Takut Dijerat Hukum, ASN Pilih Dimutasi daripada Jadi PPK Proyek Rp7 Miliar Jalan Hita–Bari

Avatar photo
Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Labuan Bajo, Okebajo.com — Rasa takut kini menghantui sejumlah aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Manggarai Barat. Setelah salah satu rekan mereka dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek jalan Golo Welu–Orong, banyak ASN menolak ditunjuk menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk proyek baru senilai Rp7 miliar di ruas Hita–Bari.

Padahal, proyek yang bersumber dari APBD II Kabupaten Manggarai Barat Tahun Anggaran 2025 itu sudah lama dinantikan masyarakat di Kecamatan Pacar dan Masang Pacar. Namun, ketiadaan PPK membuat pekerjaan yang seharusnya segera dimulai kini terancam batal.

Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

“Lebih Baik Dimutasi daripada Dipenjara”

Salah seorang ASN yang enggan disebutkan namanya mengaku tidak berani mengambil tanggung jawab sebagai PPK. Ia menyebut, pengalaman pahit rekan seprofesinya yang terseret kasus hukum menjadi pelajaran berharga.

“Kami trauma. Sudah banyak contoh, kerja sudah benar tapi tetap saja bisa dijerat. Saya pribadi lebih baik dimutasi daripada jadi PPK. Risikonya terlalu besar,” ujarnya, Sabtu (18/10/2025).

ASN itu berharap agar Pemkab Manggarai Barat membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Kejaksaan Negeri untuk memberikan perlindungan hukum bagi para ASN yang ditugaskan sebagai PPK.

“Kalau ada MoU, Kejaksaan bisa ikut mengawasi sejak perencanaan sampai pelaksanaan. Jadi kalau nanti ada masalah, tanggung jawabnya jelas dan tidak hanya dibebankan ke ASN,” tambahnya.

Proyek Strategis Terancam Batal

Ketakutan ASN tersebut berdampak langsung pada pelaksanaan proyek jalan Hita–Bari, salah satu proyek strategis yang diharapkan bisa membuka akses ekonomi dua kecamatan.

Anggota DPRD Manggarai Barat, Silvester Syukur, menyesalkan kondisi ini. Menurutnya, ketiadaan PPK menjadi alasan utama batalnya pembangunan jalan tersebut tahun ini.

“Kami sangat menyesalkan kenapa sampai tidak ada PPK. Padahal masyarakat Pacar dan Masang Pacar sangat menunggu jalan ini. Kalau selesai tahun ini, tahun depan kita bisa fokus ke daerah lain,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.

Silvester mendesak Pemkab agar tetap konsisten melanjutkan proyek tersebut di APBD Perubahan 2026 atau paling lambat di APBD Induk 2027.

“Anggaran Rp7 miliar ini sudah dibahas dan disetujui DPRD. Kalau tidak direalisasikan, bisa menjadi SILPA dan berpotensi hilang. Pemerintah harus segera ambil langkah,” tegasnya.

DPRD Panggil TAPD, Pertanyakan Alasan ‘Takut Jadi PPK’

Nada tegas juga datang dari Kanisius Jehabut, anggota Komisi I DPRD Manggarai Barat dari Fraksi Gerindra. Ia membenarkan adanya informasi bahwa proyek Hita–Bari batal karena tidak ada yang bersedia menjadi PPK.

“Kami sudah dengar dari banyak pihak, termasuk masyarakat. Saat rapat internal DPRD, saya sendiri yang paling keras mempertanyakan: apakah benar ada ASN takut jadi PPK? Ini harus diklarifikasi,” ujarnya.

Untuk memastikan kebenarannya, DPRD akan memanggil Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dalam rapat kerja pekan depan.

“Kita ingin tahu alasan sebenarnya. Bicara takut itu tidak pantas bagi ASN. Kalau memang takut, kenapa? Agar tidak simpang siur, kami akan bahas langsung dengan pemerintah,” ujar Kanisius yang juga mantan prajurit TNI itu.

Ketakutan Sistemik di Kalangan ASN

Fenomena “takut jadi PPK” ini menjadi cerminan trauma sistemik di kalangan ASN setelah sejumlah pejabat teknis terjerat kasus hukum, meski mengaku telah bekerja sesuai aturan. Banyak pihak menilai perlu adanya mekanisme pengawasan kolaboratif antara Pemda, Kejaksaan, dan Inspektorat agar proyek pembangunan tidak terhambat hanya karena ketakutan birokratis.

Jika situasi ini terus berlanjut, proyek-proyek strategis seperti ruas Hita–Bari bisa terus tertunda, dan masyarakat di pelosok pun harus menunggu lebih lama untuk merasakan manfaat pembangunan.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *