Labuan Bajo, Okebajo.com – Nama Erwin Kadiman Santoso kian santer dibicarakan dalam pusaran konflik agraria di Labuan Bajo, khususnya dalam sengketa lahan seluas 11 hektare milik ahli waris alm. Ibrahim Hanta dan tanah seluas 3.1 hektar milik 7 warga asli Labuan Bajo yang terletak di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT.
Warga yang menjadi korban dalam sengketa tersebut tak segan-segan menyebut sosok Erwin Kadiman Santoso diduga kuat menjalankan peran sebagai broker tanah atau makelar yang beroperasi dengan cara-cara kotor.
“Kami dengar dari sumber terpercaya kami di Jakarta bahwa ternyata Erwin Kadiman itu bukan pemilik Hotel St. regist tetapi dia itu seorang broker atau makelar tanah karena praktik yang ia lakukan dinilai mencerminkan pola-pola mafia tanah, kami dari awal menduga kuat dia memanfaatkan celah administrasi, bekerja sama dengan sejumlah aktor mafia tanah di Labuan Bajo dan mengabaikan hak-hak masyarakat kecil,” kata Zulkarnain Djudje pada Minggu, (1/6/2025).
Zulkarnain menjelaskan bahwa nama Erwin Kadiman Santoso bukan figur asing dalam dunia investasi dan pertanahan di kawasan wisata premium seperti Labuan Bajo.
“Ya kami menduga orang ini memiliki relasi kuat dengan sejumlah pengusaha nasional, dan terlibat dalam beberapa transaksi properti bernilai tinggi. Namun dalam banyak kasus, seperti yang terjadi di Keranga, perannya kerap muncul sebagai pembeli atau pemodal dalam jual beli tanah yang bermasalah,” kata Zulkarnain.
Ia menuturkan bahwa bagaimana tidak disebut sebagai seorang broker, buktinya Erwin Kadiman Santoso membeli tanah milik kami dari tangan orang lain yang jelas-jelas tidak mempunyai surat alas hak tanah asli dan bukan pemilik tanah asli.
“Kasus ini kan bermula dari klaim sepihak atas lahan 40 hektare di Keranga yang kemudian berujung pada tumpang tindih dengan tanah warisan keluarga besar Ibrahim Hanta seluas 11 hektar, kemudian di dalamnya juga termasuk milik 7 orang warga asli Labuan Bajo yang kami peroleh secara sah dari Fungsionaris Adat Nggorang seluas 3,1 hektare. Namun tanpa keterlibatan kami pada tahun 2014 lahan tersebut diketahui telah berpindah tangan melalui Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Nikolaus Naput dan Erwin Kadiman Santoso,” Ungkap Anton Hantam (78) salah satu sesepuh Fungsionaris Adat Nggorang dan juga salah satu orang kepercayaan almarhum Haji Ishaka (ayah Haji Ramang.red).
Dalam dokumen akta PPJB yang salinanya diperoleh media ini, nama Erwin Kadiman Santoso muncul sebagai pembeli tanah yang dijual oleh Nikolaus Naput dan anak-anaknya, yakni Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grant Naput.
“Tanah tersebut sudah dikuasi sejak tahun 1973 oleh keluarga kami dan sampai saat ini tidak pernah diperjualbelikan secara sah kepada pihak luar,” kata Muhamad Rudini, ahli waris Alm. Ibrahim Hanta.
Modus : Klaim Sepihak, Sertifikat Ganda, dan Pemalsuan Administrasi
Investigasi menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa proses transaksi yang melibatkan Erwin Kadiman Santoso dilakukan tanpa dasar penguasaan riil di lapangan. Bahkan, Kejaksaan Agung RI dalam penyelidikan kasus lahan St. Regis Labuan Bajo telah menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) yang berasal dari klaim 40 hektare atas nama keluarga Naput merupakan produk cacat hukum dan administrasi. Meski demikian, transaksi tetap berlangsung dan sertifikat tetap terbit.
“Inilah yang menjadi indikasi utama keterlibatan pola mafia tanah, tanah rakyat yang secara fisik dikuasai oleh satu pihak, namun diklaim dan dijual oleh pihak lain melalui kerja sama dengan oknum aparat atau pejabat terkait,” kata Anton Hantam
Sementara itu, Jon Kadis, SH., salah satu anggota tim kuasa dari keluarga ahli wais Ibrahim Hanta mengaku bahwa dalam kesaksiannya, Erwin Kadiman Santoso tidak pernah hadir langsung saat proses transaksi berlangsung bahkan selama perkara persidangan di pengadilan. Namanya hanya muncul di dokumen, sementara proses penguasaan fisik di lapangan diserahkan kepada pihak lain atau kuasa hukumnya.
“Erwin ini hanya muncul saat acara groundbraking pembangunan hotel St. Regist Labuan Bajo pada tahun 2022. Mukanya hanya muncul saat itu saja. Ini memperkuat dugaan klien kami bahwa ia hanya berperan sebagai “penadah” tanah sengketa yang telah direkayasa secara administratif,” tegas Jon Kadis.
Dugaan Persekongkolan: BPN, Mafia, dan Investasi
Dalam Catatan Okebajo.com, pada Tahun 2017, BPN Labuan Bajo secara sepihak menerbitkan dua Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anak-anak Nikolaus Naput di atas tanah sengketa. Ironisnya, ketika keluarga Hanta mengajukan permohonan sertifikat di atas tanah yang jelas-jelas mereka kuasai secara fisik, mereka justru disarankan untuk menggugat secara perdata.
Pada 2024, ahli waris melalui cucu Ibrahim Hanta, Muhamad Rudini, menggugat secara resmi di PN Labuan Bajo (Perkara No. 1/Pdt.G/2024/PN.LBJ). Gugatan ini diiringi dengan ritual adat penumpahan darah hewan dan doa leluhur yang menandai tekad mereka mempertahankan hak sampai titik darah terakhir.
Namun ketegangan meningkat ketika Kepala BPN Manggarai Barat, Gatot Suyanto yang menjabat saat itu memproses perubahan SHM menjadi SHGB atas permohonan Ika Yunita, yang disinyalir sebagai sekretaris pribadi Erwin. Aksi demonstrasi dari keluarga ahli waris Ibrahim Hanta pun terus dilakukan di depan kantor BPN dengan pekikan: “BPN sarang mafia tanah!”
Temuan Kejagung: SHM Cacat, Lokasi Salah, Transaksi Ilegal
Pada 23 Agustus 2024, pukulan telak datang dari Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI. Hasil investigasi menyebutkan bahwa dua SHM anak Naput cacat yuridis, administrasi, salah lokasi, dan tanpa alas hak asli. Kejagung menyurati BPN serta menyarankan Pemda Manggarai Barat untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha dari PT. Bumi Indah Internasional agar sesuai dengan syarat-syarat dalam persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) sehingga investasi yang dilakukan tidak ditemukan perbuatan melawan hukum.
Dalam amar putusan tanggal 23 Oktober 2024, PN Labuan Bajo mengabulkan seluruh gugatan keluarga Ibrahim Hanta menyatakan mereka sebagai pemilik sah tanah 11 hektare, membatalkan akta PPJB 40 hektare, dan menolak seluruh klaim pihak Erwin Kadiman Santoso dan ahli waris Niko Naput.
Namun tak gentar, pihak Kadiman mengajukan banding. Pada 18 Maret 2025, PT Kupang kembali memenangkan keluarga Hanta, menguatkan putusan PN dan mengabaikan keterangan saksi ahli dari pihak Kadiman karena dianggap tidak ilmiah dan tak relevan.
Kasasi: Perlawanan Mafia Belum Selesai
Pada Mei 2025, pihak Kadiman dan Naput kembali melawan, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Langkah ini memunculkan spekulasi liar.
“Secara hukum, ini sudah final. Tapi kenapa masih dilanjut? Apakah ada faktor X yang bekerja?” kata Irjen Pol (Purn) I Wayan Sukawinaya, ketua tim penasihat hukum keluarga Ibrahim Hanta.
Yang disebut faktor X adalah dugaan jaringan mafia tanah: kolusi antara oknum pengusaha, BPN, notaris, bahkan fungsionaris adat. “Mereka pura-pura buta terhadap temuan Kejagung, yang jelas-jelas menyatakan bahwa SHM dan transaksi Kadiman-Naput adalah ilegal,” kata I Wayan.
Jon Kadis, SH, yang juga seorang budayawan suku To’e Kempo Mese, menambahkan bahwa kemenangan ini penting bagi masa depan investasi yang sehat di Labuan Bajo.
“Jangan biarkan mafia tanah mencoreng wajah pariwisata nasional,” tegasnya.
Sementara itu Mikael Mensen, salah satu orang tua dalam keluarga Ibrahim Hanta menyatakan bahwa mereka tidak menolak pembangunan di Labuan Bajo.
“Kami 100% mendukung investasi. Tapi jangan injak-injak harga diri kami. Apalagi jika mereka datang tawar tanah kami ini dengan harga di bawah NJOP dan seolah-olah kami tidak punya hak apa-apa. Itu penghinaan.” kata Mikael.
Ia bahkan mengungkap bahwa dahulu, kerbau milik Ibrahim Hanta dijual demi membiayai sekolah anak-anak fungsionaris adat yaitu Haji Ramang Ishaka.
“Dan kini mereka membalasnya dengan menjual tanah kami pada orang luar? Erwin Kadiman harus tahu, kami tidak akan menyerah.” tegas Mikael.
Sejauh ini, Erwin Kadiman Santoso tidak pernah muncul ke publik atau memberi klarifikasi. Upaya konfirmasi oleh jurnalis kepada dirinya maupun sekretaris pribadinya Ika Yunita tidak pernah direspons.
Ketiadaan ini justru menguatkan kecurigaan bahwa ia ingin bersembunyi di balik akta dan dokumen. Namun suara rakyat Keranga, dan darah adat yang tertumpah, akan terus menuntut keadilan.
Anton Hantam (78), salah satu sesepuh Fungsionaris Adat Nggorang, juga orang kepercayaan mendiang Haji Ishaka dan tokoh sentral dalam sejarah pengelolaan tanah ulayat di Labuan Bajo mengungkapkan kekecewaannya terkait batalnya rencana pembangunan sekolah perikanan di atas lahan Keranga, yang kini justru menjadi bagian dari sengketa 40 hektare tanah dalam PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) atas nama Erwin Santosa Kadiman. Tanah yang dulunya diniatkan untuk kepentingan publik kini justru menjelma menjadi simbol konflik, dugaan mafia, dan keterlibatan oknum adat.
“Pada masa lalu, peran tokoh adat seperti Haji Ishaka dan Haku Mustafa sangat dihargai. Pemerintah baik saat Manggarai masih belum mekar, maupun sesudahnya sangat terbantu dengan adanya fungsionaris adat dalam penyediaan lahan untuk kantor-kantor pemerintahan,” kisahnya.
Tetapi kata Anton, segalanya berubah. Lahan yang dulu disepakati untuk pemda kini menjadi sengketa. Bahkan, ada perkara sebelumnya ini menyeret beberapa nama ke jeruji besi lewat kasus Tipikor.
Ketika Kapu Manuk Lele Tuak Terkhianati
Sekitar tahun 1990-an, seorang insinyur pertanian bernama Nikolaus Naput datang menghadap Haji Ishaka, memohon sebidang tanah. Seperti biasa dalam tradisi “kapu manuk lele tuak” tanda permohonan adat. Hasilnya: 10 hektare untuk Niko Naput dan 5 hektare untuk istrinya, Beatrix.
“Namun ketika tanah tersebut ditata ulang tahun 1998, diketahui bahwa klaim itu tumpang tindih dengan lahan yang sudah diperuntukkan bagi kepentingan Pemda. Haji Ishaka membatalkannya. Pembatalan juga berlaku untuk 16 ha yang dibeli Niko dari H. Nasar Sopu karena tanah itu pun menindih hak orang lain,” ungkap Anton.
Florianus Surian Adu memberikan kesaksian bahwa masalah muncul ketika klaim 40 ha itu dihidupkan kembali. Padahal, dalam kesaksian di pengadilan Tipikor, Haji Ramang, putra H. Ishaka sekaligus fungsionaris adat bersumpah bahwa klaim tanah Niko Naput sudah dibatalkan secara sah oleh adat sejak 1998 dan sudah ada putusan Inkrah.
Masalah mencapai puncaknya ketika pada tahun 2014, sebuah PPJB tanah 40 hektare dibuat oleh Notaris Bily Ginta. Di atas akta itu, termuat tanah-tanah yang sudah dibatalkan secara adat sejak 1998, Tapi pembeli tetap maju, bersikeras membangun Hotel St. Regis salah satu proyek prestisius di kawasan super premium Labuan Bajo tepat di atas lahan milik 7 warga yang sah secara adat.
“Erwin membeli tanah seluas 40 hektare lewat PPJB pada tahun 2014, yang ironisnya, sebagian besar lahannya sudah dibatalkan oleh Fungsionaris Adat Nggorang sejak 1998, karena tumpang tindih dengan tanah milik pemda dan masyarakat adat. Bukan rahasia lagi bahwa lokasi tersebut semula disiapkan untuk kepentingan publik, termasuk pembangunan sekolah kejuruan perikanan yang telah direncanakan sejak era Bupati Gaspar Ehok,” beber Florianus.
Namun Erwin tetap maju. Florianus menuturkan bahwa Erwin tidak peduli bahwa tanah yang dibelinya telah bermasalah secara hukum adat. Ia juga tidak menggubris fakta bahwa kesaksian adat telah menegaskan tidak ada hak atas nama Nikolaus Naput penjual tanah di atas lahan itu.
“Yang ia kejar hanyalah proyek besar, keuntungan besar, dan pembangunan hotel mewah dan mengorbankan masyarakat kecil,” tutup Florianus