Sikap DPRD Mabar Terkait Rencana Pembangunan di Pulau Padar, Kehati-hatian atau Kepura-puraan Politik?

Avatar photo
Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Oleh: Surion Florianus Adu

Okebajo.com – Pernyataan Wakil Ketua II DPRD Manggarai Barat, Sewargading S.J. Putera, tentang sikap “kehati-hatian” DPRD dalam menyikapi
rencana pembangunan 619 fasilitas wisata di Pulau Padar oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), perlu ditanggapi secara serius (merujuk pada artikel yang diterbitkan di media VoxNTT.com edisi 27 September 2025 dengan judul “Pulau Padar: Antara Investasi dan Tanggung Jawab Ekologis“).

Iklan tidak ditampilkan untuk Anda.

Rumusan “kehati-hatian” yang ia (Sewargading S.J. Putera) maksud tampaknya disederhanakan hanya sebatas konstruksi beton di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Padahal, kebijakan pembangunan di kawasan konservasi tidak pernah lahir tiba-tiba, melainkan melalui proses panjang: kajian ilmiah, seminar, diskusi publik, hingga perumusan peraturan perundang-undangan. Semua tahapan ini merupakan bagian dari Izin Pengelolaan Pariwisata Alam (IPPA) yang sudah ditetapkan negara—sebagai bentuk kehati-hatian sekaligus jaminan masa depan ekologi dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Zonasi sebagai Instrumen Negara

Sistem pengelolaan TNK dengan pendekatan zonasi adalah bukti perubahan paradigma konservasi. Dari konservasi yang kaku—“konservasi untuk konservasi”—bergeser menjadi konservasi demokratis, yakni konservasi yang mengintegrasikan keberlanjutan ekologi dengan kesejahteraan masyarakat.

Dalam kerangka ini, DPRD bukanlah lembaga yang berdiri di luar sistem, melainkan mitra negara yang berkewajiban ikut mengawal kebijakan sebagaimana tertuang dalam undang-undang. Karena itu, ketika DPRD berbicara “kehati-hatian”, ukuran yang dipakai mestinya adalah kerangka hukum dan sains, bukan sekadar retorika politik.

Kehadiran DPRD di Forum Publik

Patut dicatat, pada 23 Juli 2025 telah digelar Public Consultation Environmental Impact Assessment (EIA) PT. Komodo Wildlife Ecotourism di Golo Mori Convention Center. Forum itu dihadiri Forkopimda, Ketua DPRD Manggarai Barat, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Diskusi berjalan ilmiah, transparan, dan terbuka. Semua masukan disampaikan, semua pihak terlibat.

Di titik ini, kehati-hatian negara sudah dibuktikan. Aspirasi publik sudah diakomodasi melalui mekanisme resmi. Maka menjadi aneh jika kemudian DPRD justru tampil berbeda di hadapan massa demonstran, menyuarakan penolakan dengan alasan “konstruksi beton” semata.

Politik Dua Wajah

Inilah yang saya sebut sikap “sontoloyo”: berbeda suara tergantung di mana dan dengan siapa berbicara. Di hadapan pemerintah pusat, DPRD memilih diam. Tapi ketika berhadapan dengan tekanan massa, DPRD berubah lantang menolak. Padahal substansi kebijakan sudah melalui proses akademis, ilmiah, dan konstitusional.

Kita butuh politik yang konsisten, bukan politik dua wajah. Konservasi dan pembangunan pariwisata berbasis IPPA bukanlah ancaman, justru sebuah peluang untuk membuktikan bahwa ekologi dan ekonomi bisa berjalan seiring. Yang merusak bukanlah investasi itu sendiri, tetapi ketidakjujuran politik dalam mengawal kebijakan negara.

Sebagai bagian dari Forum Alumni Kader Konservasi TNK, saya ingin menegaskan: kehati-hatian negara sudah hadir lewat regulasi, zonasi, kajian, dan konsultasi publik. Yang justru absen adalah keberanian politik DPRD Manggarai Barat untuk konsisten mendukung kebijakan negara yang ilmiah, transparan, dan demokratis.

Kehati-hatian sejati lahir dari integritas, bukan dari sikap plin-plan demi tepuk tangan sesaat.

Penulis merupakan bagian dari Forum Alumni Kader Konservasi Taman Nasional Komodo (FA-K2T) Manggarai Barat, NTT .

Catatan Redaksi : Semua isis tulisan dalam artikel di atas menjadi tanggung jawab penuh dari penulis.

Oke Bajo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *