Labuan Bajo, Okebajo.com — Konflik kepemilikan tanah di Bukit Kerangan, Labuan Bajo, kembali memanas. Minggu sore (26/10/2025), suasana kawasan itu berubah tegang ketika para pemilik lahan seluas 3,1 hektare bersama puluhan anggota keluarga mereka turun langsung ke lokasi. Mereka memagari lahan, menutup portal masuk, dan menegaskan hak mereka atas tanah yang kini sedang bersengketa di Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
Lahan tersebut tengah berstatus perkara perdata dengan empat nomor gugatan sekaligus: No. 32, 33, 41, dan 44/Pdt.G/2025/PN.Lbj.
Pantauan di lapangan, beberapa keluarga terlihat mendatangi pos jaga milik Santosa Kadiman, yang lebih dulu berdiri di area sengketa itu. Sementara para ibu ikut aktif membantu membuat pagar di depan portal yang disebut dibangun secara sepihak oleh pihak Santosa Kadiman.
“Kalau penjaga Santosa Kadiman bisa berada di sini, kami juga bisa. Besok kami bangun pos jaga sendiri di tanah kami ini,” ujar salah satu keluarga kepada penjaga di lokasi dengan nada tegas.
Proses pemagaran berlangsung hingga malam hari, sekitar pukul 19.00 WITA. Suasana gelap tidak menghalangi tekad keluarga pemilik tanah untuk mempertahankan hak mereka.
Kritik untuk Pengadilan: “Seperti Pakai Kacamata Kuda”
Salah satu penggugat, Mustarang, menilai proses hukum yang berjalan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo tidak mencerminkan rasa keadilan.
“Majelis hakim yang diketuai Ibu Ida Ayu Widyarini, yang juga Ketua PN Labuan Bajo, seperti pakai kacamata kuda. Hanya berpegang pada tanggal sidang, tanpa mempertimbangkan faktor kemanusiaan,” kata Mustarang di lokasi pemagaran.
Ia menjelaskan, pihaknya telah mengajukan permohonan penundaan pemeriksaan setempat (PS) tiga hari sebelum jadwal sidang pada 24 Oktober 2025. Alasannya, mereka belum berkoordinasi dengan Polres dan BPN seperti yang diperintahkan majelis, karena bersamaan dengan kegiatan adat dan keagamaan. Namun, majelis hakim tetap melaksanakan PS hanya dengan pihak tergugat, tanpa kehadiran kepolisian dan BPN.
“Untuk mencegah penyimpangan, kami memilih memagari tanah kami sendiri,” tegas Mustarang.
Pemilik Lahan: “Kami Tak Akan Diam!”
Menurut Mustarang, lahan 3,1 hektare itu memiliki alas hak sah yang dikeluarkan oleh Fungsionaris Adat pada tahun 1992 dan bahkan pernah diukur oleh BPN tahun 2012. Namun, sejak 2022, lahan tersebut diduduki dan dipagari oleh pihak Santosa Kadiman.
“Kami tak akan tinggal diam. Kami akan pagar tanah kami sendiri dan tutup portal liar ini,” ujar Mustarang.
Hal senada disampaikan Zulkarnain, salah satu penggugat dalam perkara No. 41/2025.
“Ini tanah status quo, tapi Santosa Kadiman malah membangun pos jaga, basecamp, dan menggusur lahan dengan alat berat,” ujarnya.
Tiga penggugat lain, Abdul Haji, Lambertus Paji, dan Mustarang menegaskan hal yang sama bahwa tindakan Santosa Kadiman adalah pelanggaran terhadap status hukum tanah yang sedang disengketakan.
Dugaan Klaim Fiktif PPJB 40 Hektare
Di lokasi 3,1 hektare itu kini berdiri bangunan semi permanen, tumpukan batu, dan pos jaga yang dijaga oleh orang-orang yang disebut bekerja untuk Santosa Kadiman. Lahan tersebut mulai dikuasai sejak groundbreaking Hotel St. Regis Labuan Bajo pada April 2022, dengan dasar PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) seluas 40 hektare antara Santosa Kadiman (pembeli) dan Nikolaus Naput (penjual), bertanggal Januari 2014.
Namun, menurut Jon Kadis, S.H., salah satu penasihat hukum penggugat dari kantor Sukawinaya-88 Law Firm & Partners, alat bukti tersebut tidak sah.
“PPJB 40 hektare itu tidak terbukti sah, sama seperti perkara tanah 11 hektare milik ahli waris almarhum Ibrahim Hanta yang sudah dimenangkan penggugat di Mahkamah Agung pada 8 Oktober 2025,” jelas Jon.
Pengacara: “Angka 40 Hektare Itu Fiktif”
Dr. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., anggota tim kuasa hukum penggugat, menambahkan bahwa tiga surat alas hak yang menjadi dasar PPJB bertanggal 10 Maret 1990 dan 21 Oktober 1991 telah dibatalkan oleh fungsionaris adat sejak 1998.
“Total luasnya 31 hektare. Jadi, angka 40 hektare itu jelas fiktif. Apalagi pengukuran tanahnya hanya menggunakan Google Map elektronik. Bukti seperti itu tidak bisa diterima di pengadilan,” ujar Indra dari Denpasar.
Tokoh Adat: “Santosa Kadiman Bukan Pemilik, Diduga Hanya Makelar”
Tokoh masyarakat adat Labuan Bajo, Fery Adu, juga menyoroti peran Santosa Kadiman yang disebut bukan pemilik sebenarnya.
“Informasi yang saya terima, Santosa Kadiman diduga hanyalah makelar dan pekerja dalam proyek hotel St. Regis. Ia bukan pemilik atau investor utama. Tapi klaimnya membuat orang-orang di pusat percaya bahwa dia pemilik lahan,” ungkap Fery.
Ia juga menyayangkan sikap pemerintah daerah dan tokoh publik yang sempat hadir dalam peresmian proyek tanpa memastikan keabsahan lahan yang digunakan.
Seruan Damai dan Kepastian Hukum
Kuasa hukum penggugat, Jon Kadis, menegaskan bahwa para pemilik tanah tidak menolak investasi, tetapi menolak cara-cara yang melanggar hukum dan mengabaikan hak masyarakat lokal.
“Kalau ingin berinvestasi, silakan berhubungan langsung dengan pemilik sah. Jangan kuasai tanah warga secara diam-diam lalu berdalih legalitas,” tutup Jon.











