Pulau Padar: Antara Konservasi Komodo dan Ambisi Bisnis Pariwisata

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com Pulau Padar, salah satu permata di Taman Nasional Komodo (TNK) yang sejak 1991 ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia, kini menghadapi dilema besar: dipertahankan sebagai rumah purba komodo atau dikorbankan menjadi ladang investasi pariwisata mewah.

Pemerintah telah membuka jalan bagi PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) membangun 448 villa mewah, enam dermaga baru, serta ratusan fasilitas wisata lainnya di jantung habitat komodo. Sebuah keputusan yang memantik gelombang protes dari kalangan pegiat lingkungan.

“Ini logika yang harus ditolak. Komodo baru saja pulih di Pulau Padar setelah sempat punah, tapi pemerintah justru mengizinkan pembangunan hotel di tengah habitatnya,” tegas Doni Parera, aktivis lingkungan, Kamis (31/7).

Pulau Padar sejatinya pernah menjadi “zona rimba” dengan aturan konservasi ketat. Namun, pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, komodo punah secara lokal di pulau ini. Pos penjagaan ditutup, petugas dipindahkan ke pulau lain, dan rencana relokasi komodo tidak pernah terwujud.

Ajaibnya, proses alami mengubah segalanya. Dari hanya tiga ekor komodo yang tersisa, kini populasi diperkirakan mencapai lebih dari 30 ekor. Komodo menemukan kembali rumahnya, rusa kembali merumput di lembah, rantai makanan perlahan pulih.

Namun, kejayaan itu terguncang sejak Pulau Padar mendadak viral sebagai destinasi foto Instagram. Popularitasnya mengundang investor, aturan zonasi pun diubah. Sebagian kawasan konservasi dialihkan menjadi zona pemanfaatan, membuka pintu bagi komersialisasi.

“Jika pembangunan terus memakan savana dan jalur pantai, rusa akan terusir. Begitu rusa pergi, komodo akan kehilangan mangsa utama. Rantai makanan runtuh, populasi komodo bisa kembali punah,” ujar Doni.

Mega Proyek PT KWE: 619 Fasilitas Wisata di 15,75 Hektare

Dokumen perizinan mencatat PT KWE telah mengantongi izin konsesi sejak 2014 selama 50 tahun. Lahan seluas 15,75 hektare atau 5,64% dari Pulau Padar kini masuk dalam rencana pembangunan.

Proyek dibagi dalam 7 blok dengan 5 tahap pelaksanaan, meliputi:

448 villa mewah

619 unit fasilitas wisata

6 dermaga baru dan 1 dermaga pengembangan

Padahal, ekologi Pulau Padar sangat rapuh:

Savana mendominasi 70%, Galeri forest 14%, Pantai 6%, Mangrove 1%.

Savana dan pantai yang menjadi target pembangunan justru jalur penting rusa sebagai mangsa utama komodo. Pembangunan besar-besaran berisiko memecah habitat, memicu fragmentasi, dan menyingkirkan satwa liar dari ekosistemnya.

Warisan Dunia di Ujung Tanduk

Status TNK sebagai Warisan Dunia UNESCO seharusnya menjadi tameng dari eksploitasi berlebihan. Setiap kebijakan strategis idealnya melalui konsultasi dengan UNESCO, bukan ditentukan sepihak oleh pemerintah dan investor.

“Ini bukan sekadar soal komodo. Ini menyangkut reputasi Indonesia di mata dunia. Warisan dunia bukan milik segelintir investor. Jika proyek ini diteruskan, Pulau Padar bisa mengalami kepunahan lokal untuk kedua kalinya,” pungkas Doni.

Konservasi atau Komersialisasi?

Dilema Pulau Padar adalah cermin tarik-menarik kepentingan antara konservasi dan industri pariwisata. Di satu sisi, pemerintah mengusung jargon ekowisata berkelanjutan. Namun di sisi lain, karpet merah digelar bagi investor dengan pembangunan masif di jantung habitat satwa purba.

Kini, pertanyaannya: apakah Indonesia rela mengorbankan warisan dunia demi vila-vila mewah, atau berani menjaga Pulau Padar sebagai ruang hidup terakhir bagi komodo – simbol kebanggaan bangsa yang tak ternilai?

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *