Labuan Bajo, Okebajo.com – Praktik tak lazim diduga merebak dalam pengelolaan dana desa di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Sejumlah pemerintah desa disebut-sebut memilih jalan pintas dengan menyewa jasa oknum pegawai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) untuk menyusun Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Imbalannya tak sedikit: mencapai Rp 10 juta per tahun untuk setiap desa.
Langkah ini, menurut pengakuan sejumlah perangkat desa, terpaksa diambil untuk menghindari proses verifikasi yang berbelit-belit.
“Setiap kali kami susun dan serahkan, pasti dikoreksi habis-habisan, padahal kami merasa sudah sesuai aturan,” kata seorang sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan, Selasa, 10 Juni 2025.
Sumber tersebut menyebut dua inisial pegawai Dinas PMD yang diduga kerap menerima pekerjaan ini.
“Saya sebut inisial saja, ada Pak SL dan Pak F. Tanya saja di dinas, pasti orang tahu,” ujarnya.
Besaran biaya untuk jasa tersebut dikonfirmasi mencapai Rp 10 juta per desa per tahun. Ironisnya, dana untuk membayar jasa itu diduga diambil dari anggaran dana desa.
“Masa kami harus keluarkan uang pribadi? Jelas kami ambil dari Dana Desa. Kami siasati saja di laporan nanti,” kata A seorang kepala desa yang masih aktif, secara terbuka.
Praktik ini diyakini bukan fenomena baru. Seorang mantan kepala desa berinisial R membenarkan pola serupa sudah berlangsung lama.
“Kalau mau aman dan cepat, ya serahkan saja ke orang dalam. Semua jadi lancar,” tuturnya.
Dengan 164 desa di Manggarai Barat, potensi perputaran uang dari praktik ini bisa mencapai miliaran rupiah. Kalkulasi sederhana menunjukkan, jika setiap desa membayar Rp 10 juta, total dana yang mengalir ke kantong oknum bisa mencapai Rp 1,64 miliar per tahun. Jika praktik ini berjalan lima tahun, angkanya bisa tembus Rp 8,2 miliar.
Praktik ini jelas menabrak aturan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta peraturan teknis di bawahnya mengamanatkan SPJ disusun oleh pemerintah desa. Dinas PMD, sebagai pembina dan pengawas, semestinya menjaga jarak dari pengerjaan teknis untuk menghindari konflik kepentingan.
Fantastis! Ini bukan sekadar angka. Ini adalah simulasi kasar tentang potensi kebocoran dana desa secara sistemik dan terorganisir, yang tersembunyi di balik dokumen SPJ yang terlihat “beres” di atas kertas.
Dinas PMD seharusnya membina dan mengawasi, bukan ikut serta dalam pelaksanaan teknis, apalagi menyusun dokumen pertanggungjawaban keuangan. Namun, dalam praktiknya, garis batas antara fungsi pembinaan dan keterlibatan langsung dalam teknis keuangan desa jadi buram. Hal ini membuka celah penyalahgunaan wewenang dan potensi konflik kepentingan yang besar.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana sistem pengelolaan Dana Desa bisa diselewengkan secara halus karena relasi kuasa yang timpang. Perangkat desa yang merasa tidak mampu atau takut dipersulit, akhirnya menyerah dan memilih membayar agar semua urusan lancar. Celakanya, uang yang dipakai justru dari pos yang seharusnya digunakan untuk pembangunan desa.
“Cari aman” memang menggoda, tapi risiko jangka panjangnya besar: pengabaian tanggung jawab, lemahnya transparansi, dan tumbuhnya praktik ilegal yang dilegalkan secara sosial.
Kalau praktik ini dibiarkan terus berlangsung, bukan tak mungkin akuntabilitas Dana Desa hanya akan menjadi formalitas. Laporan keuangan boleh jadi terlihat sempurna di atas kertas, tapi nilai-nilai integritas, transparansi, dan partisipasi warga yang menjadi roh utama Dana Desa, justru terkubur dalam sistem yang makin korup.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Manggarai Barat, Pius Baut ketika dikonfirmasi media ini pada Selasa, (10 Juni 2025) pagi menjelaskan bahwa pihaknya pernah melakukan pengecekan internal, bahkan memanggil pegawai yang diduga terlibat.
“Informasi ini sudah pernah sebelumnya dan kami sudah panggil yang bersangkutan dan membantahnya. Kami butuh pelapor (Kades) yanh merasa “diperas” untuk laporkan langsung ke kami atau kepada aparat penegak hukum,” ungkapnya.
Namun Pius juga menyampaikan bahwa pihaknya membutuhkan data yang akurat, serta dorongan dari para kepala desa yang merasa menjadi korban.
“Kalau itu benar, mohon data yang akurat terkait desa mana saja dan siapa nama pegawai tersebut,” tutupnya.