Labuan Bajo, Okebajo.com – Perjuangan panjang 7 warga pemilik lahan 3.1 ha di Keranga, Kelurahan Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT akhirnya sampai di meja hijau. Tujuh warga tersebut, resmi menggugat sejumlah pihak ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada Selasa, (17/6/2025). Gugatan ini menuntut pengembalian lahan seluas 3.290 meter persegi (3,1 hektare) di kawasan Bukit Keranga, yang saat ini dikuasai dan digunakan oleh pihak-pihak yang diduga kuat terlibat dalam praktik mafia tanah untuk kepentingan pembangunan Hotel The St. Regis Labuan Bajo.
Gugatan ini telah terdaftar di Pengadilan Negeri Labuan Bajo dengan Nomor Perkara 32/Pdt.G/2025/PN Lbj yang diajukan oleh Mustarang salah satu penggugat dari 7 korban perampasan 3.1 hektar tanah keranga. Mustarang juga telah menunjuk tim kuasa hukum dari Kantor Advokat Sukawinaya-88 Law Firm and Partners, yang diketuai oleh Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si., dan di antaranya beranggotakan Dr(c) Indra Triantoro, S.H., M.H., Jon Kadis, S.H., Indah Wahyuni, S.H. dan Ni Made Widiastanti, S.H.
Adapun pihak-pihak yang digugat diantaranya : Tergugat I: Rosyina Yulti Mantuh, Tergugat II: Albertus Alviano Ganti, Tergugat III: Santoso Kadiman dan Tergugat IV: Pengelola Hotel The St. Regis Labuan Bajo.
Turut digugat pula sejumlah pihak yang diduga terlibat atau memfasilitasi peralihan tanah tersebut, yaitu: Turut Tergugat I: Haji Ramang Ishaka, Turut Tergugat II: Muhamad Syair, Turut Tergugat III: Notaris Billy Yohanes Ginta, S.H., M.Kn., Turut Tergugat IV: Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Manggarai Barat
Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si., ketua tim kuasa hukum pihak penggugat menegaskan bahwa gugatan ini adalah upaya sah untuk melawan dugaan perampasan hak warga kecil oleh para pihak yang memiliki kekuatan modal dan jaringan.
“Tanah seluas 3,1 hektare itu sudah dikelola oleh klien kami sejak 1992 secara sah berdasarkan perolehan dari fungsionaris ulayat. Tapi sekarang dikuasai tanpa izin dan dijadikan lokasi proyek elite,” ujar Irjen Pol (P) I Wayan dalam keterangan pers, yang diterima media ini pada Rabu malam (18/6/2025).
Ia menuturkan bahwa pihaknya punya cukup bukti yang mana klienya telah mengelola dan menguasai lahan sejak tahun 1992 secara sah dari fungsionaris ulayat yang berwenang.
I Wayan menambahkan, penguasaan sepihak atas tanah oleh pihak tergugat sejak 2021, termasuk pembangunan basecamp proyek hotel St. Regist dan aktivitas berat seperti penggalian dan penumpukan batu, dilakukan tanpa seizin pemilik sah.
Sementara itu, Jon Kadis, SH , anggota tim kuasa hukum penggugat juga membeberkan sejumlah fakta mencengangkan yang menguatkan gugatan dari klienya.
“Pada 1992, Mustarang bersama 6 (enam) warga lainya mendapat perolehan tanah langsung dari ketua dan wakil ketua fungsionaris, (Alm. Ishaka dan Haku Mustafa). Tanah itu mereka olah. Kemudian Pada tahun 2012, mereka ajukan permohonan sertifikat ke BPN,. Diukur dan sampai di proses sidang Panitia A. Hadir juga saat itu Haji Ramang Ishaka, anak alm. Ketua fungsionaris ulayat, juga pihak
Nikolaus Naput, karena tanahnya yang tak jauh dari situ ikut dibeli oleh si calon pembeli. Intinya, semua mereka mengakui bahwa tanah 3,1 ha ini milik 7 (tujuh) orang itu. Alasan pengajuan sertifikat tanah saat itu karena calon pembeli. Namun proses SHM itu tidak dilanjutkan karena calon pembeli undur diri dengan alasan Bupati Manggarai Barat memberitahukannya bahwa lokasi tersebut mau dibangun pusat PLN,” jelas Jon.
Namun lagi-lagi kata Jon, PLN saat itu juga undur karena harga tanah tidak seragam dengan Niko Naput.
“Niko Naput pingin agar kompak jual dengan harga Rp 600 ribu/m², sementara yang 7 orang ini Rp.200 ribu/m² sesuai pasaran saat itu. Tapi Niko Naput sampaikan kepada PLN seharga Rp600 ribu/m², dan jumlah itu
dirasa terlalu mahal oleh PLN. Lalu berpindahlah PLN ke Rangko sekarang ini,” jelasnya.
Kemudian pada Januari 2014, akta PPJB tanah 40 ha dibuat oleh Notaris Billy Yohanes Ginta, antara Niko Naput (penjual) dan Santosa Kadiman (pembeli), tanpa alas hak yang sah.
Lebih lanjut Jon Kadis menjelaskan bahwa pada Januari 2014 terjadi pembuatan akta Notaris PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) tanah 40 hektar di Notaris Billy Yohanes Ginta, antara dua orang pribadi (bukan badan hukum) dimana pemilik tanah/penjual Niko Naput dan pembelinya Santosa Kadiman. Padahal tidak jelas bahkan tidak ada alas hak tanahnya. Luas tanah 40 ha itupun diukur sendiri dengan google maps oleh pihak Santosa Kadiman tanpa melibatkan petugas BPN (Badan Pertanahan Nasional), didampingi oleh seseorang yang mengaku sekretaris Haji Ramang.
“Di sidang perkara perdata no.1/2024 di PN Labuan Bajo diperoleh informasi
bahwa batas utara tanah 40 ha itu sampai di batas tanahnya Putra, cafe di bukit Kerangan itu sekarang
ini, sedangkan di selatannya mulai dari tak jauh dari hotel Nawa saat ini. Batas baratnya, laut. Yah, sesukanya saja,” jelasnya.
Fakta lainya kata Jon bahwa Pada 2023, salah satu pemilik tanah dari 7 orang itu, Zulkarnain, menjual bidang tanahnya sendiri di bagia selatan dari 3,1 ha tersebut yang perolehannya jauh sebelumnya dari fungsionaris ulayat pada tahun 1992.
“Tapi ketika sedang proses sertifikatnya, terjadi hambatan. Lurah Labuan Bajo saat itu, bernama Felix Gampur saat itu kepada Zulkarnain mengatakan bahwa sesuai kesepakatanya dengan Haji Ramang, tanah yang mau disertifikat itu harus mendapat surat pengukuhan dari Haji Ramang dan Muhamad Syair. Lalu Zulkarnain beserta pengacaranya saat itu menemui Haji Ramang di rumahnya. Ketika diperlihatkan copy surat alas hak 1992 itu kepadanya, Hj Ramang diam saja. Ini kan surat perolehan dari ayah Haji Ramang sendiri kan? Tapi dia menyampaikan alasan lain,” kata Jon Kadis.
Dijelaskanya bahwa Haji Ramang mengatakan kepada Zulkarnain, bahwa tanah itu sudah diserahkan kepada Yayasan/Pemda.
“Tidak disebut nama yayasannya. Ketika Zulkarnain tanyakan siapa yang menyerahkan, lho inikan tanah saya,
ini surat alas haknya. Dan Haji Ramang tidak bisa menjawab. Lagian Zulkarnain bilang bahwa Bp Haji Ramang ‘kan tidak berhak keluarkan surat pengukuhan sejak adanya pernyataan kedaulatan 1 Maret 2013 karena semua tanah ulayat di wilayah kelurahan Labuan Bajo sudah dibagi. Dan saat itu Haji Ramang diam saja. Tapi keesokan harinya Haji Ramang pergi menemui Lurah Labuan Bajo, almarhum Felix Gampur, supaya tempel surat pengumuman di kantor Lurah yang isinya, ‘tanah di bukit Kerangan yang sedang dimohon untuk sertifikat oleh Zulkarnain itu sudah diserahkan kepada Yayasan / Pemda” dan Lurah melakukannya,” beber Jon.
Jon Kadis menjelaskan bahwa sejak 2021, Santosa Kadiman mulai menduduki tanah 3,1 ha dan memulai pembangunan basecamp proyek hotel. Pada 2024, hasil pemeriksaan Satgas Mafia Tanah Kejagung menyatakan PPJB 40 ha batal demi hukum karena tidak memiliki dasar hukum. Putusan ini diperkuat oleh PN Labuan Bajo dan PT Kupang dalam putusan perkara no.1/2024 PN Lbj.
Pada 2024, ditemukan di kantor BPN Manggarai Barat telah ada gambar ukur di atas tanah 3,1 ha itu atas nama Rosyina Yulti Mantuh dan
Akbertus A. Ganti.
“Diperkirakan ini terjadi tahun 2017. Kenapa? Karena ada bagian tanah lain, diatas tanah milik orang lain, tiba-tiba terbit SHM seluar 5 ha pada tahun itu. Tapi dari putusan PN dan PT di perkara no.1/2024 PN Lbj itu, SHM2 ini tidak sah dan karena itu dibatalkan,” kata Jon.
Selain itu kata Jon, bahwa Haji Ramang pernah jadi saksi pemeriksaan perkara tipikor 30 ha tanah Pemda, memberi keterangan di bawah sumpah di hadapan Jaksa Tinggi Kupang bahwa “sudah tak ada lagi tanah Niko Naput di bukit Kerangan (sama dengan inklud tanah Santosa Kadiman bagian 40 ha PPJB itu ), alasanya karena sudah
dibatalkan oleh fungsionaris ulayat tahun 1998.
Fakta lain kata Jon bahwa salah satu surat alas hak Nikolaus untuk PPJB 40 ha itu adalah surat perolehan Oktober 1991.
“Dan anehnya, surat perolehan itu tertulis di spanduk yang ditempel oleh Santosa Kadiman dan Paulus Grant Naput (anak Niko Naput) atau oleh Rosyina dan Albertus (anak Niko Naput) di pagar tanah 3,1 ha milik 7 orang itu sejak April 2025 sampai hari ini, isinya “tanah ini milik ahli ahli waris alm.Niko Naput, perolehan Oktober 1991″. Fakta aneh !,” tegasnya.
Jon Kadis pun berharap agar Turut Tergugat I, Haji Ramang Ishaka, hadir di ruang sidang untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah, sebagaimana ia pernah lakukan dalam perkara tipikor tanah 30 ha Pemda sebelumnya.
“Ya kami berharap agar pengadilan menggali fakta secara menyeluruh dan transparan, serta memberi keadilan bagi warga yang telah terlalu lama dikorbankan,” kata Jon.
Tujuh warga ini menyatakan akan memagari kembali lahannya, mengolahnya, dan berdiri teguh untuk mempertahankan hak milik mereka. Mereka tidak gentar terhadap kekuatan modal maupun intimidasi.
“Jika tanah ini kami biarkan dikuasai pencuri, berarti kami kalah sebelum bertarung,” kata Mustarang.