Setahun Tanpa Keadilan: Kasus Kekerasan Anak di Mabar Masih Mandek di Polisi

Avatar photo
Kasus Kekerasan Anak di Manggarai Barat Mandek Setahun, Keluarga Korban Tagih Janji Keadilan dari Polisi
AW (13) korban tindakan kekerasan yang dilakukan oleh MS saat diperiksa di Puskesmas Mbeliling.
Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Labuan Bajo, Okebajo.com – Sudah lebih dari satu tahun berlalu, tapi luka itu belum sembuh. Bukan hanya luka di tubuh seorang anak berusia 13 tahun, tapi juga luka di hati keluarga yang terus menanti keadilan. Kasus kekerasan terhadap anak di bawah umur berinisial AW asal Kampung Tondong Raja, Desa Golo Sembea, Kecamatan Mbeliling, Manggarai Barat, yang terjadi pada 31 Juli 2024, hingga kini masih belum menemui titik terang di tangan aparat penegak hukum.

Ketidakpastian itulah yang mendorong keluarga korban, Konstantinus Benkoming, mendatangi Polres Manggarai Barat, Kamis (16/10/2025), didampingi Suster Frederika T. Hana, SSpS, Koordinator Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak SSpS Labuan Bajo. Mereka datang bukan untuk meminta belas kasihan, tapi menagih keadilan yang tak kunjung ditegakkan.

Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

“Hari ini kami datang ke Polres menanyakan perkembangan kasus anak saya. Sudah setahun lebih, tapi belum ada kejelasan. Kami hanya ingin keadilan,” ujar Konstantinus.

Kehadiran mereka diterima langsung oleh Wakapolres Manggarai Barat dan Kasat Reskrim, yang berjanji akan menuntaskan kasus ini “secara terang benderang”.

Tanti, istri Konstantinus, menceritakan bahwa malam itu, 31 Juli 2024, berawal dari cekcok kecil saat acara di kampung. Tak lama berselang, pelaku berinisial MS bersama keluarganya mendatangi rumah mereka dengan amarah meluap.

“Mereka datang sambil berteriak-teriak, merusak perabot rumah, bahkan MS sempat mengancam mau memperkosa saya,” tutur Tanti.

Tak puas di situ, MS dan keluarganya mencari Tanti ke lokasi acara. Saat tiba di sana, mereka melihat AW (13), anak Tanti, yang tengah mencuci piring di dapur. Tanpa pikir panjang, MS menarik dan memukul anak itu hingga luka lebam dan gores di beberapa bagian tubuh.

Keesokan harinya, keluarga melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Sano Nggoang, dengan tiga poin laporan:

Kekerasan terhadap anak, pengrusakan barang rumah tangga, dan ancaman pemerkosaan terhadap istri korban. Namun, hanya satu laporan yang diproses: kekerasan terhadap anak.

Penyidikan Jalan di Tempat, Nomor Penyidik Diblokir

Kasus yang semula diharapkan segera mendapat keadilan, justru jalan di tempat. Selama berbulan-bulan, keluarga korban tak mendapat perkembangan berarti.

“Saya sudah sering komunikasi dengan penyidik Polsek Sano Nggoang, Pak Gufron. Dia sempat janji akan tuntaskan kasus ini. Tapi belakangan nomor saya diblokir. Sejak itu, tidak ada kabar lagi,” ujar Konstantinus kecewa.

Lebih mengejutkan, beberapa barang bukti dan poin laporan korban diduga tidak dicantumkan dalam berkas perkara yang dikirim ke Polres. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan adanya kejanggalan dalam penanganan kasus.

“Saya curiga mereka hanya mau lindungi pelaku. Kenapa laporan saya tidak diproses semua? Seolah mereka sudah kerja sama dengan pelaku,” kata Tanti dengan nada kesal.

Trauma yang Tak Sembuh dan Kekecewaan yang Mendalam

Akibat kekerasan itu, AW masih mengalami trauma mendalam. Tubuhnya sering sakit, dan keluarganya hidup dalam ketakutan karena pelaku masih bebas berkeliaran di kampung.

“Kami takut sekali kalau ada acara kampung. Anak saya sering meriang, sakit di perut, dan menangis kalau dengar nama pelaku,” tutur Tanti lirih.

Lembaga Perlindungan Anak Angkat Suara

Suster Frederika T. Hana, SSpS, dari Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak Labuan Bajo, turut menyayangkan lambannya penanganan kasus.

“Saya kecewa karena kasus kekerasan terhadap anak seharusnya cepat ditangani. Tidak ada kendala saksi atau barang bukti. Tapi ini bisa mandek setahun lebih,” tegasnya.

Ia berharap pihak kepolisian bekerja transparan dan adil, serta menindaklanjuti semua poin laporan yang sudah disampaikan korban.

“Jangan ada satu pun laporan yang dihilangkan. Semua harus diusut, baik kekerasan terhadap anak, ancaman pemerkosaan, maupun pengrusakan barang,” tambahnya.

Meski kecewa, Suster Frederika tetap mengapresiasi langkah Polres Manggarai Barat yang membuka ruang dialog bagi korban dan keluarga.

Kini, harapan keluarga tinggal satu: agar kepolisian benar-benar menuntaskan kasus ini tanpa tebang pilih. Mereka menanti bukti bahwa hukum masih berpihak pada korban, bukan pada pelaku.

Hingga berita ini diterbitkan, upaya konfirmasi kepada Kasat Reskrim Polres Manggarai Barat dan Kapolsek Sano Nggoang melalui pesan WhatsApp tidak mendapat balasan, meski pesan sudah terbaca dengan tanda centang dua.

“Kami hanya ingin keadilan untuk anak kami. Jangan biarkan dia tumbuh dengan rasa takut dan tanpa kepercayaan pada hukum,” tutup Konstantinus.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *