Labuan Bajo, Okebajo.com – Sejumlah warga Labuan Bajo yang tergabung dalam kelompok Masyarakat Peduli Keadilan dan Perdamaian menyatakan akan menggelar aksi damai di depan Pengadilan Negeri (PN) Labuan Bajo pada Selasa, 12 Agustus 2025. Aksi ini digelar bukan sekadar bentuk protes, melainkan seruan moral agar hukum ditegakkan dengan nurani dan keadilan ditegakkan tanpa kompromi dalam perkara perdata No. 19/Pdt.G/2025/Lbj pada April 2025 lalu.
Koordinator aksi, Mikael Mensen, pada Minggu pagi (10/8) menyampaikan bahwa sengketa tanah yang sedang bergulir di PN Labuan Bajo telah membuka mata banyak warga terhadap potensi ketidakadilan yang mengancam. Terlebih, Labuan Bajo kini menyandang status sebagai kawasan pariwisata super premium yang kerap kali membuat konflik agraria semakin rumit.
Sengketa yang menyulut aksi ini berakar pada perkara No. 19/Pdt.G/2025/Lbj, yang melibatkan akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara Lie Sian (Pembeli) dan Muhamad Saing Makasau (Penjual).
Tanah yang semula telah disepakati dan dinyatakan sebagai hak milik, tiba-tiba digugat kembali oleh penjual sendiri, beberapa bulan setelah PPJB ditandatangani. Dalihnya: tanah tersebut disebut berada di area sempadan pantai menurut keterangan Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang kemudian dijadikan alasan untuk membatalkan PPJB.
“Logika sederhananya, bagaimana mungkin penjual tiba-tiba menyebut tanah warisan keluarganya sejak 1986 sebagai tanah negara hanya karena keterangan BPN? Ini jelas aneh dan mengindikasikan niat tidak baik,” ujar Mikael tegas.
Mikael mengungkapkan bahwa masyarakat kini menanti keputusan penting yang akan dibacakan secara elektronik oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua PN Labuan Bajo, Ida Ayu Widyarini, S.H., M.Hum pada 12 Agustus 2025. Mikael dan kelompoknya mengajukan sederet pertanyaan mendasar:
“Apakah pengadilan akan memihak kepada fakta hukum, atau justru ragu dan memutus NO (Niet Ontvankelijke verklaard)? Ataukah hakim mampu berdiri teguh, menolak gugatan yang terindikasi dilandasi itikad tidak baik?,” cetus Mikael.
Dalam pernyataan resminya, kelompok demonstran mengajukan delapan poin tuntutan, antara lain agar hakim berpijak pada fakta lapangan dan bukti administratif, serta menjunjung tinggi prinsip “keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Yang membuat situasi makin panas, Mikael mengungkapkan bahwa ia mendengar langsung percakapan antara Ketua Majelis Hakim dan pihak BPN usai sidang Pemeriksaan Setempat beberapa waktu yang lalu.
“Bu Hakim sempat bertanya ke Pak Max dari BPN, ‘Kapan peta bidangnya keluar?’ dan dijawab, ‘Dua minggu lagi.’ Pertanyaan saya, kenapa seolah-olah peta bidang sudah pasti akan keluar, kalau tanah itu disebut sempadan? Apakah ini indikasi ada permainan di balik layar?” tuding Mikael.
Ia mengaku bukan sekadar pengamat, melainkan juga pekerja dari pihak pembeli, Lie Sian, yang sejak awal menyaksikan proses perjanjian, pembuatan pagar, dan seluruh pembiayaan oleh pihak pembeli.
“Saya lihat surat-suratnya. Bahkan Kepala Desa Gorontalo sudah menegaskan bahwa tanah itu bukan sempadan pantai, tapi hak milik. Tapi aneh, penjual justru menggugat. Ini jelas bukan hanya soal tanah, ini soal keadilan!” tegas Mikael.
Jon Kadis, S.H., selaku penasihat hukum Lie Sian, menyambut baik aksi damai ini. Baginya, unjuk rasa masyarakat adalah alarm publik terhadap potensi penyimpangan hukum.
“Gugatan ini bukan cacat formil, tapi substansinya sangat lemah. Kalau pelunasan syaratnya melalui SHM dan ternyata tidak bisa, kenapa tidak dilakukan musyawarah? Justru pembeli sudah beritikad baik, tapi dokumen hak milik malah tidak diberikan oleh penjual. Itu jelas melanggar asas itikad baik dalam hukum perdata,” jelas Jon.
Ia menambahkan, dalam akta PPJB terdapat pasal musyawarah sebagai jalan penyelesaian jika ada kendala teknis. Tapi penjual malah sepihak mengabaikannya dan langsung menggugat.
“Kalau begitu, siapa sebenarnya yang tidak taat pada perjanjian?” tandasnya.
Ia menjelaskan bahwa surat pernyataan dan tuntutan demonstrasi ini telah ditembuskan ke sejumlah pihak berwenang, mulai dari Kapolres Manggarai Barat, Kapolda NTT, Dandim, hingga Bupati dan Kepala Desa Gorontalo.
Mikael menjelaskan bahwa pihaknya juga menuntut agar Badan Pengawas Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial turun tangan memeriksa integritas hakim yang menangani perkara ini.
“Kami akan demo damai setiap minggu selama sebulan penuh jika perlu. Ini bukan soal menang atau kalah di pengadilan, tapi soal suara hati rakyat yang menuntut keadilan!” tutup Mikael penuh semangat.
Jon Kadis juga menuturkan bahwa di tengah sorotan nasional terhadap kasus-kasus mafia tanah, sengketa PPJB ini bisa menjadi momen penting bagi PN Labuan Bajo untuk menunjukkan bahwa keadilan tidak tunduk pada kepentingan tertentu.
“Masyarakat berharap, Majelis Hakim tidak hanya mendengar argumen hukum, tapi juga suara nurani. Karena pada akhirnya setiap orang tahu di mana letak keadilan, tapi hanya hakim yang memegang palu untuk memutuskannya,” tutup Jon.