Erwin Kadiman Santoso dan Anak Nikolaus Naput Diduga akan Menguasai 3,1 Ha Tanah Keranga Tanpa Alas Hak

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com – Aktivitas mencurigakan kembali terjadi di sekitar lahan seluas 3,1 hektare di Keranga, yang selama ini diklaim milik tujuh warga asli Labuan Bajo. Pada Senin, 2 Juni 2025 sekitar pukul 11.00 WITA, sejumlah oknum muncul di lokasi dan kehadiran mereka diduga terkait rencana pengukuran tanah atas permohonan pihak ketiga berdasarkan surat dari BPN Manggarai Barat tertanggal 26 Mei 2025.

Hal itu diungkapkan Zulkarnain Djudje, kepada media ini, Selasa 3 Juni 2025 sore. Ia mengungkapkan bahwa mereka hadir di sekitar area yang masih disengketakan dan tak pelak memicu kecurigaan dari kalangan 7 warga pemilik sah lahan 3,1 ha tersebut yang merasa wilayahnya telah dijarah secara diam-diam.

Zulkarnain menyebut bahwa salah satu yang diundang oleh BPN dan turut hadir di sekitar lokasi tanah 3,1 hektar tersebut adalah Paulus Grant Naput, putra dari almarhum Nikolaus Naput, sosok kontroversial yang selama ini dikaitkan dengan adanya dugaan klaim sepihak atas lahan seluas 40 hektare di Keranga. Ia datang ditemani Emeltus Jemau, warga Ruteng yang dikenal dekat dengan berbagai urusan pertanahan.

“Keduanya terlihat mendekati batas tanah yang berbatasan langsung dengan area milik tetangga yang rencananya akan diukur oleh tim Badan Pertanahan Nasional (BPN),” ungkap Zulkarnain.

Diketahui, tanah seluas 3,1 hektare itu sebelumnya diduga diinkorporasi sepihak sebagai bagian dari klaim 40 hektare yang dibeli secara bertahap oleh Erwin Kadiman Santoso melalui perjanjian PPJB dengan alm. Nikolaus Naput pada Januari 2014 di hadapan Notaris Billy Gintanyang pada saat itu hanya membayar uang muka kepada Niko Naput dan pembayaran selanjutnya akan dilakukkan apabila sudah terbit SHM.

Zulkarnain yang turut hadir atas undangan BPN tersebut menuturkan bahwa Paulus Naput dan Emeltus terlihat membawa map berisi dokumen dan melakukan pembicaraan singkat dengan beberapa orang di lokasi.

“Diduga kuat, kedatangan mereka adalah untuk menandatangani batas tanah, sebuah prosedur formal yang kerap dilakukan sebelum pengukuran dilakukan oleh BPN,” kata Zulkarnain.

Namun yang menjadi ganjal kata Zulkarnain, tanah yang mereka datangi adalah bagian dari lahan 3,1 hektare yang diklaim dan dikuasai oleh tujuh warga asli Labuan Bajo sejak 1992 berdasarkan surat perolehan hak dari fungsionaris ulayat. Zulkarnain pun mengaku tidak pernah menjual tanah tersebut kepada siapa pun, apalagi kepada keluarga Nikolaus Naput.

“Saya kaget saat lihat mereka di lokasi. Sementara kami tidak pernah jual tanah itu. Kalau mereka tandatangan batas, atas dasar apa? SHM belum ada, dan putusan pengadilan juga sudah jelas,” ungkapnya.

Menurutnya, kehadiran Paulus Grant dan Emeltus Jemaun ini diduga merupakan bagian dari manuver hukum diam-diam untuk melegalkan penguasaan lahan melalui proses pengukuran BPN atas nama pihak ketiga yakni Ricki Handika Tan dan Abdullah Sultan, dua nama yang tercantum dalam surat pemberitahuan pengukuran BPN tertanggal 26 Mei 2025.

Namun dalam surat BPN itu kata dia, ada kejanggalan. Yang mana salah satu yang diundang untuk hadir dalam pengukuran adalah Haji Ramang Ishaka (anak dari alm. ketua fungsionaris adat Nggorang) dan Muhamad Syair, cucu dari Wakil Fungsionaris Adat Nggorang, namun Keduanya tidak hadir di lokasi tersebut.

“Kalau tidak ada alas hak, kenapa berani datang dan tandatangan batas? Ini seperti cara-cara mafia tanah yang biasa kami dengar dari berita di kota-kota besar,” ujar Lambertus Paji, salah satu korban yang turut kehilangan tanahnya akibat klaim sepihak ini.

Sebelumnya, dalam pusaran konflik tanah Keranga ini, keluarga ahli waris dari alm. Ibrahim Hanta (IH) menjadi korban pertama dalam konflik ini. Tanpa sepengetahuan mereka, pada tahun 2017, Sertifikat Hak Milik atas nama Paulus Grant Naput dan Maria Fatmawati Naput terbit di atas tanah seluas 11 Ha milik leluhur mereka. Sengketa ini kemudian bergulir ke ranah hukum. Putusan Pengadilan Negeri Labuan Bajo dan Pengadilan Tinggi Kupang dalam perkara no.1/2024 Lbj, menyatakan bahwa klaim atas lahan 40 hektare itu oleh ahli waris Nikolaus Naput dan Erwin Kadiman Santoso tidak sah karena tidak memiliki alas hak yang valid. Meskipun demikian, pihak pembeli tetap mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

“Kami menunggu putusan kasasi. Tapi sejak 2014, kami terus mendapat intimidasi dari pihak-pihak yang mengaku mewakili pembeli tanah itu,” ungkap Muhamad Rudini, salah satu ahli waris alm. Ibrahim Hanta.

Hal itu juga diperkuat dengan kesaksian Mikael Mensen, salah satu orang tua dalam keluarga ahli waris Ibrahim Hanta yang menceritakan pengalaman menegangkan.

“Pernah satu waktu, sekitar pukul 04.00 pagi di awal Mei 2025, empat orang berbadan tinggi tegap mendatangi rumah saya, mereka menyodorkan map berisi dokumen tanah. Mereka bilang, ‘Kalau mau selamat, tanda tangan ini.’ Saya menolak. Saya tahu Tuhan dan leluhur belum menghendaki saya mati saat itu. Saya tidak takut,” kisah Mikael.

Ia menduga orang-orang itu hanyalah ‘alat’ dari aktor utama yang bermain di belakang layar.

“Hati-hati, kalian hanya dijadikan pion,” pesannya.

Selain keluarga ahli waris Alm. Ibrahim Hanta, Ketujuh warga lokal pemilik tanah 3,1 hektare di Kerangan pun menjadi korban berikutnya. Mereka menyebut bahwa sejak 2021, tanah yang mereka miliki berdasarkan surat ulayat tahun 1992 tiba-tiba dikuasai oleh pihak luar tanpa pemberitahuan. Bahkan, area tersebut dijadikan lokasi peresmian groundbreaking pembangunan Hotel St. Regis oleh investor dari Jakarta.

“Kami tidak pernah menjual tanah kami. Tapi tiba-tiba dibuat spanduk yang menyatakan tanah ini milik ahli waris Nikolaus Naput. Ada bangunan basecamp, mesin olahan batu, dan bahkan dua excavator tampak bekerja di sana,” ungkap Lambertus Paji, salah satu pemilik tanah tersebut.

Melihat indikasi penyerobotan yang semakin terang-terangan, 7 warga Labuan Bajo yang mengklaim sebagai pemilik lahan sah seluas 3,1 hektar di Keranga kini bersatu untuk mengajukan gugatan perdata dan laporan pidana, yang dipimpin oleh tim kuasa hukum Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si.

“Setelah nanti gugatan perkara didaftarkan, kami 7 orang beserta anak cucu kami beramai-ramai membongkar pagarnya, memasang spanduk tanda kepemilikan kami, serta menyingkirkan property milik Erwin Kadiman Santoso yang diduga seorang malelar itu dan juga anak Niko Naput di situ,” tegas Zulkarnain.

Lambertus Paji menambahkan bahwa mereka berencana membongkar pagar yang dibangun sepihak dan memasang papan peringatan di atas lahan mereka.

“Setelah gugatan diajukan, kami akan segera mengolah tanah itu, mempertahankannya sampai tetes darah terakir. Alam dan leluhur ada beserta kami. Kami tidak takut manusia, kami hanya takut Tuhan. Kami siap mempertahankan tanah ini hingga titik darah terakhir,” tegas Lambertus Paji (70).

Lambertus mengaku bahwa pihaknya sungguh terluka atas ulah oknum-oknum mafia tanah ini.

“Pada usia tua ini saya ingin mati di tanah saya itu untuk pertahankan milik saya demi anak cucu. Jikalau pada usia tua ini saya mati sebelum tanah saya dikosongkan, maka roh saya akan tinggal di sana, menanti kehadiran Erwin Kadiman Santosa di situ. Kalau tidak ada di situ, maka saya akan mencarinya sampai ke lobang tikus. Termasuk siapapun orang yang ditugaskan sebagai petugas bamper jaga tanah itu, maka saya akan bereskan dengan cara saya dari alam seberang”, kata Lambertus Paji dengan nada gemetar disertai mata berkaca-kaca.

Diketahui, dalam berbagai upaya melegitimasi penguasaan tanah tersebut, Mikael Mensen menyebut bahwa Erwin Kadiman melalui anak buahnya di lapangan selalu menyebut “ada jendral di balik kepemilikan tanah 40 ha. Para ahli waris alm. Ibrahim Hanta dan dan juga 7 warga pemilik tanah 3,1 hektar menilai narasi ini sebagai upaya menakut-nakuti dan mencoreng marwah jabatan militer.

“Seharusnya jenderal berdiri di sisi kebenaran, bukan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menguasai tanah tanpa hak,” kata Mikael.

Sementara itu Irjen Pol (P) Drs.I Wayan Sukawinaya, M.Si, ketua tim PH ahli waris IH da 7 orang pemilik 3,1 hektare di Kerangan, Labuan Bajo, didampingi rekan tim Dr(c) Indra Triantoro dan Jon Kadis, SH. mengungkapkan bahwa berdasarkan informasi dari klienya ternyata Erwin Kadiman Santoso itu bukan Pemilik Hotel St. Regist tetapi seorang yang diduga Makelar tanah alis broker berkedok investor. Menurutnya, atas ulah Erwin tersebut sehingga pemilik asli hotel St. Regist. menjadi korban karena diduga ditipu olehnya.

“Ia terbongkar ternyata hanya makelar. Sejak 2021, saat groundbreaking pembangunan hotel itu yang rencananya selesai 2024, sampai kini belum terwujud. Nah, hotel St Regis itu jadi korban ‘kan? Terhambat laju rencana investasinya. Yah, jadi makelar sih tidak selalu negatif. Bisa juga berarti positif, bila seorang makelar berdiri di atas kebenaran dan kepatutan. Toh gak ada pekerjaan tanpa upah. Selalu ada. Tapi ya, itu tadi, harus wajar dan patut, tidak mengorbankan hak orang lain,” kata Wayan

Jon Kadis, S.H menambahkan bahwa sebagi orang Labuan Bajo, harusnya bersyukur jika ada investor yang mau berinvestasi di sini.

“Apalagi kondisi Labuan Bajo dengan icon biawak Komodo dan pariwisata bahari kini terbuka bagi dunia ketika Presiden menetapkan kawasan ini destinasi pariwisata super prioritas.
Ketika ada anggota masyarakat yang keadilan dan kebenarannya tertindas, maka kami berani mengadvokasinya, tujuannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, bukan karena kepentingan profesi belaka”, ucap Jon Kadis.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *