Kisruh Lahan Hotel St. Regis Labuan Bajo: Fakta Persidangan, Gugatan Baru, dan Potensi Pidana

Avatar photo

Labuan Bajo, Okebajo.com – Sengketa lahan pembangunan Hotel St. Regis di Labuan Bajo kembali memanas. Polemik bermula dari klaim kepemilikan tanah seluas 40 hektare oleh seorang pembeli asal Jakarta, Santosa Kadiman, yang membeli tanah tersebut dari Nikolaus Naput, warga asal Ruteng. Transaksi keduanya dituangkan dalam akta PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) tanggal 27 Januari 2014.

Demikian yang disampaikan Jon Kadis, SH selaku anggota tim kuasa hukum ahli waris alm Ibrahim Hanta dan 7 warga warga pemilik lahan 3,1 hektar tanah Keranga. Ia menjelaskan bahwa Di atas lahan itu, PT Bangun Indah Internasional memperoleh IMB dari Pemerintah Provinsi NTT pada era Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat. IMB tersebut dieksekusi oleh PT Bumi Indah Internasional, yang sejak 2023 bahkan sudah membangun basecamp, menempatkan alat berat, hingga memagari lahan di Bukit Torolema dan Kerangan.

Namun, fakta persidangan mengungkap bahwa alas hak tanah 40 hektare itu cacat hukum.

Fakta Persidangan: Alas Hak Bermasalah

Jon Kadis, SH menuturkan bahwa dalam sidang perkara perdata No. 1/2024 PN Labuan Bajo, staf pribadi Santosa Kadiman, Aryo Wibowo, bersaksi bahwa dirinya hanya disuruh menandatangani akta PPJB tanpa mengetahui dasar hak tanah. Ia bahkan mengukur luas tanah dengan Google Map, hanya ditemani John Don Bosco, sekretaris pribadi Hj. Ramang Ishaka (turunan fungsionaris adat) tanpa kehadiran petugas BPN.

Dari fakta sidang, terungkap bahwa surat alas hak yang dipakai dalam PPJB adalah: 10 Maret 1990: seluas 16 hektare, 27 Oktober 1991: seluas 15 hektare

“Namun, kedua surat itu sudah dibatalkan fungsionaris adat pada 1998 karena tumpang tindih dengan tanah Pemda dan masyarakat adat Labuan Bajo,” kata Jon.

Pengadilan Negeri Labuan Bajo dan Pengadilan Tinggi Kupang telah menyatakan bahwa PPJB 40 hektare batal demi hukum karena tidak memiliki alas hak yang sah. Kini perkara tersebut memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung, dengan posisi ahli waris tanah 11 hektare sebagai pemenang di dua tingkat peradilan sebelumnya.

Gugatan Baru: Pemilik 3,1 Hektare Melawan

Tidak hanya tanah 11 hektare yang tumpang tindih, kini giliran 7 warga pemilik sah tanah 3,1 hektare di Bukit Kerangan yang menggugat Santosa Kadiman, PT Bangun Indah Internasional, dan PT Bumi Indah Internasional.

Sejak April 2025, dua pemilik sudah mengajukan gugatan perdata No. 32 dan 33/Pdt.G/2024/PN.Lbj. Pada 1 dan 2 September 2025, dua warga lain—Zulkarnain Djudje dan Lambertus Paji—menyusul dengan gugatan baru No. 41 dan 44/Pdt.G/2025/PN.Lbj.

Ketua Tim Kuasa hukum para penggugat, Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si, bersama tim advokat menegaskan bahwa alas hak para penggugat kuat, karena diperoleh langsung dari fungsionaris adat pada 1992 dan bahkan pernah diakui dalam proses pengajuan sertifikat BPN tahun 2012.

Potensi Pidana dan Temuan Satgas Mafia Tanah

Tim kuasa hukum menilai para tergugat berpotensi menghadapi jeratan pidana.

“Dari gugatan perdata ini, kami melihat adanya dugaan perbuatan pidana yang bisa dilaporkan ke kepolisian,” ujar Irjen Pol (P) I Wayan Sukawinaya, Kamis (4/9/2025).

Kecurigaan ini semakin kuat setelah Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung melalui surat R-859/D.4/Dek.4/07/2024 menegaskan bahwa pembangunan hotel St. Regis berada di atas lahan sengketa. Dalam poin surat itu, Kejagung meminta Bupati Manggarai Barat mengawasi PT Bumi Indah Internasional agar tidak melakukan kegiatan usaha yang melanggar hukum.

Kuasa hukum penggugat lainnya, Jon Kadis, SH, menekankan bahwa masyarakat Labuan Bajo tidak anti terhadap investasi. Namun, pembangunan harus memberi keadilan kepada pemilik tanah yang sah.

“Pada prinsipnya masyarakat Labuan Bajo berterima kasih kepada investor yang ikut membangun kawasan pariwisata super premium ini. Tetapi hak-hak pemilik tanah harus dihormati, agar mereka juga merasakan keadilan dalam proses perubahan yang sedang berlangsung,” kata Jon Kadis, Kamis (4/9/2025).

Ia menjelaskan bahwa kasus ini menunjukkan wajah lain dari sengkarut agraria di daerah wisata super premium Labuan Bajo.

“Di satu sisi, investasi besar diharapkan mendorong ekonomi lokal. Namun di sisi lain, praktik transaksi lahan yang tidak transparan berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat adat dan pemilik sah tanah,” kata Jon.

Ia mengatakan bahwa dengan gugatan baru dari warga pemilik 3,1 hektare dan temuan resmi Satgas Mafia Tanah, kasus ini berpotensi semakin melebar, bukan hanya perkara perdata, tetapi juga pidana.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *