah sistem dan pola yang digunakan petani masih bersifat konvensional. Kondisi semacam ini, tentu saja tidak banyak memberikan perubahan yang berarti. Tidak heran jika petani di Manggarai Barat rata-rata memperoleh pendapatan per kapita hanya sebesar Rp 7,13 juta per tahun. Mengenai kepastian data ini, bisa dicek pada data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2021-2026.
Dengan tingkat pendapatan semacam ini, rasanya kita sulit mengatakan bahwa Mabar adalah Kabupaten yang maju dan kaya. Kita mesti jujur mengakui bahwa setelah 21 tahun berlalu, Mabar tetap stagnan. Label sebagai Kabupaten Miskin, rasanya belum pantas dicabut.
Padahal, kita tahu bahwa pertanian dan perikanan di Mabar itu sebagai sektor utama penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tetapi, anehnya kedua sektor ini tidak ditangani secara serius. Kita justru terhipnotis dengan ‘janji surga’ yang ditawarkan BPOLBF yang tak pernah henti mewartakan pariwisata sebagai ‘jalan keselamatan’.
‘Ketidakpedulian’ itu berimplikasi pada termarginalisasinya kedua sektor ini yang jika tidak direspons dengan arif, tentu bisa berimbas pada penurunan kontribusinya terhadap PDRB. Predikat sebagai Kabupaten miskin, tetap tak beranjak. Proyek pembangunan yang digagas dan dieksekusi oleh pemerintah selama ini, dengan demikian ‘tidak konek’ dengan kebutuhan mayoritas masyarakat Mabar.
Bupati Mabar, Edistasius Endi dalam sambutan pada perayaan H.U.T Mabar tahun 2023 lalu mengakui bahwa penurunan jumlah penduduk miskin sepanjang dua dekade usia kabupaten ini tidak signifikan. “Angka kemiskinan kita walaupun kecenderungannya menurun tapi tidak signifikan,” kata Edi Endi.
Ini kabar baik sebab bupati sebagai ‘pemimpin politik top’ di sini, ‘sadar’ akan kondisi kemiskinan yang dialami sebagian warganya. Pernyataan bupati Edi itu pasti berdasarkan ‘hasil diagnosa yang akurat’. Berharap rejim Edi-Weng telah menemukan formula yang tepat untuk ‘mengatasi problem kemiskinan’ itu.
Jangan ‘terjebak’ dengan narasi besar yang bergaung megah dalam dunia pariwisata. Skema pembangunan pariwisata yang didesain pemerintah, alih-alih memberantas kemiskinan, justru membuat masyarakat tambah miskin. Masalahnya, skema pembangunan yang bersifat elitis dan sentralistis itu, cenderung membuat warga lokal, tersingkir dan teralienasi. Peningkatan sumber daya manusia di bidang pertanian, peternakan dan perikanan, tidak pernah menjadi ‘agenda super-prioritas’ yang mendesak untuk dieksekusi.
Saya kira, jika pemerintah (Negara) punya tekad dan kemauan politik yang kuat untuk ‘mengatasi isu kemiskinan dan keterbelakangan’ di Mabar, maka pariwisata bukan satu-satunya pilihan. Yang paling realistis dan logis adalah mendesain dan mengimplementasikan kebijakan politik yang berpihak pada pola hidup para petani, peternak dan nelayan. Yang harus diberdayakan dan dibantu adalah para petani, peternak, dan nelayan.
Dengan demikian, meski ada 1000 BPOLBF di Mabar, kemiskinan tetap tak teratasi. Mengapa? BPOLBF dan lembaga bentukan Pempus lainnya di bidang pariwisata, tidak hadir untuk ‘menolong’ petani. Mereka ada untuk memfasilitasi niat investor atau kaum kapitalis dalam mengeruk untung pada bidang bisnis pariwisata.
Meski ribuan hektar hutan ‘diserahkan’ ke BPOLBF untuk dikembangkan menjadi spot wisata baru, Mabar tetap miskin. Sekali lagi, BPOLBF hadir dengan pelbagai programnya, sama sekali tidak bersentuhan dengan kebutuhan petani, tetapi melayani kepentingan segelintir kaum kapitalis. Semakin banyak proyek pembangunan dan pelatihan yang digagas BPOLBF, Mabar semakin miskin dan terpencil. Semua pembangunan itu hanya dinikmati oleh kelompok tertentu.
Jadi, pada usia yang ke-21 ini, wajah paradoksal Kabupaten ini, belum lenyap. Di satu sisi, Kabupaten ini dianugerahi oleh Sang Khalik sumber daya alam dan budaya yang melimpah. Kenyataan kelimpahan itu, pada sisi yang lain, tak membuat Kabupaten ini mengalami lompatan kemajuan yang signifikan. Sumber daya yang potensial itu, belum mampu ‘dikonversi’ menjadi ‘emas kesejahteraan’ yang dinikmati oleh semua warganya.
Kenyataan miris itu, tidak membuat semangat kita untuk merayakan hari jadi kabupaten ini, agak kendor. Bagaimanapun juga, Mabar yang diperjuangkan secara berdarah-darah oleh para pendahulu kita, boleh bernafas lega sebab kini usianya sudah kian matang.
Realitas paradoks di atas, semestinya menjadi ‘cambuk’ bagi para pengambil kebijakan untuk mendesain dan mengimplementasikan kerja-kerja politik inovatif, kreatif, dan progresif yang berimplikasi pada pengakselerasian peningkatan level kemaslahatan publik. Rakyat Mabar ‘tak seharusnya’ melarat di dalam lumbung sumber daya alam yang kaya, subur, dan beragam itu.
Oleh : Silvester Joni)*
*) Penulis adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.