Oleh: Antonia Elisa Lediani Sarnudin
(Mahasiswi Kebidanan UNIKA St. Paulus Ruteng)
Opini, Okebajo.com – Masih banyak orang tua dan masyarakat yang menganggap pembicaraan tentang pendidikan seks sebagai hal tabu. Padahal, justru karena dianggap tabu inilah banyak remaja tidak memahami tubuhnya sendiri dan akhirnya terjerumus dalam masalah serius: pernikahan dini, kehamilan tidak direncanakan, hingga penyakit menular seksual (PMS).
Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi bukan soal mengajarkan remaja untuk berhubungan seksual, melainkan mendidik mereka agar memahami tubuh, menjaga kebersihan diri, serta belajar mengambil keputusan yang bijak dalam pergaulan dan hubungan sosialnya. Dengan pengetahuan yang benar, remaja dapat melindungi diri dari risiko yang bisa menghambat masa depan mereka.
Mengapa Pendidikan Seks Penting Sejak Dini?
Remaja adalah masa transisi yang penuh perubahan—baik fisik, emosi, maupun sosial. Tanpa bimbingan dan edukasi yang tepat, rasa ingin tahu yang tinggi bisa membawa mereka pada keputusan yang salah.
Melalui pendidikan seks yang benar dan sesuai usia, remaja dapat memahami:
Perubahan fisik dan emosional saat pubertas — agar tidak bingung dan canggung menghadapi diri sendiri.
Fungsi dan cara menjaga organ reproduksi — untuk mencegah infeksi dan gangguan kesehatan.
Batasan dalam pergaulan — belajar menghormati tubuh sendiri dan orang lain.
Risiko kehamilan dan penyakit menular seksual — agar memahami konsekuensi dari setiap tindakan.
Konsep persetujuan (consent) — berani berkata “tidak” saat merasa tidak nyaman atau tertekan.
Dengan memahami hal-hal tersebut, remaja dapat tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, bertanggung jawab, dan tidak mudah terpengaruh oleh tekanan lingkungan atau pengaruh negatif media sosial.
Data yang Membuka Mata
Fakta global menunjukkan bahwa kurangnya pendidikan seks berdampak langsung pada meningkatnya kasus kehamilan remaja. Menurut WHO (2023), setiap tahun sekitar 21 juta anak perempuan usia 15–19 tahun di negara berkembang hamil, dan sebagian besar disebabkan oleh kurangnya edukasi reproduksi.
Sementara data BKKBN Indonesia (2022) menunjukkan angka kehamilan remaja di Indonesia masih cukup tinggi, yakni 37 per 1.000 perempuan usia 15–19 tahun.
Temuan UNESCO (2021) juga menegaskan bahwa pendidikan seks komprehensif mampu menunda usia pertama kali berhubungan seksual, mengurangi perilaku berisiko, dan meningkatkan kesadaran remaja terhadap kesehatan reproduksi.
Tiga Hal yang Harus Ditekankan
Dari semua data dan pengalaman lapangan, saya ingin menegaskan tiga hal penting:
a. Pencegahan lebih baik daripada penanganan.
b. Bangun kesadaran dan tanggung jawab sejak dini.
c. Kurangi angka pernikahan dan kehamilan dini melalui edukasi yang benar.
Akhir Kata
Sudah saatnya kita berhenti menganggap pendidikan seks sebagai hal tabu. Justru dengan membicarakannya secara terbuka dan ilmiah, kita membantu remaja memahami tubuhnya, menghargai dirinya, dan mempersiapkan masa depan yang sehat dan produktif.
Karena generasi yang berpengetahuan adalah generasi yang terlindungi.
Dan pendidikan seks yang benar adalah wujud kasih sayang dan kepedulian kita terhadap masa depan mereka.











